Pusaka Cendekia Kampung Gelam Singapura (1)

oleh Fadly Fauzi dan Faris Joraimi,
Terbit pertama kali dalam bahasa inggris di laman https://s-pores.com/2017/01/the-intellectual-legacy-of-kampung-glam-by-fadli-fawzi-and-faris-joraimi/ 

Diterjemahkan oleh Adi Pranadipa

Kampung Gelam hari ini adalah perpaduan antara kafe-kafe bergaya Timur Tengah dan toko-toko yang melayani minat wisatawan. Sulit membayangkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat kehidupan intelektual, tidak hanya bagi komunitas Melayu Muslim di Singapura, tetapi juga bagi dunia Melayu secara keseluruhan.

Nilai historis Kampung Gelam sebagai pusat cendekiawan Melayu di Singapura telah tergerus oleh perubahan yang dipaksakan oleh otoritas kolonial dan pasca kolonial.

Pada masa kolonial, identitas etnis disederhanakan menjadi blok-blok monolitik untuk mempermudah strategi politik “pecah belah”.

Persepsi ini kemudian membentuk identitas ruang, menonjolkan satu identitas etnis sebagai ciri utama sebuah tempat, dan mengabaikan kompleksitas serta keragaman yang sesungguhnya.

Setelah kolonialisme berakhir, program pembangunan perkotaan yang dijalankan oleh pemerintah pascakolonial didorong oleh kepentingan komersial dan agenda kebijakan nasional Singapura, seperti penyediaan perumahan.

Akibatnya, wajah Kampung Gelam berubah drastis menjadi kawasan yang lebih modern, namun jejak sejarah dan peran intelektualnya semakin kabur.

Namun, di balik gemerlap kafe dan toko yang kini mendominasi, Kampung Gelam menyimpan cerita tentang kejayaan masa lalu sebagai pusat pemikiran dan perdebatan para cendekiawan yang pernah menjadi jantung dunia Melayu.

Masjid Sultan adalah bangunan yang identik dengan Kampung Glam. Difoto di sini pada tahun 1940-an, seperti inilah penampakan daerah sekitarnya saat itu. Kampung Glam saat itu menjadi tuan rumah bagi ledakan pesat penerbitan Melayu pasca perang.

Bagaimana kita dapat merangkai kembali ingatan kolektif itu, di tengah perubahan yang kian berterusan ? Pertanyaan ini menjadi tantangan bagi siapa saja yang ingin menjaga warisan Kampung Gelam tetap hidup di hati dan pikiran generasi mendatang.

Penghapusan identitas Kampung Gelam sebagai bagian integral dari dunia Melayu tercermin dalam proses penamaan dan penggantian nama mercu-tanda serta fasilitas di kawasan ini.

Peta Kampung Glam (sekitar 1860-1890): Jejak Jalan Utama Menembus Enklave Kerajaan
Sebuah peta bersejarah Kampung Glam dari sekitar tahun 1860 hingga 1890 memperlihatkan perubahan signifikan dalam tata ruang wilayah tersebut. Pada masa itu, dua jalan utama, Jalan Victoria dan Jalan North Bridge, telah membelah enklave kerajaan yang dulunya dikelilingi tembok. Sumber : Arsip Nasional Singapura

Secara tradisional, nama-nama tempat dalam budaya Melayu mencerminkan asal-usul, kerajinan, atau industri yang terkait dengan area tersebut. Misalnya, Kampung Intan, Kampung Jawa, atau Kampung Kaji menjadi penanda lokal yang mencerminkan identitas komunitas setempat.

Nama-nama ini diberikan oleh penduduk yang telah mengenal dan menghuni jalan-jalan tersebut selama beberapa generasi turun temurun.

Namun, proses penggantian nama jalan oleh penguasa kolonial justru lebih menekankan identitas Islam-Arab daripada identitas Melayu Kampung Gelam sendiri. Sejak awal tahun 1909, nama-nama tempat mulai merujuk pada kota-kota Muslim Timur Tengah, meskipun mayoritas penduduk area tersebut tetap berasal dari keturunan Bugis atau Jawa.

Bahkan, pada tahun 2012, sebuah gerbang bergaya Oman dipasang di Muscat Street, sebuah area yang tidak memiliki hubungan kuat dengan Oman atau Muscat. Perubahan-perubahan ini mencerminkan bagaimana identitas asli Kampung Gelam perlahan terhapus, digantikan oleh citra yang dibentuk oleh kekuatan eksternal, mengaburkan warisan budaya Melayu yang kaya.

Penggusuran sebagian besar wilayah Kampung Gelam dalam proses pembaruan kota semakin mengurangi luas fisiknya. Dahulu, kawasan Kampung Gelam yang lebih besar membentang dari daerah yang kini dikenal sebagai distrik perbelanjaan Bugis di sebelah barat hingga Jalan Crawford di sebelah timur. Di utara, Kampung Kapor dan Jalan Besar menjadi batasannya, sementara Jalan Pantai (Beach Road) membentuk sisi selatannya. Pada abad ke-19, pembangunan Jalan Victoria dan Jalan Jembatan Utara (North Bridge Road) melintasi wilayah kerajaan Kampung Gelam, mencerminkan dominasi kolonial Inggris. Peristiwa ini tercatat dalam otobiografi Munsyi Abdullah yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1849.

Pembangunan jalan-jalan tersebut memutus, antara lain, kompleks pemakaman, sehingga menghilangkan bagian penting dari warisan budaya Kampung Gelam. Seluruh area Rochor yang ditetapkan sebagai kawasan “N1” dihancurkan sekitar tahun 1965-1970, menjadi kawasan pertama yang terkena rencana pembaruan kota Singapura.

Jantung Kampung Gelam, Masjid Sultan, masih berdiri kokoh. Namun, meskipun jantung ini tetap berdetak di dekat arteri utama kota, ruhnya tenggelam di balik lapisan fasad modern hasil rekonstruksi. Semangat perjuangan, kewirausahaan, dan warisan intelektual masyarakat Melayu di Singapura yang pernah menyemarakkan kawasan ini kini menjadi tidak terlihat.

Pangkal Jalan – Manuskrip Kampung Gelam

Dalam dunia Melayu, bentuk awal produksi intelektual yang tercatat adalah manuskrip yang dihasilkan oleh para penulis istana, meliputi syair (puisi panjang yang liris dan sering kali epik) dan hikayat (prosa yang mengisahkan cerita mitos atau kehidupan istana).

Penulis-penulis ternama seperti Hamzah Fansuri, seorang cendekiawan tasawuf dari Kesultanan Aceh, dikenal dengan koleksi puisi Sufinya yang dianggap sebagai salah satu karya terbaik dalam bahasa Melayu. Nuruddin Ar-Raniri menulis Bustan al-Salatin (Taman Raja-Raja), risalah politik tentang etika penguasa. Raja Ali Haji dari Riau menulis Tuhfat al-Nafis (Hadiah yang Berharga), epik sejarah tentang intrik dan perjuangan dinasti antara aristokrasi Melayu dan Bugis di wilayah tersebut.

Tiga manuskrip Singapura dari tahun 1830-an ditemukan oleh MH Salleh di Bibliothèque Nationale de France, Paris, pada tahun 1982. Dua di antaranya menggambarkan kondisi masyarakat pribumi di awal era kapitalisme.

Syair Dagang Berjual-beli mengisahkan kesulitan pedagang Melayu menghadapi pemerintahan kolonial yang tidak adil. Barang-barang mereka dihargai rendah, lalu dijual kembali di pasar internasional dengan keuntungan besar.

Syair Potong Gaji menggambarkan penderitaan buruh Melayu yang gajinya dipotong meski beban kerja bertambah, dan dipindahkan sesuai kehendak majikan. Penderitaan ini mencerminkan trauma masyarakat Melayu dalam transisi ke sistem pasar bebas global. Syair-syair ini juga menunjukkan partisipasi aktif orang Melayu dalam ekonomi kawasan, mengikuti pola perdagangan dan migrasi tenaga kerja yang telah lama ada.

Manuskrip ketiga mengungkap skandal istana Kampung Gelam, melibatkan selir Sultan, Tengku Prabu, yang menjalin hubungan intim dengan pria lain. Penulisnya, yang mungkin anggota istana, mengkritik Sultan dengan pedas, menyebutnya “gagap-gagap dan buta, lalai dan tuli.” Sebagai simbol kedaulatan Melayu di pulau itu, Sultan dianggap mencoreng reputasi komunitasnya dengan membiarkan selirnya menjadi bahan gosip. Bagi penyair itu, sang penguasa “sedikit tak malu.”

Manuskrip-manuskrip ini adalah bukti langka aktivitas sastra di Kampung Gelam sejak awal 1830-an. Manuskrip-manuskrip ini memuat benih-benih aktivitas intelektual yang kelak akan menjadi ciri khas: keberanian melawan otoritas yang mapan dan sering kali menindas. Namun, manuskrip ini kemudian tersisih oleh revolusi teknologi, yang mempercepat transformasi Kampung Glam menjadi pusat kegiatan intelektual.

Manuskrip perlahan tersisih dengan hadirnya teknologi cetak pada abad ke-19. Mesin cetak memungkinkan reproduksi teks dengan kecepatan jauh lebih tinggi dan memperluas aksesibilitasnya. Teknologi ini pertama kali diperkenalkan oleh misionaris Kristen dari Barat ke dalam budaya manuskrip yang sebelumnya mendominasi. Selebaran dan pamflet berisi ajaran Kristen mulai dicetak dalam aksara Jawi, dengan tujuan menarik perhatian dan minat untuk memeluk agama Kristen.

Bersambung…

Tentang Penulis

Fadli Fawzi saat ini bekerja di bidang hukum. Ia memiliki minat dalam berbagai bidang mulai dari agama, sejarah, politik, dan hukum.

Faris Joraimi saat ini adalah mahasiswa pascasarjana di NYU dan penggemar warisan budaya. Saat tidak membaca literatur Melayu klasik, ia sering ditemukan menulis teks panjang dan penuh semangat pada artikel yang ia bagikan di Facebook.


Kepustakaan

Proudfoot, I. (1993). Early Malay printed books: A provisional account of materials published in the Singapore-Malaysia area up to 1920, noting holdings in major public collections. Kuala Lumpur: Academy of Malay Studies and the Library, University of Malaya.

Salleh, M. H. (1994). Syair tantangan Singapura abad kesembilan belas. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan, Malaysia.

Roff, William. (1995). The Origins of Malay Nationalism. Oxford University Press.

Tajudeen, Imran (2007). “State Constructs of Ethnicity in the Reinvention of Malay-Indonesian Heritage in Singapore.” TDSR Volume XVIII Number

Ishak, M. S. (1998). Penerbitan & pencetakan buku Melayu, 1807-1960. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top