HULUBALANG Duri telah berjanji kepada Sultan Jamaluddin, pemimpin sah Negeri Barham. Dia akan membantu dan berusaha semampu-mampunya untuk mengembalikan kepemimpinan Jamaluddin di negerinya. Kala itu kekuasaan atas Negeri Barham telah diambil alih secara tak sah oleh Bahsan, mamanda (paman) Jamaluddin, yang merebut kuasa dari keponakannya. Duri bersedia dan ikhlas membantu Jamaluddin karena dia tahu bahwa Jamaluddin benar lagi berwatak terpuji. Hanya karena sebagian besar orang besar-besar dan rakyat negeri itu terpengaruh oleh intimidasi, tipu-daya, dan bujuk rayu Bahsan, Sultan Jamaluddin harus tersingkir dari jabatannya sebagai pemimpin negeri.
Sejak janji itu diikrarkannya, Hulubalang Duri mulai merancang strategi untuk melawan Bahsan dan para pengikutnya. Pada hari yang tepat, dengan persiapan yang matang dan strategi yang benar, Duri melancarkan serangan terhadap Bahsan. Pemimpin ilegal itu dan para pendukungnya akhirnya dapat dikalahkan, bahkan Bahsan tewas atau terbunuh di tangan Duri dalam pertempuran itu. Hulubalang Duri telah menunaikan dan atau menepati janjinya.
Tak hanya Duri yang berjanji. Rupanya, Sultan Jamaluddin juga telah mengucapkan janji kepada hulubalang itu. Kisahnya terekam di dalam Syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji rahimahullah (1846), bait 1.081—1.082.
Lalu bertitah Jamaluddin Sultan
Kepada kelima wazir pilihan
Ketahui olehmu Mamanda sekalian
Duri nin hendak hamba kawinkan
Perjanjian hamba dengan dianya
Saudara hamba menjadi isterinya
Negeri Barham ialah memerintahnya
Hamba nin sekadar akan memangkunya
Itulah janji Sultan Jamaluddin. Luar biasa. Jika Duri bersedia membantunya untuk mengembalikan marwahnya sebagai penguasa sah negerinya, hulubalang itu akan dinikahkannya. Tak tanggung-tanggung pula, hulubalang pemberani itu akan dinikahkan bukan dengan dara sebarang, melainkan adiknya sendiri, putri Siti Rahatulhayani, yang cantiknya seindah namanya. Walaupun Duri hanya hulubalang dan adiknya Siti Rahah, nama panggilannya, juga putri Sultan Barham yang telah mangkat, jelas tak sekufu, Sultan Jamaluddin tak memandang perbedaan derajat itu. Lebih-lebih lagi, dia memang telah berjanji kepada Duri. Pantang raja mengkhianati janji!
Tak hanya itu janji Sultan Jamaluddin. Dia, bahkan, akan menjadikan Duri—yang hanya seorang hulubalang—sebagai sultan baru di kerajaannya. Dalam hal ini, dia sendiri akan turun tahta dan hanya akan mendampingi Duri, yang akan menjadi adik iparnya, dalam memerintah Kerajaan Barham. Sultan Jamaluddin konsisten dengan janjinya itu sehingga dinikahkanlah adiknya Siti Rahah dengan Duri dan bersamaan dengan itu iparnya ditabalkannya menjadi Sultan Kerajaan Barham. Sejak itu, resmilah sang hulubalang dipanggil dengan sapaan kehormatan Sultan Duri yang memerintah di Negeri Barham.
Membantu Sultan Jamaluddin merupakan sasaran-antara Sultan Duri. Matlamat utamanya adalah mengembalikan kemerdekaan negerinya sendiri, Kerajaan Barbari, yang sedang di dalam cengkeraman penjajahan Kerajaan Hindustan. Kini Kerajaan Barham telah menjadi sekutunya dan tentara serta rakyat Negeri Barham bersedia berjuang bersamanya untuk menyerang Kerajaan Hindustan walaupun nyawa menjadi taruhannya. Utang emas boleh dibayar, utang budi dibawa mati. Dengan siasat yang tepat dan perjuangan yang hebat, Sultan Duri berjaya memerdekakan Kerajaan Barbari. Bersamaan dengan itu, Sultan, para pembesar, dan tentara Kerajaan Hindustan yang masih hidup ditangkap dan dipenjarakannya sesuai dengan tingkat kesalahannya masing-masing.
Karena tujuan mengembalikan kemerdekaan negerinya telah berjaya, Sultan Duri berasa tak perlu berlama-lama lagi hidup dalam penyamaran. Dia pun membuka samarannya dan jelaslah siapa dirinya yang sebenarnya. Dia tiada lain Siti Rafiah, istri Sultan Abdul Muluk, penguasa sah Kerajaan Barbari. Tak hanya suami dan keluarganya yang terkejut dan berasa terkecoh selama ini, tetapi juga sangat bahagia. Jamaluddin iparnya lebih-lebih terpana. Betapa tidak? Sultan Duri yang ternyata perempuan perkasa itu telah dinikahkan dengan adiknya, Siti Rahah.
Bagaimanapun kenyataan itu harus dihadapi, baik oleh Siti Rafiah, Siti Rahah, maupun Sultan Jamaluddin. Pernikahan Sultan Duri dan Siti Rahatulhayani dinyatakan batal demi hukum Islam karena mereka sama-sama perempuan. Memang, sejak menikah dengan Siti Rahah, Sultan Duri (Siti Rafiah) tak pernah tidur bersama dengan “istrinya”. Dia terpaksa bersedia menikah dengan adik Sultan Jamaluddin agar penyamarannya tak terbongkar. Akan tetapi, ketika akan beradu (tidur), dia senantiasa menggunakan pelbagai cara dan dalih agar tak tidur bersama Siti Rahah sebagai layaknya orang bersuami-istri.
Walaupun terasa aneh oleh Siti Rahah, dia tak pernah berani bertanya kepada “suaminya”. Pasalnya, dia sangat menghormati “laki-laki” yang telah menyelamatkan negeri dan marwah keluarganya itu. Bahkan, dia pun tak pernah membicarakan kejanggalan perilaku “suaminya” kepada keluarganya. Kehormatan “suami” dan rahasia mereka “suami-istri” dijaganya sebaik-baiknya sehingga tak seorang pun mengetahuinya.
Jamaluddin berkata sempurna pasti
Sambil memandang Rafiah puteri
Adinda jangan berwalang hati
Kakanda tidak mungkirkan janji
Bait 1.607 Syair Abdul Muluk (Haji 1846) berkisah selanjutnya seperti dinukilkan di atas. Walau Siti Rafiah ternyata perempuan dan tak lagi menjadi adik iparnya, Sultan Jamaluddin tak berganjak dari janjinya. Hal itu diungkapkannya di hadapan seluruh keluarga besar Siti Rafiah, termasuk Sultan Abdul Muluk. Artinya, Siti Rafiah tetap menjadi Sultan Kerajaan Barham walaupun dia juga adalah istri Sultan Kerajaan Barbari.
Akan tetapi, permintaan Sultan Jamaluddin itu ditolak dengan lembut dan sopan oleh Siti Rafiah. Pasalnya, dia menolong pemimpin Negeri Barham itu secara ikhlas demi membela kebenaran, bukan karena mengharapkan balas budi dan atau untuk diangkat menjadi sultan. Dapat menolong Sultan Jamaluddin dan keluarganya telah sangat membahagiakan dirinya. Perkara sebelum ini jabatan itu diterimanya, itu semata-mata menjaga penyamarannya agar tak diketahui oleh sesiapa pun, termasuk Sultan Jamaluddin dan Siti Rahah. Bersamaan dengan dibukanya penyamaran dirinya, Siti Rafiah menyerahkan kembali kepemimpinan Kerajaan Barham kepada Sultan Jamaluddin. Dalam pada itu, Sultan Jamaluddin sekeluarga telah dianggapnya sebagai saudaranya sendiri, tentu Siti Rahah diperlakukannya sebagai adiknya.
Mengapakah pemimpin kelas tinggi dan berwatak mulia senantiasa setia menepati janji? Bukankah ketika kekuasaan ada di genggaman, mereka boleh berbuat apa saja, termasuk melupakan janji? Apatah lagi, hanya sekadar janji kepada rakyat yang tak punya pilihan, kecuali menerima padah kesalahan sendiri.
“Dan, janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa. Dan, tepatilah janji, sesungguhnya, janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya,” (Q.S. Al-Isra’, 34).
Petunjuk yang dinukilkan di atas itulah, antara lain, yang senantiasa dipedomani oleh para pemimpin utama, pemimpin kelas tinggi, dan atau pemimpin yang berwatak mulia karena ketinggian budi pekerti. Mereka takut melawan Allah, mereka takut menerima azab Allah, apa pun bentuknya, bila-bila pun masanya, dan mereka patuh terhadap perintah Allah karena Dia memang melarang manusia, apatah lagi pemimpin, mengingkari janji. Mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa kemuliaan kepemimpinan hanya akan terjadi kalau ada berkah Ilahi. Sebaliknya pula, murka Allah pasti menjatuhkan pemimpin dan kepemimpinannya, antara lain, karena ingkar janji. Oleh sebab itu, jangan pernah berjanji kalau tak berani menepati. Dengan demikian, dapat dipahami sifat, watak, dan perilaku kepemimpinan Sultan Jamaluddin dan Siti Rafiah sebagai pemimpin sejati.
Pemimpin bermarwah tak pernah berpaling tadah. Dia senantiasa berinovasi mengejar kemajuan demi bangsa dan negaranya. Dalam pada itu, dia tak pernah berganjak dari nilai-nilai terala (luhur) warisan bangsanya sehinga dia tak kehilangan jati diri. Oleh sebab itu, kearifan seperti yang terhimpun dalam Gurindam Dua Belas (Haji 1847), Pasal yang Keempat, bait 5 senantiasa menjadi pedoman dalam kepemimpinannya.
Jika sedikit pun berbuat bohong
Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung
Bohong bermakna, antara lain, dengan sengaja tak menepati janji yang telah diikrarkan. Pelakunya, menurut Gurindam Dua Belas, memiliki mulut yang disamakan dengan pekung. Artinya, mulut yang mengucapkan kebohongan itu sama dengan ‘kudis besar yang berbau sangat busuk’. Dengan kata lain, kebohongan karena tak menepati janji sama dengan kebusukan. Betapa berbahayanya kepemimpinan yang menebarkan bau busuk karena ianya berpotensi merusaki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Layu sebelum berkembang. Pasalnya, tak ada sesuatu apa pun yang dapat diharapkan, apatah lagi dibanggakan, dari kebusukan kebohongan.
Karena menyadari bahayanya itulah, pemimpin terbilang senantiasa menjaga dirinya agar tak terperangkap sifat dan perilaku bohong dan atau tak menepati janji. Kemampuannya menjaga diri dari terserang virus penyakit kepemimpinan itulah yang memungkinkannya menampilkan kinerja kepemimpinan yang cemerlang. Cahaya kepemimpinannya sanggup menjadi daya penggerak kemajuan bangsa dan negaranya sehingga mampu bersaing dengan bangsa dan negara mana pun di dunia.
Petuah dan nasihat agar pemimpin menghindarkan diri dari ingkar janji memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tamadun bangsa kita. Rekamannya juga terdapat di dalam Tsamarat al-Muhimmah (Haji dalam Malik (Ed.) 2013) berupa syair nasihat bait 18—19.
Hendaklah periksa adabnya wazir
Di dalam kitab sudah terukir
Hendaklah jauhkan pekerjaan mungkir
Supaya jangan jadi tergelincir
Jika tergelincir pekerjaan salah
Pekerjaan anakanda beroleh lelah
Rakyat tentara tentu bencilah
Barangkali datang murka Allah
Syair yang dinukilkan di atas menegaskan bahwa pemimpin yang ingkar janji akan dibenci oleh rakyat dan tentara. Pasalnya, rakyat dan tentara mengidealkan negara dan bangsa yang berjaya di bawah kepemimpinan pemimpin yang cerdas, kuat, dan setia. Tak hanya itu, sifat dan perilaku tak terpuji itu juga akan mendatangkan murka Allah. Ketika rakyat dan tentara telah membenci pemimpinnya, digandakan lagi dengan kemurkaan Allah terhadapnya, memang tak ada lagi harapan yang dapat disandarkan kepada pemimpin yang tergelincir ke kubangan ingkar janji. Oleh sebab itu, jadilah pemimpin sejati dengan menepati janji.
Inilah di antara pemimpin yang boleh ditauladani karena konsistensinya menepati janji. Riwayatnya terekam di dalam Tuhfat al-Nafis yang dinukilkan berikut ini.
“Syahadan kata sahibul hikayat apabila sudahlah selesai bermusyawarah Sultan Sulaiman dengan Kelana Jaya Putera serta opu-opu sekalian, maka putuslah Kelana Jaya Putera menjadi Yang Dipertuan Muda dan Opu Dahing Cellak pun telah tentulah didudukkan dengan Tengku Mandak. Syahadan apabila sudah bersatulah faham segala raja-raja itu, maka Sultan Sulaiman pun memulai pekerjaan melantik Yang Dipertuan Muda serta menikahkan Opu Dahing Cellak,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 84).
Tokoh yang dicatat oleh Tuhfat al-Nafis di atas adalah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I, Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Setelah mengalahkan musuh dengan dibantu oleh putra-putra Raja Bugis, Baginda menunaikan janji yang telah diikrarkan. Dalam hal ini, Opu Daeng Marewah (bergelar Kelana Jaya Putera) ditabalkan (dilantik) Baginda menjadi Yang Dipertuan Muda I Riau-Johor (jabatan satu tingkat di bawah sultan kala itu) dan Opu Daeng Celak dinikahkan dengan Tengku Mandak, adinda Baginda Sultan Sulaiman sendiri.
Opu Daeng Celak kemudian dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda II Riau-Johor menggantikan Opu Daeng Marewah yang mangkat. Pasangan Opu Daeng Celak dan Tengku Mandak dianugerahi putra perkasa yang diberi nama Raja Haji (dengan gelar setelah mangkat Fisabilillah sehingga dikenal sebagai Raja Haji Fisabilillah). Baginda Raja Haji (Yang Dipertuan Muda IV Riau-Lingga) kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Maritim Nasional Republik Indonesia karena jasa Baginda yang luar biasa dalam melawan penjajah Belanda dengan Perang Laut sampai akhirnya syahid di medan perang.
Semenjak dilantiknya Opu Daeng Marewah, bersebatilah kepemimpinan Melayu-Bugis di dalam Kesultanan Melayu Riau-Lingga-Johor-Pahang. Persebatian yang tak dapat lagi dipisahkan bagai mata-hitam dan mata-putih, yang dikagumi oleh kawan dan disegani oleh lawan. Persetiaan (perjanjian) yang diikrarkan dan ditunaikan itu ternyata mampu menampilkan ketangguhan kepemimpinan yang rela berkorban harta, jiwa, dan raga demi kejayaan tanah air dan bangsa. Kesemuanya dimungkinkan karena berkah Allah sebagai anugerah ditunaikannya janji.
Dari Ali bin Abi Thalib r.a. beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tak menepati janji seseorang muslim, dia mendapat laknat Allah, malaikat, dan seluruh umat manusia. Tak diterima darinya taubat dan tebusan,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah SAW yang dikutip di atas lebih menegaskan mustahaknya pemimpin menunaikan janji. Dan, betapa tragisnya nasib pemimpin yang ingkar janji. Dia akan dilaknat tak hanya oleh semua jenis makhluk utama, tetapi lebih-lebih oleh Allah yang tak pernah ingkar janji. Bahkan, taubatnya tak diterima karena perbuatannya sangat tak terpuji. Oleh sebab itu, pemimpin berkualitas unggul seperti tokoh Sultan Jamaluddin dari Negeri Barham dengan tegas mengatakan, “Kakanda tidak mungkirkan janji!” Hanya pemimpin dayus yang melupakan janji.***