SEBUTLAH tempat kita dilahirkan dengan kampung bertuah. Kota tempat kita menuntut ilmu sebagai kota bertuah. Negeri tempat tembuni kita ditanam dan kita bermastautin di dalamnya dengan sebutan negeri bertuah. Pokoknya, semua yang kita sukai disebut dan diserangkaikan dengan kata bertuah. Kebiasaan itu baik, disukai, dan tentu tiada menyalah.
Hal itu bermakna kita memahami sesuatu yang mengandungi ‘keuntungan, keunggulan, keistimewaan’. Lebihnya lagi, tuah mengandungi keunggulan dan keistimewaan makna secara sosio-kultural.
Positifnya makna tuah itu sebanding dengan marwah. Arti harfiahnya ‘harga diri, kepribadian, dan nama baik’. Namun, marwah dinilai jauh lebih sakral dari kata mana pun yang searti dengannya. Oleh sebab itu, untuk mengungkapkan perihal ‘keberuntungan’ dan ‘harga diri’ yang mengarah kepada sesuatu yang suci atau sakral, ungkapan tuah dan marwah yang paling mewakili.
Sebutlah seorang perempuan, lebih-lebih perempuan muda yang berparas jelita dan berpenampilan menawan. Juga, seorang laki-laki, apatah lagi lelaki muda yang berwajah tampan dan berpenampilan jantan. Mereka itu memiliki tuah, terutama jika dibandingkan dengan orang lain yang kualitas fisiknya di bawah diri mereka. Namun, keberadaan tuah bawaan itu hanya bersifat potensial.
Orang yang memiliki keberuntungan seperti itu harus menyerasikannya dengan kualitas budi. Budi bukanlah sifat bawaan, melainkan harus dijemput, diperjuangkan. Caranya melalui proses belajar, proses pendidikan, formal dan atau nonformal. Menyepadukan kualitas fisik dan kualitas budi itulah yang disebut menjemput tuah diri bagi manusia.
Ungkapan menjemput itu jadinya bermakna dan bernilai perjuangan. Keserasian fisik dan budi atau karakter itulah disebut kesebatian seri gunung dan seri pantai, yang seyogianya menjadi dambaan setiap insan. Zahir dan batin bersebati (terpadu) demikian sanggamnya.
Seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu masyarakat, sama ada kecil ataupun besar kelompoknya, baru rela menjemput tuah kalau dia atau mereka menghayati makna marwah. Tanpa kesadaran marwah, manusia tak pernah acuh akan kualitas diri. Jika contoh di atas digunakan lagi, dengan keungulan fisik yang dimilikinya, anak manusia boleh berbuat apa saja demi keuntungan pragmatis sesaat. Bukan tak mungkin perbuatan yang dilakukannya itu berdampak negatif bagi dirinya dan atau orang lain.
Malangnya, karena tak didasari kesadaran marwah, lebih-lebih kalau terpaan hedonistis begitu membara, dia tak akan memedulikannya, atau bahkan, memang tak memahami hakikat kesemuanya itu. Sebaliknya pula, orang yang menjunjung marwah, memuliakan jati diri, memelihara kehormatan diri, menjaga nama baik, akan terus berjuang menjemput tuah dalam hidupnya. Alhasil, dalam kehidupan ini keserasian, keselarasan, kesanggaman, dan kesebatian menjemput tuah dan menjunjung marwah menjadi penentu mutu manusia.
Bagaimana pulakah dengan tuah negeri? Jika suatu negeri dikaruniai sumber daya alam (SDA) yang berlimpah ruah, berarti negeri itu memiliki tuah potensial. Tuah itu pun tak berarti apa-apa kalau tak dijemput. Menjemput tuah dalam hal ini bermakna memperjuangkan dengan bersungguh-sungguh agar kekayaan SDA itu mampu menyejahterakan rakyat dan memakmurkan negeri. Menyejahterakan rakyat berarti memperjuangkan kualitas hidup mereka dalam semua bidang kehidupan agar terus meningkat ke arah yang lebih baik dengan memanfaatkan tuah kelimpahan SDA yang dimiliki negeri.
Selanjutnya, memakmurkan negeri berkelindan dengan kualitas negeri terus membaik, baik fisik wilayahnya maupun keadaan sosial-budaya masyarakat yang mendiaminya. Bertambahnya lingkungan selekeh (slum area), meningkatnya kekerasan di dalam masyarakat, dan menurunnya kualitas ketenangan hidup merupakan sebagian dari indikator menurunnya kualitas kemakmuran negeri.
Negeri berlimpah SDA. Akan tetapi, pergaduhan memperebutkannya terus berkecamuk hari demi hari, pantang celik mata, bahkan ada yang untuk itu sengaja tak mau memejamkan mata. Mungkin juga sampai mengorbankan anak negeri. Tragedi itu bermakna anugerah tak berbuah tuah, tetapi menuai musibah. Kenyataan itu menunjukkan bahwa negeri kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu pada semua peringkat kemasyarakatannya. Akibatnya, tuah negeri, justeru, direbut oleh orang atau bangsa lain, dengan pelbagai helah dan cara. Singkatnya, negeri itu gagal menjemput tuahnya.
Berhasil atau gagalnya sesebuah negeri menjemput tuah sangat bergantung kepada kesadaran dan kesetiaan anak negerinya menjunjung marwah diri dan negeri. Yang dimaksud dengan anak negeri tak lain dari kesatuan secara keseluruhan penguasa dan rakyat negeri. Kesadaran akan nilai-nilai marwah diri dan penghayatan terhadap nilai-nilai marwah negeri memungkinkan anak negeri untuk berjuang memakmurkan negeri.
Secara perorangan atau bersama-sama, sama ada penguasa atau rakyat jelata, lebih-lebih yang terpelajar terkemuka, mereka yang sehat zahir dan batin, seyogianya menanggung malu jika kelimpahan potensi negerinya tak mampu dimanfaatkan untuk memakmurkan negeri. Dia pun tak akan tergamak dan sampai hati jika kekayaan negerinya hanya dapat dinikmati oleh dirinya dan segelintir orang di kanan-kiri.
Apatah lagi, kalau kesemuanya hanya untuk memuaskan syahwat kekuasaan yang tak terkendali. Bertekuk lutut pada kebuasan nafsu kekuasaan yang meraja lela sungguh memalukan bagi pribadi yang menyadari marwah diri. Dunia ini sampai di mana dan hendak ke mana dibawa lari?
Bahkan, aib terbesar bagi diri, justeru, kalau bangsa atau negeri lain yang mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan negeri. Kesadaran dan kesetiaan kepada marwah seharusnya memacu dan memicu mereka secara bersama-sama berjuang untuk mengembalikan marwah negeri. Pasalnya, merekalah anak negeri, pewaris sah negeri ini.
Menjemput tuah demi menjunjung marwah merupakan perjuangan kultural. Nilai-nilainya harus kekal di dalam diri masyarakat yang meyakini kesucian dan kekeramatannya. Tak sesaat pun boleh berkurang kuantitas dan kualitasnya di dalam diri. Jika nilai-nilainya terus tergerus, suatu bangsa akan kehilangan jati diri. Puing-puing masyarakat itu selanjutnya melanjutkan kehidupan tanpa roh kultural yang sanggup menyemangati. Mereka akan terombang-ambing di atas gelombang samudera luas kehidupan yang tiada bertepi.
Pada gilirannya, keberadaan mereka di dalam pergaulan masyarakat global tak lagi diperhitungkan. Pasalnya, tak ada lagi kehebatan yang patut diperhitungkan pada diri mereka. Yang muncul ke permukaan hanyalah kelemahan belaka sebab keunggulannya telah lesap dan lenyap.
Mereka sendirilah yang menenggelamkannya, bukan orang atau bangsa lain. Dalam keadaan seperti itu, mereka dengan mudah ditarik-ulur untuk pelbagai kepentingan, yang kesemuanya menguntungkan orang lain, negeri lain, dan atau bangsa lain. Sebaliknya, tak pernah ada bangsa mana pun yang mampu memorakporandakan suatu bangsa yang kehidupannya bersendikan tuah dan marwah diri dan negeri.
Tanpa semangat menjemput tuah untuk menjunjung marwah, jatuhlah sebuah bangsa ke jurang terdalam dan terkelam dari tragedi kekalahan. Mereka hanya menjadi jasad tanpa roh kultural yang dapat dibanggakan dan membanggakan. Itulah piala “terhormat” bagi para pecundang di dunia yang sejatinya penuh persaingan.
Duduk sama rendah berdiri sama tinggi itu bukan diperoleh secara cuma-cuma di dunia ini kendatipun kita memiliki negeri yang elok dan berlimpah ruah. Lebih-lebih, dalam era dan rezim yang politik dan ekonomi segelintir-selingkung menjadi panglimanya. Hutan tanah, laut, dan kebun kita boleh menjadi milik orang lain dalam sekelip mata jika kita kurang siasat dan tak mampu berbuat.
Tak ada jaminan pekik, “Kamilah pewaris sah negeri ini!” akan menggerunkan (menakutkan) orang jika tak diperjuangkan bersungguh-sungguh oleh seluruh anak bangsa. Maka itu, jemputlah tuah dan junjunglah marwah diri dan negeri dengan cinta sebenar cinta, bukan cinta yang melukah dan meluka. Hanya itulah yang akan menyelamatkan kita dan generasi anak bangsa sampai bila-bila masa. Pasalnya, Allah cinta kepada bangsa yang mampu merawat rahmat-Nya.***