Sebagai seorang munsyi pada zamannya, kerja Raja Ali Haji dalam mengemas bahasa Melayu dipakai di kawasan Riau-Lingga-Johor-dan Pahang tidak berhenti pada sebuah kitab tata bahasa Melayu yang mengadopsi kaidah tata bahasa Arab itu saja.
Kitab tata bahasa Melayu yang berjudul Bustan al-Katibin, yang selesai ditulis di Pulau penyengat pada tahun 1851 itu dilengkapi pula dengan sebuah kamus berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yang sangat terkenal dan penting dalam sejarah perkamusan Alam Melayu. Dari sosok awalnya berupa sebuah manuskrip yang ditulis menggunakan huruf Arab Melayu (huruf jawi), kamus ini untuk pertamakalinya dicetak (juga menggunakan huruf Arab Melayu) oleh Mathba’ah al-Ahmadiah di Singapura secara berpenggal-penggal (teridiri dari beberapa jilid) sejak tahun 1927. Penggal terakhirnya rampung pada tahun 1929.
Dalam sejarah penulisan kamus (leksikografi) bahasa Melayu, maka kamus Raja Ali Haji ini dicatat sebagai kamus ekabahasa atau kamus monolingual Bahasa Melayu pertama yang ditulis oleh orang Melayu sendiri. Ia dicatat sebagai sebuah kamus istimewa dengan cakupan penjelasan lema (kata atau frasa masukan dalam kamus, diluar defenisi atau penjelasan atas suatu lema atau kosa kata) yang sangat kompleks dan menckupi berbagai hal: Karena itulah Kitab Pengetahuan Bahasa ini disebut juga sebagai kamus eka-bahasa ensiklopedis.
Latar belakang Raja Ali Haji menyusun kamuas atau Kitab Pengetahuan Bahasa ini erat kaitannya dengan kerja-kerja leksikografis yang dilakukannya selama membantu Herman von de Wall dalam menyusun Kamus Bahasa Melayu-Bahasa Belanda di Tanjungpinang antara tahun 1850-an hingga menjelang tahun 1873. Namun demikian, kamus tersebut bebeda dalam banyak hal dengan kamus Bahasa Melayu-Bahasa belanda yang mereka garap bersama.
Tidak seperti kamus “ala Barat” yang diusahakan von de Wall dengan bantuannya, Raja Ali Haji memasukkan penjelasan-penjelasan panjang lebar (beberapa diantaranya mengguakan untaian syair-syair) sempena menark minat anak-anak muda Melayu mempelajari bahasanya sediri. Selain itu, pejelasan yang panjang lebar itu juga dianggapnya dapat membantu dan memudahkan orang asing yang sedang merenungkan makna setiap perkataan dalam Bahasa Melayu beserta pengertiannya.
Tentang kamusnya itu, Raja Ai Haji juga menjelaskannya dalam sepucuk surat kepada Von de Wall yang bertarikh 12 Maret 1872:
“…Bermula adapun kamus yang hendak diperbuat itu, yaitu bukannya seperti kamus yang seperti paduka sahabat kita itu. Hanyalah yang kita hendak perbuat bahasa Melayu yang tertentu bahasa pada pihak Johor dan Riau jua. Akan tetapi dibanyakkan bertambah di dalam kisah2, cerita2 yang meumpamakan dengan kalimah yang mufrad [panjang lebar], supaya menyukakan hati orang muda2 mutalaahnya, serta syair2 Melayu sedikit2. Di dalam hal itupun memberi manfaat jua kepada orang2 yang mempikirkan perkataan dan makna bahasa Melayu pada orang2 yang bukan ternak [penduduk] Johor dan Riau dan Lingga..”
Demikianlah, Kitab Pengetahuan Bahasa, ditakrifkan sebagai kamus sekaligus ensiplopedia. Didalamnya kita tidak hanya dapat melayari keluasan pengetahuan dan kepiawaian Raja Ali Haji dalam bahasa dan sastra Melayu, tapi kita juga dapat menyelami kedalaman pengetahuannya, dan kepelbagaian bahan bacaannya tentang berbagai ilmu dan pengetahuan yang sangat menarik untuk disimak.
Di dalamnya, kosa kata yang berkenaan dengan bahasa-bahasa ilahiah hingga kosa kata yang berkait-kelindan dengan teks dan sex ada penjelasannya. Bahkan “bahasa-bahasa mencarut”, menurut sitilah Raja Ali Haji, seperti Ancuk dan Ayok, sehinggalah bahasa-bahasa halus yang terpakai dalam istana, dijelaskan juga dalam konteks bahasa dan ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah komulasi berbagai pengetahuan, maka dalam pejelasan pajang lebar dan detil untuk setiap kosa kata dalam kamusnya, Raja Ali menggunakan banyak referensi yang tak jarang disebutkannya dalam setiap penjelasan entri kosa kata.
Khusus untuk penjelasan kosa kata Batu, Raja Ali Haji menggunakan kitab yang ia nyatakan berjudul Mustatraf, yang sudah barang tentu ada dalam perpustakaan pribadinya. Kitab ini tak lain dan tak bukan adalah karya Syekh Shihāb al-Dīn Abū al-Fat Muammad ibn Ahmad al-Ibshīhī al-Muhallá dari Mesir (1338 – 1446 M), yang judul lengkapnya adalah al-Mustaṭraf fī kulli fannin mustatraf.
Sejatinya kitab Mustatraf adalah sebuah ensipklopedia sejarah, politik, pemerintahan, dan kebudayaan dunia Islam (terutama Arab) yang didalam juga terdapat penjelasan panjang lebar tentang dunia seni, dan sudah barang tentu tentang permata dan perhiasan. Dari kitab itulah penjelasan dan dalil naqli Raja Ali Haji tentang batu akik dan permata bersumber.
Bagaimana penjelasan Raja Ali Haji tentang batu akik dan permata pada zamannya? Coba simak penjelasannya berkenaan dengan kosa kata Batu, yang dirumikan (dialih-aksarakan) dari Kitab Pengetahuan Bahasa, kamus Raja Ali Haji, berikut ini:
“Batu. Yaitu jisim yang keras yang [ada] pada bumi, di atas bumi atau di dalam bumi. Ada yang besar, ada yang kecil, ada yang halus, ada yang kasar. Dan mana yang jadi ma’dan gali-galian, mahallah harganya, seperti intan, dan yakut, dan lainnya. Dan ada yang keluar daripada tembaga, dan timah, dan besi, kemudian daripada dimasak dengan api.
Syahdan, berbagai-bagailah dipakai oleh orang segala batu-batu. Ada yang diperbuat cincin, dan ada yang diperbuat oleh orang hulu pisau, ada yang diperbuat dokoh dan pending. Bermacam-macamlah, atau kesukaan manusia.
Ada pun sebab mahal setengah atas setengahnya, sebab masing-masing faedahnya dan khasiatnya. Ada pun intan sangat bercahayanya. Tiada satu yang mengalahkan cahayanya, lagi keras. Dan [intan] jadi racun jika termasuk ke dalam perut, memutuskan urat-urat perut jikalau sebesar biji-bijan sekali pun. Itulah yang tersebut di dalam kitab Mustatraf.
Adapun yakut itu khasiatnya, barang siapa memakai akan dia, mempusakai hebat dan kebesaran, dan memudahkan segala hajat, konon. Dan menghancurkan air liur di dalam mulut, dan memutuskan dahaga, dan menolakkan racun, menguatkan hati, dan manfaat kepada orang yang kemasukan syaitan. Dan yang putih daripadanya itu, menyukakan hati.
Adapun ‘aqiq [akik], khasiatnya barangsiapa memakai akan dia, mempusakai lemah lembut perangainya, tiada disegera marah, dan mendatangkan bicara yang betul dan mengusahai kemuliaan, dan mendiamkan marah pada ketika berkelahi.
Dan sabda Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wa-salam: “Man takhattama bil-aqiq lam yazal fi barakatt”. Yaitu, “Barang siapa menjadikan cincin daripada aqiq, yakni memakai cincin aqiq, sentiasalah ia di dalam berkat adanya”.
Adapun zamrud kata setengah orang [disebut juga] zubarjad. Adalah khasiatnya menolakkan daripada mata orang yang jahat tileknya, dan menguatkan penglihatan, menyukakan hati, mensucikan dzihin hati, dan merajinkan nafsu.
Adapun firuz, barang siapa menilek-nilek akan dia menerangkan mata, menguatkan dia, dan tiada mengenai akan dia daripada terbunuh atau karam. Adalah warnanya yang terlebih baik itu yang birunya. Dan kata Ja’far Sadiq Radiallah-hu-Anhu: “tiada papa tanganku selama aku bercicin dengan firuz” adanya.
Adapun batu berani, khasiatnya barangsiapa bercelak akan dia, yang sudah ditumbuk halus-halus seperti celak, maka mempusakai berjinak-jinakan dengan dia, serta berkasih-kasihan akan orang yang dikehendakinya berkasih-kasihan dengan dia. Dan digantungkan kepada perempuan yang hendak beranak, maka mudahlah atasnya beranak. Barangsiapa bercincin dengan dia, disampaikan Allah segala hajatnya. Dan jika digantungkan kepada leher menambahi baik pada dzihin hati. Dan apabila ditumbuk halus-halus dimasukkan ke dalam air kemudian diminum airnya, niscaya hilanglah bisa-bisa racun. Dan apabila mengenai dia bau bawang putih, hilanglah khasiatnya. Dan apabila dibasuh dengan air cuka, kembali semula ia. Dan yang terlebih baik yang diambil daripada setengah mithqal besi, adanya.
Syahdah, inilah khasiat setengah daripada segala batu-batu yang aku ambil naqlinya daripada kitab Mustatraf adanya, intiha.”***