Karena Diri Berpaling Tadah

SECARA fisik, manusia itu sesungguhnya lemah. Kekuatan manusia jauh di bawah hewan seperti harimau, singa, ataupun gajah. Itulah sebabnya, manusia dianugerahi akal-budi oleh Allah.  Sangat wajarlah Dia memperingatkan manusia agar menggunakan akal-budinya dengan berlandaskan keimanan kepada-Nya sehingga tak terjerumus kepada sikap dan perilaku yang tak berfaedah.     

“Dan, tak ada seorang pun akan beriman, kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tak mempergunakan akalnya,” (Q.S. Yunus, 100).

Sangat jelas dan tegas perintah sekaligus peringatan Allah kepada manusia yang dikasihi-Nya. Begitulah Allah menegaskan mustahaknya manusia menggunakan akal-budi dengan sempurna. Bahkan, kemurkaan Allah akan ditimpakan-Nya kepada sesiapa saja yang tak menggunakan akal yang telah dikaruniakan-Nya. 

Begitu eratnya pula perhubungan antara iman dan akal-budi karena kedua-duanya merupakan karunia utama Allah kepada manusia untuk mengangkat derajat dan marwah manusia, yang sejatinya lemah. Setelah disempurnakan dengan akal-budi, tak ada alasan bagi manusia untuk beroposisi dengan Allah karena pengkhiatan itu mengundang malapetaka.  

Atas dasar itulah, Raja Ali Haji rahimahullah menawarkan kesempurnaan akal sebagai syarat untuk mewujudkan kehalusan budi. Kesempurnaan yang diidealkan itu terekam, antara lain, di dalam Syair Abdul Muluk, bait 995.

Namanya Siti Lela Mengerna
 Putih kuning sedang sederhana
 Akal dan budi amat sempurna
 Terlalu kasih Duli yang Gana

Siti Lela Mengerna memang cantik secara zahiriah (fisik). Dia memenuhi syarat kecantikan dan atau keindahan seri pantai. Lebih daripada itu, Siti nan rupawan makin berseri sosoknya karena beroleh anugerah kejelitaan rohaniah, yang memenuhi syarat keindahan seri gunung. Akal dan budinya sungguh sempurna. 

Dengan pengisahannya yang positif, memperjelas mustahaknya kejelitaan luar-dalam memang patut diperjuangkan. Zahir dalam wujud kesempurnaan fisik (Putih kuning sedang sederhana) dan batin dengan kesempurnaan akal (Akal dan budi amat sempurna). Kejelitaan berkelas sempurna memang diidealkan bagi manusia untuk sampai pada peringkat keelokan sejati. Nyatalah bahwa kesempurnaan akal-budi wajib diperjuangkan oleh manusia sebagai penyempurna kemanusiaannya yang telah beroleh anugerah yang luar biasa dari Sang Pencipta.

Kesempurnaan yang dimaksud tak melulu pada urusan diri. Di dalam Tsamarat al-Muhimmah ada pula dikisahkan kekacauan yang terjadi akibat pentadbiran negeri yang tak disertai akal sempurna. Untaian syair bait 42-46 berkisah tentang perkara yang memilukan itu. Ambillah bait 42 dan 46 sebagai bahan renungan.

Beberapa negeri terkena bala
Sebab perbuatan kepala-kepala
Karena perbuatan banyak yang cela
Datanglah murka Allah Taala

Asalnya jatuh demikian ini
Ilmu dan akal habislah fani
Dibunuh dengan gundik dan bini
Nama pun buruk ke sana sini

Begitulah muramnya dunia karena manusia tak mampu dan atau tak mau menggunakan akal-budinya dengan sempurna. Padahal, hanya akal-budi yang dikelola secara sempurnalah yang dapat menyelamatkan manusia dalam pelbagai perkhidmatan yang menjadi tanggung jawabnya di dunia. Kesempurnaan akal-budi menjadi syarat utama yang menentukan kehalusan budi dan karakter diri. Pada gilirannya, kesemuanya itu akan menyelamatkan manusia di dalam bahtera perjalanan kehidupan dunia menuju pantai impian akhirat yang sangat nyata kesempurnaan pesona tamasyanya. 

Kesempurnaan akal-budi tak boleh dicuaikan untuk memenuhi kualitas kehalusan budi, yang memang diamanahkan oleh Allah. Tak ada budi berkategori elok tanpa pendayagunaan akal secara sempurna. 

Orang yang berbudi elok dan halus, yang diindikasikan oleh kesempurnaan akal-budinya,  juga ditunjukkan oleh keberaniannya membela kebenaran. Di dalam Syair Abdul Muluk, antara lain, perkara mustahak itu diperikan pada bait 967-968.

Jikalau anakku hendak berjalan
Hendak mencari sahabat dan taulan
Pergilah ke sebelah kaumnya Bahsan
Senanglah Tuan mencari kehidupan

Duri tersenyum mendengarkan madah
Sambil berkata terlalu petah
Hamba tak mau kepada yang salah
Jamaluddin itu asalnya khalifah

Duri atau Siti Rafiah, istri Sultan Abdul Muluk yang menyamar sebagai laki-laki, menolak anjuran Pak Tua. Pasalnya, Pak Tua menganjurkannya berjumpa dengan kaum Bahsan yang sedang berkuasa di negeri itu agar Duri mendapat kekayaan duniawi. Padahal, penguasa sah negeri itu adalah Sultan Jamaluddin. Bahsan bukan penguasa sah karena dia merebut kekuasaan dari penguasa sahnya dengan cara-cara yang tak terpuji. Oleh sebab itu, Duri lebih memilih bertemu Sultan Jamaluddin karena dialah pemimpin yang sah negeri itu. Dalam hal ini, Sultan Jamaluddin dan kekuasaannya yang dilucuti merupakan simbol dari kebenaran yang tergadai oleh perilaku mabuk kuasa Bahsan dan para pengikutnya. Mereka tak mampu mengelola akal-budi secara benar menurut pedoman Allah. 

Sikap Duri yang melawan kebatilan mengajarkan bahwa manusia yang benar dengan akal-budi yang sempurna akan senantiasa membela kebenaran. Dia tak akan berundur barang setapak pun walau diberi jaminan kesenangan duniawi.

Hal itu bermakna bahwa setiap manusia yang memiliki karakter perpuji seyogianya berani membela kebenaran. Kesenangan hidup dunia yang beralaskan kepalsuan, kemungkaran, dan pembelokan nilai kebenaran hanya mengundang murka Allah. Azabnya telah disediakan, dunia dan akhirat. Jangan coba-coba diremehkan karena itu janji-Nya yang pasti terbukti.

Tahu pekerjaan yang tak baik tetapi dikerjakan
Bukannya manusia ia itulah syaitan

Bait 1, Pasal yang Kesembilan, Gurindam Dua Belas, di atas tepat menjadi kalimat pemutus kaji kesetiaan diri. Lari dari janji yang telah diikrarkan di hadapan Ilahi membuat kehidupan berjalan penuh ngeri. Kelemahan diri, berpaling tadah, direka menjadi kesombongan hati. Akibatnya, kehidupan yang seyogianya dapat dijalani dengan indah, berubah menjadi musibah yang tiada terperi.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top