Penanganan Wabah Penyakit di Pulau Penyengat Tahun 1849

Oleh :
Anastasia Wiwik Swastiwi
Peneliti Madya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau

Pengantar

Pulau mungil di Kepulauan Riau ini punya sejarah yang luar biasa. Terletak tidak jauh dari Ibukota Provinsi Kepulauan Riau yaitu Tanjung Pinang. Dengan luas kurang lebih dua kilometer persegi, dahulu pulau ini dikenal dengan sebutan Pulau Air Tawar, karena banyak para pelaut dan pedagang yang singgah di sini untuk mencari sumber air bersih. Atas peran ini, Pulau Penyengat juga dinobatkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional pada tahun 2018 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam lembar Keputusan Menteri No.112/M/2018. Keputusan Menteri ini memutuskan bahwa Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat menjadi Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional, dengan luas lahan 91,15 hektare dan memiliki 46 buah peninggalan Cagar Budaya.

Berbicara mengenai budaya Melayu, sulit dilepaskan dari keberadaan Pulau Penyengat ini. Meski kecil, pulau ini pernah menjadi pusat kajian Melayu Islam yang ternama. Tak hanya soal agama, berbagai disiplin ilmu juga pernah ada di pulau ini. Meski era keemasan Pulau Penyengat telah lama berlalu, kini kemegahan Pulau Penyengat tetap terlihat. Demikian pula dengan kondisi  terkini saat ini, saat wabah covid-19 merebak. Pulau Penyengat kembali memberi pelajaran berharga, bagaimana pulau sekecil itu mampu melewati wabah penyakit di tahun 1849. Wabah penyakit yang merebak di tahun itu adalah cacar.

Wabah Penyakit Cacar di Pulau Penyengat Tahun 1849

Pada 17 Juni 1844, setelah mengalami demam sebentar, Yang Dipertuan Muda  Abdul Rahman meninggal dunia dalam usia 35 atau 36 tahun. Yang Dipertuan Muda Abdul Rahman  ini mengikuti jejak ayahnya Raja Ja’far dalam menunjukkan kesetiaan kepada pemerintah. Dan,  sejauh mungkin bekerja sama untuk mencegah pelanggaran oleh  Yang Dipertuan Muda.  Sedangkan Sultan tidak terburu-buru menjatuhkan pilihan tentang pengganti dan dengan susah payah membuat keputusan. Namun, kemudian diputuskan untuk menjatuhkan pilihannya pada Yang Dipertuan Muda,  Raja Ali yang pada April 1845. Sejak wafatnya Raja Abdul Rahman, Raja Ali bersama saudaranya Raja Abdullah menjalankan pemerintahan di wilayahnya. Sejak ini di  Riau Lingga tidak ada lagi peristiwa politik penting yang terjadi. Penduduk hidup dengan ketenangan seperti diharapkan oleh kalangan masyarakat Eropa dan Cina. Keresidenan ini menjadi wilayah yang indah dan bahkan bisa menjadi wilayah yang paling aman di Hindia Belanda. Netscher (1854) dalam tulisannya “Beschrijving van een Gedeelte der Residentie Riouw” dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkund menyebutkan bahkan menyebutkan cuaca di pulau-pulau Riau Lingga, termasuk Pulau Penyengat ini umumnya baik.

Namun demikian, Netscher (1854) yang diperkuat oleh Djoko Marihandono (2019) menyebutkan bahwa Pulau Penyengat pernah terjadi wabah penyakit cacar. Wabah cacar yang melanda di wilayah ini meminta korban ratusan anak dan orang dewasa. Disebutkan pada bulan Agustus-September 1849, di Pulau Penyengat muncul epidemi cacar, yang memakan korban antara 350 dan 400 orang meninggal. Rata-rata antara 6 dan 7 anak meninggal setiap hari karena epidemi ini. Epidemi ini berhasil ditumpas berkat vaksinasi yang didukung oleh Yang Dipertuan Muda Riau Lingga saat itu.

Jumlah penduduk Pulau Penyengat pada tahun 1849 tidak dapat diketahui secara pasti. Namun sebagai gambaran, penduduk Kepulauan Riau Lingga ditafsirkan berjumlah 10.580 orang Melayu (termasuk juga orang laut dan orang darat), 6.472 orang Bugis, 9.838 orang Cina, 388 orang bumiputera asing dan orang timur asing lainnya serta 62 orang Eropa. Pada akhir  1895, jumlah penduduk di Keresidenan Riau dan sekitarnya dilaporkan sebagai berikut:            180 orang Eropa termasuk 103 pria; 22.218 orang Cina termasuk 19.739 pria; 10 orang Arab termasuk 7 pria; 353 orang Timur Asing (Keling) termasuk 222 pria; 85.100 orang bumiputera. Dengan demikian jumlah seluruhnya 107.861 orang. Diduga bahwa angka orang bumiputera jumlahnya mendekati kenyataan (sebelumnya ditafsirkan terlalu tinggi), kira-kira 18 ribu orang untuk afdeeling Pulau Tujuh sehingga untuk seluruh kepulauan Riau Lingga terdapat  80.861 orang termasuk  8 ribu orang Bugis.  Penduduk bumiputera dengan demikian tidak lebih dari 81.861 orang dibandingkan 22.218 orang Cina. Dari jumlah ini 19.739 orang pria dewasa ditemukan dari orang bumiputera, jumlahnya tidak lebih dari 16 ribu.

Penanganan wabah cacar di Pulau Penyengat tersebut tertangani dengan baik, selain dukungan penuh Yang Dipertuan Muda Raja Ali juga oleh kepatuhan masyarakatnya. Disamping sudah ditemukannya vaksin cacar. Hal itu, juga didukung oleh pola hidup bersih dan lingkungan yang semakin tertata rapi pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Ali (1844-1857). Bahkan, dalam perkembangannya pola penanganan seperti itu juga diterapkan di wilayah lain di Riau Lingga, diantaranya pulau Tujuh.

De Soematra Post, 13 Juli 1909 menyebutkan, Penduduk Pulau Tujuh saat itu banyak menderita akibat demam, beri-beri dan cacar akan bisa memperoleh  sarana pengobatan dan pertolongan kesehatan yang mudah meskipun perlu pembenahan dan kendala dalam beberapa hal. Dari laporan singkat Keresidenan Riau dan sekitarnya selama November 1908, bisa diketahui bahwa  sebagai akibat dari banyaknya hujan, kondisi kesehatan pada umumnya tidak menguntungkan. Demam banyak muncul. Dari laporan  posthouder di afdeeling Natuna Besar terbukti  bahwa di sana masih banyak orang yang belum divaksin. Petugas vaksin dari Tanjung Pinang dikirim ke sana. Beberapa kasus cacar air dengan proses penyembuhan yang baik juga ditemukan di Penuba

Penyakit Cacar

Meski saat ini penyakit cacar tidak menakutkan lagi, namun dulu amat menakutkan. Banyak suku menganggapnya sebagai ulah makhluk halus dan mesti meninggalkan desa untuk menghindarinya. Namun kini, orang bisa dengan tenang menghadapinya lantaran akses layanan kesehatan sudah terjangkau dan makin mutakhir. Paling banter, orang akan merisaukan bekas lepuhan yang berubah jadi koreng lantaran sulit hilang. Kerisauan akan penyakit ini cenderung rendah sekarang.

Cacar sendiri, menurut catatan paling awal, muncul pertamakali tahun 1558 di Ternate dan Ambon. Dalam periode tersebut, cacar sudah jadi penyakit endemik di beberapa wilayah Asia Tenggara. Para pelaut Portugis mencatat, cacar mewabah di Fillipina pada 1574 dan 1591. Antara 10-20 persen penduduk terbunuh oleh cacar pada abad ke-16. Dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Jawa” yang dimuat Jurnal Humaniora Oktober 2006, Baha’Udin menyebut cacar pertamakali masuk ke Batavia pada 1644. Tom Harrison dalam “Prehistory of Borneo” berpendapat bahwa penyakit cacar dibawa oleh pedagang Eropa ke Borneo. Namun pendapat ini dibantah Boomgard, yang mengatakan cacar sudah dikenal lama oleh penduduk Tiongkok dan India. Dua negeri ini sudah menjalin kontak dengan banyak kerajaan di Nusantara jauh sebelum bangsa Eropa datang. Sagat sulit untuk tidak membawa serta cacar (tanpa sengaja) dalam hubungan antarnegara tersebut. Keganasan cacar tentu tak hanya menyerang pribumi. Pada 1658 di Banda, beberapa orang kulit putih terkena cacar. Namun, penderitaan mereka tak separah kaum terjajah. Orang-orang Eropa relatif lebih resisten terhadap cacar lantaran kualitas lingkungan hidup yang bersih dan makanan yang bergizi. Pun akses kesehatan bagi mereka terbuka lebar, berbanding terbalik dengan pribumi. Orang Belanda menyebut cacar sebagai cacar anak atau penyakit anak-anak (kinderziekte) lantaran kebanyakan menyerang anak di bawah 12 tahun. Ada anggapan bahwa orang Eropa lebih kebal pada cacar lantaran sudah mengenal penyakit ini lebih dulu sehingga imun tubuhnya pelan-pelan terbentuk untuk resisten pada cacar.

Adalah Edward Jenner, sang penemu vaksin cacar. Semasa hidupnya, beliau memberi kontribusi besar pada dunia. Dialah penemu vaksin cacar di tahun 1796, yang kemudian menjadi landasan pembuatan vaksin-vaksin lainnya. ini terbukti sukses. Dokter di seluruh Eropa langsung mengadopsi teknik inovatif Jenner, yang berdampak positif pada penurunan jumlah penderita cacar.

Penutup

Cacar air adalah penyakit yang mudah menular dan bisa menyebar dengan cepat. Walaupun cacar air lebih sering dialami oleh anak-anak berusia di bawah 10 tahun, tapi tidak menutup kemungkinan orang dewasa pun juga bisa terkena penyakit ini. Cacar air atau yang dalam istilah medisnya disebut juga dengan varicella adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varicella zoster. Penyakit ini bisa dikenali dari gejala-gejalanya yang khas, yaitu munculnya bentol-bentol berisi cairan (lenting) yang gatal dan umumnya menyebar di seluruh tubuh. Cacar air sebenarnya merupakan penyakit umum yang bisa dialami oleh semua kalangan usia. Namun, orang-orang dengan sistem imun yang lemah, seperti bayi, anak-anak, ibu hamil, dan lansia biasanya berisiko lebih tinggi terkena cacar air. Penyakit ini juga bisa menyerang orang dewasa dan menyebabkan gejala yang lebih berat dibandingkan anak-anak. Virus varicella zoster yang menjadi penyebab cacar air bisa menular sangat mudah dan cepat. Cara penyebaran virus ini adalah melalui udara ketika seseorang yang terinfeksi batuk atau bersin.

 Sebagai penutup, bila di tahun 1849, Pulau Penyengat berhasil menangani epidemi tersebut dengan baik. Bukan tidak mungkin, kondisi terkini saat merebaknya covid-19 kita semua dapat belajar dari sejarah masa lalu tersebut. Dengan saling bekerjasama antara pemerintah, masyarakat serta masing-masing dari kita berusaha meningkatkan imun.

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top