Fase Akhir Gerakan Kesultanan Riau 1946-1950

(Bahagian Kedua)

Sejak sekitar pertengahan 1946,  kelompok Gerakan Kesultanan Riau (yang disebut sebagai Sultanaat Riouw Beweging dalam arsip-arsip Belanda tentang gerakan politik ini)  dan beberapa perwakilan “lawan politiknya” yang dimpim Dr. Iljas Datuk Batuah memindahkan aktifitas politik mereka ke Tanjungpinang, menyusul adanya “respons baik” dari pemerintah Belanda yang kembali berkuasa. Di Tanjungpinang, kedua kelompok ini  membuat organisasi politik baru. Tulisan ini, adalah bahagian akhir tulisan minggu yang lalu. Masih dalam tema yang sama, tulisan ini akan memaparkan fase akhir Gerakan Kesultanan Riau yang mempunyai misi menghidupkan kembali pemerintahan Kerejaan Riau-Lingga yang telah dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913.

Bergerak di Tanjungpinang

Permohonan untuk mendapatkan hak berpemerintahan sendiri (zelfbestuur) dalam bentuk menghidupkan kembali lembaga Sultan dan Kerajaan Riau-Lingga ternyata dijawab oleh pemerintah Belanda dengan rencana pemembentukan dewan pemerintahan sipil yang bernama Riouw Raad (Dewan Riau) di Tanjungpinang.

Menaggapi rencana pembentukan Riouw Raad ini, sejumlah anggota penting Persatuan Melayu Riau Sejati (PMRS) pencetus Gerakan Kesultanan Riau yang pada mulanya berbasis di Singapura, akhirnya pindah  ke Tanjungpinang sempena merebut pengaruh politik dalam Riouw Raad  yang akan dibentuk itu.

Setelah bergerak di Tanjungpinang, kelompok ini kemudian mengaktifkan kembali organisasi Djawatan Kuasa Pengurus Rakjat Riau (JKPRR), dengan tokoh-tokoh: Raja Haji Abddullah Oesman sebagai ketua; Wakil ketua Tengku Ahmad Atan; Encik Jafar Haji Uda sebagai sekretaris; dan anggota-anggota yang berasal dari perwakilan daerah Pulau Tujuh, Karimun, Lingga, dan Singkep. Secara eksplisit, organisasi ini semakin mempertegas tujuannya untuk berjuang “mengembalikan kedaulatan raja-raja Riau.”

Dalam disertasinya yang berjudul, The Indonesian Revolution and Singapore Connection 1945-1949,  sejarawan Yong Mun Cheong mencatat bahwa JKPRR didukung oleh sekelompok pedagang-pedagang Cina lainnya yang juga punya andil dalam membantu  perjuangan mereka untuk mengembalikan kerajaan Riau-Lingga. Kelompok ini dipimpin oleh salah seorang pemilik usaha tambang timah di Singkep bernama Koh Peng Kuan yang berasal daerah Geylang, Singapura. Bersama-sama dengan pengurus JKPRR, Koh Peng Kuan pernah menggelar sebuah pertemuan di Singapura pada 10 Agustus 1946, dalam rangka mendukung gerakan itu.

Kepada Kong Peng Kuan, Raja Haji Abdullah Oesman menjanjikan akan menunjuknya sebagai kontraktor tunggal bagi sejumlah proyek pembangunan di Riau-Lingga bila kerajaan itu berhasil dipulihkan.

Selain itu, ia juga dijanjikan akan mendapatkan monopoli dalam usaha penambangan timah di Pulau Singkep. Sebagai kompensasi terhadap janji-janji itu, Koh Peng Kuan kemudian dilaporkan telah menyumbang uang sebanyak $16.000,- hingga $20.000,- pada bulan Februari 1946, dan menjadi tanda dukungannya terhadap Gerakan Kesultanan Riau.

Kompromi Politik

Di Tanjungpinang, gerakan “restorasi” Kesultanan Riau-Lingga yang dikumandangkan oleh JKPRR mendapat pelawanan dari kelompok Republieken pimpinan Dr. Iljas Datuk Batuah yang juga menarik-pulang anggota perwakilannya di Singapura ke Tanjungpinang.

Kelompok Dr. Iljas, yang dalam arsip-arsip Belanda disebut sebagai niet-Riouwers (bukan orang Riau asli, yang terdiri dari gabungan etnis Minangkabau, Jawa, Batak, Palembang, keturunan India, Arab, Menado dll) kemudian membentuk sebuah organisasi perjuangan yang bernama Badan Kedaulatan  Indonesia Riau (Raja?) di Tanjungpinang,  yang disingkat BKIR, pada tanggal 8 Oktober 1945.

Organisasi ini bertujuan untuk memperjuangkan masuknya daerah utama bekas kerajaan Riau-Lingga atau seluruh wilayah Kepulauan Riau, yang ketika itu masih dikuasai Belanda, ke dalam struktur pemerintahan Negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan, dan membentuk pemerintahan baru yang melibatkan penduduk tempatan  orang Riau asli (Riouwer) dibawah pemerintahan Soekarno-Hatta.

Dalam pertarungan politik ini, apa yang dituntut oleh BKIR dan sejumlah ‘organisasi bawah tanah’ onderbouw-nya, dijawab oleh Resident Riouw dengan pemberian otonomi (zelfbestuur) melalui pembentukan Dewan Riouw Sementara, dan tetap berada dibawah pemerintahan Hindia Belanda. Peresmian Pembentukan Riouw Raad Sementara ini dilakukan pada 4 Agustus 1947 di Tanjugpinang.

Pembentukan Riouw Raad Sementara sekaligus menjadi jawaban bagi tuntutan Persatuan Melayu Riau Sejati (PMRS) yang mendukung Gerakan Kesultanan Riau. Tokoh utama PMRS seperti Raja Haji Abdullah Oesman, Encik Jafar Haji Uda, dan Tengku Ahmad Atan @ Tengkoe Achmad bin Tenkoe Atan juga diangkat menjadi anggota Riouw Raad bersama tokoh-tokoh ‘lawan politik’ mereka dari BKIR. Begitu juga dengan perwakilan tokoh Tionghoa di Tanjungpinang, Pulau Tujuh, dan tokoh-tokoh Melayu dari Lingga, serta Kontroleur Belanda di Tanjungpinang, berdasarkan besluit Gubenur Jenderal Hindia Belanda No. 9, tanggal 12 Juli 1947.

Demikianlah, dalam pertelagahan politik, kompromi adalah jalan keluar yang terbaik. Raison d’etre (pembenaran atau justifikasi) makna persatuan yang ‘subjektif’ sebagai motor penggerak Persatuan Melaju Riau Sedjati juga sirna bersama munculnya Raison d’etre makna persatuan yang baru dalam sebuah wadah majelis perwakilan rakyat bernama Riouw Raad (Dewan Riau) untuk bersama-sama merintis sebuah pemerintahan yang baru di Kepulauan pasca proklamasi 17 Agutus 1954.

Misi Ke Jakarta

Bagaimana akhir kisah perjuangan Gerakan Kesultanan Riau dalam menghidupkan kembali Kerajaan Riau-Lingga? Apakah mereka berhenti setelah Riouw Raad terbentuk? Tulisan singkat ini hanya memaparkan secara ringkas bagian kecil dari sebuah peristiwa besar dalam “Gerakan Sultan Riau” yang kompleks.

Masih diperlukan sebuah kajian sejarah yang mendalam, dengan memanfaatkan bahan sumber arsip sezaman. Sangat banyak bahan arsip dan laporan sezaman, baik yang bersal dari pihak Belanda maupun lokal, serta bahan lain yang dapat membantu. Dalam simpanan saya, tedapat ratusan lembar salinan bahan arsip yang dihimpun dari Nationaal Archief  Belanda di Den Haag dan Arsip Nasional Republik Indoensia di Jakarta, yang sangat kaya dengan informasi dan data otentik tentang persoalan ini.

Namun yang jelas, gema perjuangan “gerakan ini” masih terus terdengar setelah Kepulauan Riau sebagai bekas wilayah utama kerajaan Riau-Lingga diberi hak “otonom” dalam bentuk zelfbestuur dibawah kendali Riouw Raad bikinan Belanda yang diresmian pada 4 Agustus 1947 di Tanjungpinang. Bahkan mereka masih bergerak ketika Kepulauan Riau telah menjadi sebuah Kabupaten bagian dari Negara Republik Indonesia setelah penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1950.

Satu hal yang pasti, hingga bulan September 1950, kepercayaan terhadap keberhasilan Gerakan Kesultanan Riau ini  masih kuat. Paling tidak, dikalangan zuriat dan keluarga Sultan Riau terakhir dan pendukungnya di Singapura.

Beberapa ilustrasi dapat saya kemukakan dalam kesempatan ini. Dari Singapura, seorang bernama T. Hamzah  bin Achmad yang menyebut dirinya sebegai Vice-Presiident dari Setia UsahaPersatuan Melaju Riouw Sedjati” (P.M.R.S) pernah melayangkan sepupucuk surat kepada President Republik Indonesia Serikat, Paduka Tuan Besar Ir. Sukarno, yang bersemayam di Istana-Gambier di Jakarta pada 1 Juli 1950, menyusul surat yang dikirimkan dari Singapura pada 9 Januari 1950. Isinya masih sama. ‘Restorasi’ Kesultanan Riau-Lingga dan mengusulkan Tengku Ibrahin bin Tengku Omar sebagai calon Sultan Riau yang baru.

Setahun kemudian, tepatnya 31 Agustus 1950, masih dari Singapura, sepucuk surat registered-Air-Mail dengan perihal serupa dilayang oleh Ketua Setia Usaha PMRS bernama Capt. Ismail bin Ahmad. Isinya penuh pengharapan kepada Presiden Soekarno dan dengan pertolongan Bupati Riouw (Kepulauan Riau). Bagian penting surat itu ditulis sebagai berikut: “…berharaplah kami orang Ra’jat Riouw dari Luar dan Dalam Negeri semuanya bertjinta [bercita-cita?] akan menerima Radjanya kembali dengan seberapa segera dengan dikorniakan oleh Negara R.I. jang adil dan berdaulat itu,…”

Bagaimana hasil ‘diplomasi’ dan misi ke Jakarta ini? Satu hal yang pasti, pada 10 Desember 1950, setelah selama dua bulan mengunjungi Jakarta dalam rangka sebuah negosiasi ‘memujuk’ pemerintah Republik Indonesia sempena “menghidupkan kembali” Kerajaan Riau-Lingga, Tengku Ibrahim bin Omar memberikan sebuah “isyarat yang menggembirakan” sesaat setelah ia mendarat di Kallang Airport Singapura. Oleh karena itu, ia disambut dengan gegap gempita oleh pendukungnya.

Ketika ditanya oleh reporter surat kabar The Straits Times, cucu mantan Sultan Riau-Lingga yang terakhir itu memberikan jawaban yang meyakinkan. Ia mengatakan bahwa, “…his talks [in Jakarta] were ‘secret’”. Ada sebuah pembicaraan yang sifatnya rahasaia di Jakarta. Ia mengharapkan Presiden Soekarno mengunjungi Rhio (Tanjungpinang) dengang segera (…but [he] added that the Indonesian President, Dr. Soekarno, is expected to visit Rhio “very soon”).

Pada 11 September 1950, Presiden Soekarno memang datang bertandang ke Tanjungpinang. Dan Kepulauan Riau ketika itu telah bergabung kedalam Republik Indonesia sebagai hasil dari Konfrensi Meja Bundar (KMB). Namun, Presiden Soekarno datang untuk misi yang lain. Sebuah kunjungan ‘propaganda’ untuk menjelaskan masalah Irian Barat, dan ‘meredam’ dampak aksi-aksi ‘gerakan revolusoner’ yang mulai memanas di Sumatera, di tengah revolusi Indonesia yang belum selesai.***

Bagian 1 : https://jantungmelayu.co/2020/08/fase-akhir-gerakan-kesultanan-riau-1946-1950/

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top