Supaya Mendapat Pangkat Dermawan

Oleh: Abdul Malik*

SYAHADAN, setelah menempuh perjalanan laut yang penuh tantangan, selamatlah sampai Sultan Abdul Muluk di Negeri Ban. Perjalanan tersebut merupakan ujian ketangguhan bagi sultan yang masih muda usia itu pascapelantikannya menjadi Sultan Barbari untuk menggantikan ayahandanya yang telah mangkat belum berapa bulan lamanya. Dalam perjalanan dia harus menghadapi ganasnya lautan yang sering bergelora dengan kecamuk gelombang yang tiada terkira disertai amukan badai yang sungguh mendera. Walaupun begitu, dengan cekal hati karena niatnya yang suci diteruskannya juga perjalanan perdananya sebagai sultan ke luar kerajaannya. Tiada lain maksudnya untuk menjalin muhibah seraya menimba pengalaman dari pemimpin negara tetangga yang lebih berida.

Perjalanannya diiringi oleh beberapa menteri, dikawal pula oleh para hulubalang terbilang, dan dilengkapi dengan laskar yang tangguh lagi setia. Kenyataan itu membuat tuan rumah menaruh curiga. Apatah lagi, yang datang ini pastilah bukanlah raja sebarang raja, melainkan penguasa kerajaan besar yang banyak daerah takluknya. Kedatangannya yang tiba-tiba tanpa warkah ataupun kabar yang mendahuluinya menjadi alasan kuat bagi tuan rumah—Sultan Ban—mengirim utusan ke dermaga untuk menyelidiki maksud kunjungannya, sebelum pengunjung itu memasuki kota yang mana tahu dengan niat tiada terduga. Berprasangka baik itu perlu, tetapi bersikap waspada jauh lebih mustahak agar negeri tak beroleh malu.

Datang baik disambut mulia, datang jahat buruk padahnya. Selidik punya selidik, diketahuilah duduk perkaranya. Ternyata, tamu yang datang itu sultan muda yang baru saja kehilangan ayahandanya tercinta. Dia datang ke Negeri Ban dengan maksud mulia untuk menjalin muhibah dengan penguasa dan rakyat negeri jirannya seraya menimba ilmu dari pemimpin yang lebih berpengalaman dari dirinya. Gayung bersambut, kata pun berjawab. Lalu, dijemputlah Abdul Muluk sultan nan pokta ke istana Sultan Ban untuk disambut sebagai lazimnya adat diraja memuliakan tetamunya.

Dalam perjalanannya dari dermaga memasuki kota terus menuju istana, Sultan Abdul Muluk disambut rakyat Negeri Ban dengan gegap-gempita. Tubuhnya yang kekar lagi elok, parasnya yang tampan, dan senyumnya yang menawan membuat semua manusia yang berhimpun pepat di sepanjang jalan menjadi tertawan. Tua-muda mengalu-alukannya dengan sambutan hangat. Para teruna bagai tersihir sehingga menimbulkan semangat. Dan, lebih-lebih dara-dara Negeri Ban—dari rakyat biasa sampai putri-putri para pembesar negeri—terpana bak tertusuk panah asmara yang menggelora bangat. Walhal, sampailah Abdul Muluk dan rombongannya di balairung seri istana tempat para pembesar dan Sultan Ban menyambut kedatangannya dengan suka cita. Selanjutnya, Raja Ali Haji rahimahullah bertutur di dalam Syair Abdul Muluk, bait 337.

Lalu semanyam kedua sultan
Dihadap hulubalang menteri sekalian
Abdul Muluk usul pilihan
Menghadap baginda tertib dan sopan

Begitulah kesan pertama yang ditangkap oleh para pembesar, termasuk sultan, dan seluruh rakyat Negeri Ban. Adabnya yang terpelihara tak memungkinkan orang untuk menolaknya untuk tertawan, apatah lagi melawan. Kualitas budinya itu, sepadu dan sepadan dengan mutu fisiknya, menyerlahkan jati dirinya sebagai pemimpin bangsawan. Jadi, adab-pekerti menjadi salah satu kunci utama kejayaan pemimpin pilihan.

Bagi pemimpin seperti Abdul Muluk, tuntunan kepemimpinan yang terala (luhur dan mulia) senantiasa diperhatikan dan diterapkannya dalam praktik pengabdiannya. Selain sifat dan sikap, tutur katanya dijaganya begitu rupa seperti diungkapkan oleh Gurindam Dua Belas, Pasal yang Ketujuh, bait 9.

Apabila perkataan yang lemah lembut

Lekaslah segala orang mengikut

Adab pemimpin yang pokta sangat jelas terlihat dari tutur katanya. Kepada siapa pun, perkataannya senantiasa menyenangkan hati orang-orang yang berkomunikasi dengannya. Dia tak pernah sampai hati mengecewakan orang dengan tutur katanya yang menusuk kejam. Dengan kualitas seperti itu, siapa pun pemimpinnya pasti mendapat sokongan dari rakyat yang memang mendambakan pemimpin yang boleh dibanggakan.

Dia mampu memecahkan masalah rakyatnya dalam apa pun bentuk bantuannya sesuai dengan kemampuan, wewenang, dan tanggung jawab yang diembannya sebagai pemimpin. Tutur katanya saja sudah menjadi setawar sedingin bagi rakyatnya. Oleh sebab itu, dia tak pernah tergamak melukai hati orang dengan lisannya yang tajam bak sembilu, yang jangankan orang yang datang jadi terbantu, malah hati yang resah bertambah pilu. Pasalnya, dia juga ingat kearifan yang terhimpun dalam Gurindam Dua Belas, Pasal yang Ketujuh, bait 10.

Apabila perkataan yang amat kasar

Lekaslah sekalian orang gusar

Pemimpin berkelas tujuh bintang dengan sinar adab pekerti seperti Abdul Muluk tak akan pernah menemukan derita rakyatnya yang bersumber dari kealpaan, apatah lagi kekejaman, dirinya. Pasalnya, dia menyadari benar bahwa amanah kepemimpinan yang dilimpahkan kepadanya memang untuk memecahkan masalah yang ada di dalam masyarakat yang dipimpinnya. Untuk itulah dia dijadikan “orang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting” dalam menakhodai kemajuan negeri dan rakyatnya. Dia mengetahui benar bahwa motivasi dan implementasi kepemimpinannya menjadi tagan bagi kejayaan negeri dan seluruh rakyat yang dipimpinnya.

Gagasan kepemimpinan yang mengedepankan adab pekerti sebagai kualitas utama yang mesti diamalkan dapat juga ditemui di dalam Tsamarat al-Muhimmah. Dalam karya itu, Raja Ali Haji bertutur secara hikmat agar semua yang terbabit dalam bakti kepemimpinan beroleh rahmat hingga Hari Kiamat.

“Bermula … maka seyogianya hendaklah dipilih akan orang yang ahli memegang jabatan yaitu Islam dan mukallaf dan laki-laki dan merdeka yang mempunyai ijtihad dan tadbir yang baik, yang amanah dan benar lidahnya dan mempunyai marwah dan beradab [huruf miring oleh saya, A.M.] dan bersopan dan berilmu dengan ilmu muhtaj kepadanya,” (Raja Ali Haji dalam Abdul Malik (Ed.) 2012, 33).

Rupanya memang banyak syarat yang harus dipenuhi oleh pemimpin. Di antaranya, marwahnya menjadi teserlah karena perilaku beradab yang diterapkan terhadap semua orang. Oleh sebab itu, Sultan Abdul Muluk yang mengamalkan perilaku itu mendapat sambutan dan menjadi tumpuan harapan seluruh rakyat. Pasalnya, kualitas budinya itu telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pemimpin yang amanat, yang Insya Allah, akan beroleh rahmat. Untuk menguatkan hujah itu, Tsamarat al-Muhimmah masih menyempurnakannya dengan syair nasihat, bait 34.

Inilah pesan ayahanda nan tuan

Kepada anakanda muda bangsawan

Buangkan fi’il perangai hewan

Supaya mendapat pangkat dermawan

Itulah keistimewaan pemimpin yang setia memelihara adab pekertinya dalam kepemimpinannya. Dia boleh menjadi tauladan karena dengan adabnya itu dia telah mengangkat derajat dan martabatnya menjadi pemimpin dermawan. Dengan demikian, tak hanya kesediaan membantu orang dengan uang dan materi saja membuat pemimpin menjadi dermawan, tetapi sikapnya yang beradab kepada semua manusia lebih-lebih mengangkat jati dirinya menjadi  pemimpin idaman. Membantu orang dengan uang, tetapi tanpa keikhlasan sebagai tanda lemahnya adab pekerti, karena terpaksa untuk pencitraan diri misalnya, tak membuat seseorang mampu mengubah diri menjadi manusia dermawan dalam arti yang murni.

Sultan Abdul Muluk adalah tokoh fiktif yang diciptakan oleh Raja Ali Haji di dalam Syair Abdul Muluk untuk mewakili pikiran dan gagasan beliau tentang pentingnya kualitas adab pekerti bagi pemimpin agar berjaya dalam bakti kepemimpinannya. Akan tetapi, di dalam Tuhfat al-Nafis beliau menampilkan tokoh nyata yang memang pernah hidup dan tercatat dalam sejarah peradaban manusia.

“Syahadan apabila mangkatlah Sultan Alauddin Riayat Syah itu, maka menggantikan kerajaannya puteranya yang bergelar Sultan Muzaffir Syah. Adalah umurnya waktu ia menjadi raja, iaitu sembilan belas tahun. Adalah baginda itu baik adabnya [huruf miring oleh saya, A.M.] dengan orang tua-tua, tiada ia membicarakan suatu pekerjaan melainkan muafakat dengan Datuk Bendahara dan Seri Nara Diraja serta Temenggung Sedewa Raja serta orang yang tua-tua sekalian. Dan masa kerajaannyalah tiada boleh Feringgi ke laut-laut lagi dengan sebuah dua, melainkan didapatlah oleh perompak Johor. Syahadan pada masa Sultan Muzaffir Syah inilah membuat kubu di Seluyut, lalu dibuat negeri sekali,” (Matheson (Ed.) 1982, 9—10).

Tokoh yang dinarasikan oleh Raja Ali Haji ternyata Sultan Muzaffir Syah, yakni Sultan II Kerajaan Johor-Riau. Baginda dikenal sangat beradab kepada orang tua-tua dan senantiasa mengutamakan musyawarah dalam membuat putusan kepemimpinan. Alhasil, Baginda sangat dicintai oleh seluruh rakyatnya. Cinta rakyat kepada rajanya itu menyebabkan Feringgi (Portugis) tak mampu menguasai Kerajaan Johor-Riau karena penceroboh itu akan berhadapan langsung dengan rakyat Johor-Riau yang mengubah wujud mereka menjadi bajak laut yang sedia dan setia menghadang kekuatan Portugis di laut-laut wilayah takluk Kerajaan Johor-Riau. Luar biasa rupanya energi dan kekuatan adab pekerti pemimpin. Cahayanya mampu menembus relung hati rakyat yang terdalam sehingga mereka sedia berkorban jiwa dan raga demi membela marwah bangsa dan negara serta martabat pemimpinnya juga. Dan, itu nyata, bukan cerita rekaan.

Di atas segalanya, memelihara adab pekerti bagi manusia, umumnya, dan pemimpin, khususnya, memang dituntut oleh Allah SWT. Inilah di antara firman yang patut diperhatikan untuk dijadikan pedoman dalam menunaikan bakti kepemimpinan.

“Dan, janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan, sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk suara ialah suara keledai,” (Q.S. Luqman:18—19).

Betapa Allah mengibaratkan perilaku sombong, lawan dari adab pekerti, yang disertai perkataan kasar sama dengan perilaku keledai. Oleh sebab itu, sungguh tak patut jika sifat, sikap, dan perilaku itu menjangkiti manusia, apatah lagi pemimpin. Berasaskan itu, Allah membimbing manusia untuk menauladani kepemimpinan Rasulullah SAW yang senantiasa mengedepankan budi pekerti dalam kepemimpinan Baginda. “Dan, sesungguhnya kamu benar-benar memiliki budi pekerti yang agung,” (Q.S. Al-Qalam:4).

Jelaslah sudah rujukan Raja Ali Haji tentang kualitas kepemimpinan yang dianjurkan oleh beliau. Semua pedoman dan tunjuk ajar itu bersumber dari ajaran agama Islam, yang beliau yakin pasti akan menyelamatkan para pemimpin jika diterapkan dalam bakti kepemimpinan.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, aku orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang pertama sekali masuk surga: orang yang mati syahid, hamba yang menunaikan hak Allah dan hak majikannya, dan orang fakir yang menjauhkan diri dari hal-hal yang tak baik. Aku juga orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang pertama sekali masuk neraka: pemimpin yang otoriter (sewenang-wenang), orang kaya yang tak menunaikan kewajibannya, dan orang fakir yang sombong,” (H.R. Ahmad).

Sabda Rasulullah SAW itu menegaskan lagi betapa pemimpin memang tak patut menolak syarat keadaban. Sesiapa pun yang berani menentang ketentuan itu pasti mendapat padah yang tak terperikan. Di dunia boleh jadi lepas, tetapi di akhirat derita abadi sedia menanti untuk ditunaikan. Pasalnya, anugerah kepemimpinan terlalu mulia untuk diselewengkan. Oleh sebab itu, telanjur beroleh jabatan pemimpin, eloklah diraih pangkat dermawan.***

*) Budayawan Melayu.

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top