Memartabatkan Bahasa Melayu ke Persada Dunia

SEMPENA rangkaian kegiatan Sambutan (Peringatan) Bulan Bahasa Singapura 2018, Majlis Pusat Singapura melaksanakan acara Forum Bahas Bahasa V pada Sabtu, 18 Agustus 2018.

Kegiatan dilaksanakan di Kantor Majlis Pusat Singapura, 93 Toa Payoh Central Community Building, Singapore 319194. Dalam acara tersebut Panitia mengundang tiga pembicara utama (keynote speakers): (1) Prof. Datuk Dr. Awang Sariyan, Profesor Pengajian Dunia Melayu, Institut Antarabangsa Tamadun Islam dan Dunia Melayu, Universiti Antarabangsa Malaysia (mantan Ketua Pengarah (Kepala) Dewan Bahasa dan Pustaka), Malaysia; (2) Dato’ Dr. Drs. H. Abdul Malik, M.Pd., Budayawan Melayu, Associate Professor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/Melayu sekaligus Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang (mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau), Indonesia; dan (3) Dr. Mohd. Pitchay Gani Aziz, pegawai kanan Kementerian Pendidikan Singapura.

Acara yang dikemas dalam bentuk seminar itu dibuka oleh Encik Suri Abu, Presiden Majlis Pusat Singapura. Bertindak sebagai moderator adalah Encik Yahya Hamid, M.A.,  Pengerusi Jawatankuasa Kebudayaan Majlis Pusat Singapura sekaligus Ketua Panitia. Acara dibuka dengan pembacaan puisi oleh Puan Wahyu Cahyaningtyas.

Forum Bahas Bahasa V  Singapura 2018 dengan tema “Pemartabatan Bahasa Melayu ke Persada Dunia” dihadiri oleh para peserta dari tiga negara: Singapura, Indonesia, dan Malaysia. Peserta forum terdiri atas para dosen, peneliti, guru, budayawan, seniman, sastrawan, penulis, tokoh adat Melayu, dan pegiat bahasa, sastra, dan budaya.

Harapan dan upaya bangsa Melayu untuk memartabatkan bahasa Melayu ke persada dunia tentulah bertujuan agar kedudukan bahasa Melayu sejajar dengan bahasa modern lainnya di dunia. Upaya itu seyogianya mendapat sambutan dan sokongan penuh dari pemerintah dan seluruh bangsa Melayu di mana pun mereka berada.

Status sekaligus prestasi bahasa internasional sebetulnya telah dicatat oleh bahasa Melayu pada masa lampau, jauh sebelum ianya diangkat menjadi bahasa nasional di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Kenyataan itu telah diakui oleh masyarakat internasional, termasuk para pakar sejarah, kebudayaan, linguistik, dan para pejuang bangsa kita.

Menurut van Ophuijsen (1910), Mees (1957, 16), dan Collins (2011, xvii), bahasa Melayu telah lama dikenal dan memainkan peran istimewanya sebagai bahasa internasional, sekurang-kurangnya sejak abad ke-7, yakni pada masa kejayaan Kemaharajaan Sriwijaya dan terus meningkat sampai masa Kesultanan Riau-Lingga (1824—1913). Keistimewaan itu disebabkan oleh persebarannya sangat luas di Asia, khasnya di Asia Tenggara, sehingga menjadi satu dari lima bahasa yang memiliki jumlah penutur terbanyak di dunia.

Selain itu, faktor yang paling menentukan adalah kewibawaannya sebagai bahasa diplomasi utama dan satu-satunya yang digunakan oleh kerajaan-kerajaan nusantara. Dalam hal ini, para raja nusantara pada masa lampau sangat setia dan hanya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa diplomasi, sama ada dalam perhubungan diplomatik dengan sesama mereka (penguasa nusantara) ataupun dengan penguasa dan atau pelaku bisnis bangsa asing yang berhubungan dengan mereka. Sikap yang diterapkan secara konsisten di dalam kebijakan kerajaan-kerajaan nusantara itu telah menjulangkan nama bahasa Melayu di kalangan masyarakat internasional kala itu, termasuk di kalangan para pemimpin bangsa asing yang berhubungan dengan para penguasa tempatan (nusantara).

Dalam praktiknya, sesiapa pun dan dari mana pun asalnya, setiap orang yang hendak berkomunikasi dengan penguasa pribumi nusantara dan seluruh rakyat negeri ini pada masa lalu harus menggunakan bahasa Melayu. Faktor-faktor positif yang menyokong kedudukan istimewa bahasa Melayu itu patutlah dijadikan patokan dalam upaya internasionalisasi bahasa Melayu dalam era modern sekarang. Dalam hal ini, faktor intrabahasa dan ekstrabahasa harus diperhatikan seperti yang menyokong bahasa-bahasa modern menjadi bahasa dunia, khususnya bahasa Inggris yang paling digemari oleh masyarakat dunia setakat ini, karena suka atau terpaksa.

Secara intrabahasa, bahasa Melayu menarik perhatian bangsa asing karena bunyinya yang merdu. Kemerduan bunyi itu disokong oleh kesantunan pengucapannya (van Ophuijsen 2010). Setiap bahasa yang santun memang menghasilkan bunyi yang indah. Karena terpikat oleh kemerduannya itulah, seorang pakar bahasa Universitas Beijing, China, menyediakan dirinya untuk mempelajari bahasa Melayu sampai 50 tahun tanpa henti. Kegiatan belajarnya dimulai dengan mendengarkan radio siaran Indonesia dan Malaysia itu telah mengantarkan beliau menjadi pakar (profesor) bahasa Melayu.

Sampai kini bahasa Melayu masih bercirikan kemudahan dan kemerduan sistem bunyinya. Hal itu menarik perhatian bangsa asing untuk mempelajarinya karena kemudahan itu meyakinkan bahwa mereka pun mampu menguasai bahasa Melayu.

Seperti halnya sistem bunyinya, sistem gramatikal bahasa Melayu pun tergolong mantap dan sederhana. Hal itu juga telah mendorong minat bangsa asing untuk mempelajarinya karena tak ada hambatan yang berarti bagi mereka untuk menguasainya. Dalam hal ini, bahasa Melayu modern pun menunjukkan gejala yang sama, bahkan kemantapan strukturnya makin terus meningkat dengan adanya pembinaan yang semakin intensif dilakukan oleh institusi yang diserahi tanggung jawab itu seperti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Indonesia, Dewan Bahasa dan Pustaka di Malaysia, perguruan tinggi, bahkan perseorangan yang berprofesi dalam bidang bahasa dan nonbahasa melalui karya-karya mereka. Kemantapan struktur itu nescaya akan menarik minat para penutur asing untuk mempelajari bahasa Melayu, baik di negara-negara berbahasa Melayu maupun di negara mereka masing-masing.

Bahasa Melayu pun sangat mudah menyerap unsur bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Kenyataan itu memungkinkan bahasa Melayu berkembang pesat ke depan ini, terutama dalam peningkatan jumlah kosakata (perbendaharaan kata) dan istilah. Keterbukaan bahasa Melayu memang diperlukan untuk menampung konsep-konsep baru sejalan dengan perkembangan tamadun manusia sejagat seiring dengan perkembangan sains, teknologi, dan seni-budaya.

Selaras dengan kegiatan pengembangan dan pembinaan bahasa Melayu pada masa lampau, seperti pada masa Kesultanan Riau-Lingga, telah dihasilkan karya-karya tata bahasa, ejaan, kamus, dan lain-lain yang dikerjakan oleh Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, Raja Ali Kelana, dan Abu Muhammad Adnan. Setakat ini untuk bahasa Melayu-Indonesia pun telah tersedia buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, Pedoman Pembentukan Istilah, Kamus Istilah pelbagai bidang ilmu, dan glosarium pelbagai bidang ilmu, yang dikerjakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, perguruan tinggi, dan perseorangan yang menaruh minat dalam bidang itu. Keberadaan pelbagai pedoman itu memudahkan orang untuk mempelajari bahasa Melayu/Indonesia, termasuk bangsa asing.

Jelaslah bahwa secara intrabahasa, tak ada hambatan sama sekali bagi bahasa Melayu untuk meningkatkan kedudukannya sebagai bahasa antarabangsa (internasional). Walaupun begitu, penelitian terhadap bahasa Melayu di negara-negara dan atau kawasan-kawasan yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu harus semakin ditingkatkan. Hasilnya akan sangat bermanfaat bagi pengembangan kosakata, istilah, dan pemantapan struktur bahasa Melayu sehingga bahasa Melayu semakin mantap menjadi bahasa internasional dalam era modern ini.

Secara ekstrabahasa, bahasa Melayu pun memiliki penutur yang tersebar luas di Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan. Bersama dengan penutur bahasa Melayu sebagai bahasa kedua di seluruh nusantara dan luar negeri; penutur bahasa bahasa Melayu menempati urutan keempat terbanyak di dunia. Jumlah penutur yang besar itu memungkinkan orang asing menaruh minat belajar bahasa Melayu untuk memudahkan mereka berkomunikasi dengan bangsa Melayu. Pada gilirannya, keadaan itu memungkinkan bahasa Melayu untuk menjadi bahasa internasional.

Sebagai pewaris sahnya, penutur asli bahasa Melayu seyogianya bersikap positif terhadap bahasa Melayu. Sikap positif itu diperlukan agar lebih mengutamakan penggunaan bahasa Melayu dalam berkomunikasi di negeri dan atau negeranya sendiri. Dengan sikap positif itu, kepercayaan diri untuk menggunakan bahasa Melayu walaupun berhadapan dengan orang asing akan semakin mantap sehingga memungkinkan pengantarabahasaan bahasa Melayu. Pasalnya, orang asing “dipaksa” menggunakan bahasa Melayu di negeri dan atau negara Melayu sehingga mereka harus mempelajari bahasa Melayu seperti halnya bangsa lain wajib mempelajari bahasa Inggris agar dapat berkomunikasi dengan penutur bahasa Inggris di negara mereka.

Alam dan tamadun Melayu sejak dahulu sampai sekarang tetap dan semakin menarik perhatian bangsa asing, Barat maupun Timur. Ketertarikan itu akan berimplikasi bahwa mereka akan berminat untuk berbisnis di kawasan yang bertamadun Melayu. Dengan demikian, mereka akan belajar bahasa Melayu, baik di negara mereka maupun di nusantara. Menurut Wahya (2011, 174), setakat ini ada 219 perguruan tinggi di 74 (sumber lain menyebutkan sudah 96) negara yang melaksanakan pengajaran bahasa Melayu/Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa bangsa asing menaruh minat yang besar untuk belajar bahasa Melayu, baik dengan tujuan instrumental maupun integratif, termasuk untuk berbisnis di Indonesia. Dengan demikian, kawasan Melayu akan mendorong percepatan terealisasinya internasionalisasi bahasa Melayu.

Di atas telah disebutkan bahwa sarjana China sangat berminat mempelajari bahasa Melayu setelah beliau mendengar radio siaran Indonesia dan Malaysia. Hal itu bermakna media elektronik seperti radio, televisi, dan internet memungkinkan bangsa asing tertarik terhadap untuk kemudiannya membantu mereka mempelajari bahasa Melayu. Dengan demikian, radio-radio siaran, televisi, dan internet yang berkembang sekarang sangat efektif digunakan untuk mempromosikan bahasa Melayu di kalangan orang asing.

Di Indonesia, untuk keperluan pembelajaran bahasa Indonesia, telah pula dikembangkan materi Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Materi itu digunakan untuk mengajarkan pembelajar asing yang belajar bahasa Indonesia, sama ada di negara mereka masing-masing ataupun di Indonesia. Para mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia di Indonesia semakin meningkat setiap tahun setakat ini. Kenyataan itu sangat menyokong pemartabatan bahasa Melayu di persada dunia.

Salah satu faktor penting yang sangat menentukan sesuatu bahasa menjadi bahasa internasional adalah banyaknya karya sains dan teknologi serta karya-karya lain yang bermutu ditulis dalam bahasa itu. Bahasa Inggris sekali lagi menjadi contoh terbaik untuk kasus ini. Dengan demikian, pemerintah harus menyokong dan mengupayakan temuan-temuan baru dalam bidang sains dan teknologi oleh bangsa Melayu yang hasilnya ditulis dalam bahasa Melayu, bukan bahasa asing, atau ditulis secara dwibahasa: Melayu-Inggris, misalnya.

Karena karya yang bermutu akan dicari orang di mana pun di dunia ini, adanya karya bermutu pelbagai bidang ilmu yang ditulis dalam bahasa Melayu oleh ilmuwan Melayu dan atau ilmuwan bangsa lain akan memicu semangat bangsa asing untuk mempelajari bahasa Melayu. Karya-karya Raja Ali Haji pada era Melayu klasik yang diterbitkan dalam jurnal berbahasa Belanda merupakan contoh yang representatif untuk kasus ini. Berhubung dengan itu, perlu diterbitkan jurnal ilmiah berbahasa Melayu yang bertaraf internasional. Tentu juga karya dalam bentuk buku referensi yang bermutu.

Di Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan memiliki semangat untuk menginternasionalkan bahasa Melayu/Indonesia. Pada Pasal 28 disebutkan “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.” Sayangnya, ada gejala umum bahwa pejabat negara di Indonesia tak semuanya menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resmi mereka di luar negeri, bahkan mereka juga berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, ketika menyampaikan pidato menyambut tamu asing di dalam negeri. Gejala seperti itu menunjukkan ketakpercayaan diri menggunakan bahasa Indonesia oleh pemimpin bangsa ini, yang berpengaruh negatif bagi upaya pemartabatan bahasa Melayu/Indonesia di mata dunia.

Undang-undang yang sama mengatur, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia” (Pasal 32, ayat 1). Sangat sering terjadi forum yang bersifat internasional di Indonesia menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, termasuk promosinya melalui media luar ruang seperti kain rentang (spanduk), baleho, dan atau berita di media massa. Jelaslah kebiasaan itu merendahkan martabat bahasa dan bangsa Indonesia di mata masyarakat internasional serta menghambat perkembangan bahasa Melayu/Indonesia bagi kalangan lebih luas, bangsa asing misalnya, yang berdampak pada terhambatnya upaya menjadikan bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa internasional.

Pada pasal lain diatur, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta” (Pasal 33, ayat 1). Yang dimaksud dengan “lingkungan kerja swasta”  mencakup perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Kenyataan yang terjadi, justeru, sebaliknya. Para pekerja Indonesia yang bekerja di perusahaan swasta asing di Indonesia harus menggunakan bahasa asing. Makin fasih dan petah seseorang pekerja menggunakan bahasa asing akan semakin tinggi pula gajinya. Bahkan, pekerja asing semakin boleh secara leluasa menggunakan bahasa mereka di Indonesia.

Pasal 36, ayat (3) mengatur, “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.” Penjajahan bahasa asing paling ketara dalam konteks ini. Gejala itu sangat negatif bagi upaya internasionalisasi bahasa Melayu/Indonesia. Seharusnya, nama-nama tersebut menggunakan bahasa Melayu/Indonesia atau bahasa daerah,  sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009.

Secara intrabahasa, sebagai bahasa modern dengan penutur tak kurang dari 350 juta (yang menggunakannya sebagai bahasa pertama dan bahasa kedua), bahasa Melayu sangat potensial menjadi bahasa antarabangsa. Akan tetapi, secara ekstrabahasa, sikap bahasa sebagian pemimpin bangsa Melayu dan kalangan terpelajar kita dewasa ini lebih menggemari penggunaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris.

Hal itu berpotensi memperlambat terwujudnya bahasa Melayu sebagai bahasa internasional. Diperlukan kepercayaan diri yang kokoh dari segenap elemen bangsa Melayu untuk memartabatkan bahasa Melayu ke persada dunia. Agak ironis memang, degradasi kedudukan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional, justeru, terjadi setelah bangsa-bangsa di nusantara ini merdeka dari belenggu penjajahan.

Padahal, jangankan ketika masih merdeka sebelum datangnya bangsa asing, setelah dijajah oleh bangsa asing pun, para pendahulu kita sangat memuliakan dan menjunjung tinggi bahasa Melayu dalam semua urusan komunikasi mereka. Mereka menolak penggunaan bahasa asing untuk semua urusan di kerajaan-kerajaan mereka. Oleh sebab itu, walaupun secara politik dan ekonomi bangsa kita terjajah kala itu, secara kultural bangsa asing tak pernah mampu menjamah dan menjajah kita sehingga jati diri dan kepribadian bangsa kita tetap kokoh.

Untuk menaikkan posisi tawar di kalangan masyarakat internasional dalam kaitannya dengan upaya memartabatkan bahasa Melayu di persada dunia, sangat diperlukan kerja sama yang intensif negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Daya tawar bangsa Melayu yang negara-negaranya berkedudukan penting di ASEAN itu akan memungkinkan masyarakat internasional menyokong pengantarabangsaan bahasa Melayu. Apatah lagi, setakat ini jumlah negara yang menempatkan bahasa Melayu sebagai bahasa kedua atau bahasa asing utama bagi bangsa mereka terus saja meningkat.

Upaya ini juga tak kalah pentingnya. Generasi muda kita harus digesa dan disokong penuh untuk mengembangkan karya-karya kreatif pelbagai bidang dengan menggunakan bahasa Melayu/Indonesia (lisan dan tulis). Karya-karya mereka itu, yang sering tak terpikirkan oleh generasi yang lebih senior, seyogianya dikomunikasikan dengan memanfaatkan jaringan teknologi informasi (radio, TV, internet, handphone, dll.), yang sangat berpengaruh dalam era globalisasi ini. Promosi karya anak bangsa, yang lebih paham akan selera generasi era mereka, akan efektif memartabatkan bahasa Melayu ke persada dunia.

Tinggal lagi, kesemuanya terpulanglah kepada kita sebagai pemilik sah bahasa Melayu/Indonesia. Dalam hal ini, kita hendak atau tidak, kita percaya diri atau tidak? Kalam pemutusnya memang hanya itu sahaja!***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top