Kembalinya Kedaulatan Lingga-Riau-Johor-Pahang

Oleh: ABDUL MALIK*

EPISODE Lingga merupakan klimaks dari seluruh perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah semasa hidup Baginda dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Sultan Mahmud Riayat Syah telah menang besar dalam perang melawan Belanda di perairan Tanjungpinang pada 13 Mei 1787. Anehnya, Baginda justeru membuat putusan yang mengejutkan: berhijrah dan memindahkan pusat pemerintahan kesultanan ke Daik, Lingga (ibukota Kabupaten Lingga sekarang). Sesuai dengan putusan itu, pada 24 Juli 1787 Sultan Mahmud dan seluruh rakyat berpindah ke Daik, Lingga. Sebagian lagi rakyat Baginda berpencar ke daerah-daerah lain di dalam daerah takluk Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang kala itu sehingga Tanjungpinang, khususnya, dan Pulau Bintan, umumnya, menjadi kosong. Yang tinggal hanyalah buruh kebun milik orang Melayu.

Strategi Sultan Mahmud berhijrah ke Lingga, yang dipusatkan di Daik,  ternyata memang telah dipersiapkan oleh Baginda secara matang. Kehadiran Baginda bersama pasukannya di Lingga benar-benar menakutkan dan menjadi duri dalam daging bagi Kompeni Belanda. Serangan-serangan bajak laut, yang tiada lain pasukan Sultan Mahmud, ke daerah-daerah kekuasaan VOC-Belanda seperti Bangka dan Belitung sangat menyulitkan Belanda. Pasukan Sultan merampas timah yang diusakan oleh VOC di daerah-daerah itu untuk kemudian dijual kepada pedagang Inggris yang datang ke Lingga.

Perompakan oleh pasukan Sultan terhadap kapal-kapal dagang VOC dan sekutu-sekutunya di perairan Lingga dan Selat Melaka benar-benar mengacaukansumber-sumber ekonomi VOC dan merugikan Kompeni Belanda itu. Dalam sebuah laporan arsip catatan rapat VOC di Malaka 1790 disebutkan bahwa keberadaan Sultan Mahmud dan pengikutnya ke Lingga sangat membahayakan kedudukan Belanda di kawasan Kepulauan Riau. Laporan VOC itu juga membuktikan bahwa Sultan Mahmud menggunakan kekuasaan dan kekuatannya mengendalikan para bajak laut untuk menyerang atau merompak musuh-musuh Baginda, tetapi sebaliknya melindungi sekutu-sekutu Baginda. Kutipan laporan tersebut menunjukkan bahwa Sultan Mahmud dan sekutu bajak lautnya  dianggap musuh yang sangat berbahaya oleh Belanda.

“Bestaende daer in om zig, of aen den zeeroof over te geeven, of wel een middle van bestaan door smokkelarij te soeken, in beide opsigten soude sijn verblijf aldaer seer nadeelig sijn,” (Arsip Notulensi uit d’aparte brieven van Mallacca, 1790).

Keberadaan Sultan Mahmud yang memutuskan untuk tinggal di Lingga dianggap membahayakan. Alasan Baginda memindahkan pusat pemerintahannya ke Lingga adalah untuk menjaga keselamatan rakyatnya. Adanya bajak laut yang memenuhi keperluan Baginda dari penyelundupan sangat merugikan Pemerintah Belanda.

Laporan arsip itu mengokohkanhujah ini. Persekutuan Sultan Mahmud dengan bajak laut  menyebabkanBaginda memiliki kekuatan yang sangat diperhitungkan dan ditakuti oleh Belanda.Menurut pengakuan Gubernur VOC di Melaka, de Bruijn, kekuatan armada VOC tak mampu menandingi kekuatan armada laut Sultan Mahmud di “belantara lautan” Kepulauan Lingga.

Kekuatan militer Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang dapat diketahui, antara lain, dari pembelian kapal dan senjata oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Berdasarkan surat Tunku Husain Aidid (pedagang keturunan Arab)di Pulau Pinang kepada T.S. Raffles, 26 Syawal 1225 atau 24 November 1810, Sultan membeli sejumlah senjata seperti  kapal bertiang dua seharga 5.500 rial, 4 buah meriam besi ukuran peluru  6 poun (3 kg) seharga 400 rial, 4 pucuk meriam besi ukuran 4 poun seharga 260 rial, pemuras (senapan) 9 pucuk seharga 184 rial, dan 3 tong ubat bedil (mesiu) seharga 105 rial. Pembelian senjata itu membuktikan bahwa Baginda terus berusaha memperkuat kekuatan militernya.

Karena tak sanggup menghadapi pasukan Sultan Mahmud, Gubernur Belanda di Malaka, Abraham Couperus,akhirnya, mengusulkan kepada Pemerintah Pusat Belanda di Batavia untuk mengakui kedaulatan Sultan Mahmud di Lingga-Riau-Johor-Pahang dan daerah takluknya. Harapan Belanda,Sultan Mahmud menghentikan serangan-serangan bajak lautnya terhadap kompeni dan sekutu-sekutunya. Dengan demikian, keamanan di kawasan Kepulauan Riau dapat dikembalikan dan kapal-kapal dagang pun dapat berlayar dan berdagang dengan aman di seluruh kawasan itu. Sayangnya, usulanitu mulanya tak terlalu diperhatikan oleh Gubernur Jenderal VOC di Batavia.

Baru kemudian, berdasarkan surat tertanggal 29 Mei 1795,Gubernur Jenderal VOC di Batavia mengakui kedaulatan Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang. Surat itu menyatakan penyerahan Riau kepada Sultan Mahmud, penguasa atas Johor dan Pahang, yang ditandatangani oleh Gubernur Couperus atas nama Gubernur Jenderal VOC serta Henry Newcome dan A. Brown sebagai perwakilan Kantor Pusat Angkatan Perang Kerajaan Inggris di Malaka atas nama Ratu Inggris. Surat pengakuan kembali Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai Sultan Lingga-Riau-Johor-Pahang oleh Belanda ditulis sendiri oleh Gubernur Abraham Couperus di Malaka, atas nama Gubernur Jenderal VOC.

Gubernur Jenderal VOC menyetujui kembalinya kekuasaan Sultan Mahmud sebagai Sultan seperti nenek moyang Baginda yang menjadi Sultan yang berkuasa atas wilayah tersebut. Sebagai konsekuensinya, kewajiban Belanda untuk menarik dan mengosongkan kekuatan militernyadari Riau secepatnya (Netscher, 1870:238—240).

Surat keputusan pengakuan  kekuasaan Sultan Mahmud Riayat Syah dikirimkan oleh Gubernur VOC di Melaka, Abraham Couperus, kepada Sultan Mahmud. Surat ini atas nama pemerintahan tertinggi VOC di Batavia. Inilah bunyi surat tersebut.

“Deze brief, gerigt aan Sulthan Mahmoed Rajat Sjah, koning van Djohor en Pahang, komt van Abrahamus Couperus, van wege de Nederlandsche Oost-Indische Compagnie, Gouverneur van Malakka, en tevens van Henry Newcome en A. Brown, die van wege Zijner Brittannische Majesteit den Koning van Engeland, als protectors en vrienden van Nederlandsche Oost-Indische Compagnie, thans, als hoofden van de Navale en Militaire magt van gemelde Zijne Brittanische Majesteit, ter bescherming hier present zijn…

Gezien hebbende dat Zijn HoogEdelheid, de heere Gouverneur-Generaal en de Rden van Indie geneigd zijn om Uwe Hoogheid weder te stellen in de possessie der lauden zoo lang door Uwer Hoogheids voorouders luisterlijk bezeten, achten wij gezamenlijk ons verpligt alles te contribueren, wat zulk een gelukkig evenement kan verhaasten; het is daarom dat wij, in voldoening aan de intentie van Zijn HoogEdelheid en de Raden van Indie, Uwer Hoogheid bekend maken, dat er thans twee van Zijner Majesteits schepen naar Riouw overgaan, om alle militairen en bezettelingen van daar mede te nemen, en de plaats Uwer Hoogheid in te ruimen, op de voorwaarden reeds door Uwe Hoogheid gestipuleerd.

Wij verzoeken Uwer Hoogheid van ten allerspoedigste derwaarts te willen gaan en possessie van hetzelve te nemen….” (Netscher, 1870:239—240).

(Surat ini ditujukan kepada Sultan Mahmud Riayat Syah, Raja Johor dan Pahang, dari Abrahamus Couperus, atas nama Perusahaan Dagang Hindia Timur-Belanda (VOC) Belanda, Gubernur Melaka dan Henry Newcome atas nama Raja Inggris, sebagai protektor dan sahabat O.I.C Belanda sekarang sebagai Kepala Angkatan Laut dan Militer Kerajaan Inggris, hadir di sini sebagai pelindung…

Mengingat bahwa Yang Mulia Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia telah bersetuju untuk mendudukkan Sri Paduka kembali ke tampuk negeri ini, yang selama ini telah diduduki oleh nenek-moyang Sri Paduka, maka kami menganggap bahwa menjadi kewajiban kamilah untuk memberikan bantuan sepenuhnya, untuk mempercepat terlaksananya hal yang penting ini.Oleh karena itulah, kami, untuk memenuhi keinginan yang mulia beserta Dewan Hindia, memaklumkan kepada Sri Paduka, bahwa dua kapal kerajaan kami pergi ke Riau untuk mengambil semua kekuatan militer dan pertahanan dari sana dan mengosongkan tempat tersebut untuk kepentingan Sri Paduka sebagaimana yang Sri Paduka harapkan.

Kami meminta Sri Paduka untuk sesegera mungkin kembali ke sana dan menjadikan milik Sri Paduka kembali).

Surat penyerahan kedaulatan atas Lingga-Riau-Johor-Pahang kepada Sultan Mahmud Riayat Syah tersebut dibuat di kastil Melaka pada 23 Agustus 1795 atau 10 Safar 1210 H. Gubernur Couperus kemudian pada 26 Agustus 1795 mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia bahwa penyerahan Riau kepada Sultan Mahmud adalah keputusan yang tepat. Dasar pemikiran Couperus, antara lain, menyebutkan bahwa untuk mengatasi para bajak laut di Kepulauan Riau mau tak mau harus menyinggung Sultan Mahmud karena para lanun yang menakutkan itu berada dalam perlindungan Sultan Mahmud. Bahkan, aktivitas bajak laut itu juga terjadi diperairan Jawa (Netscher, 1870:239).

Pada 9 September 1795, Komandan Newcome berlayar ke Riau (Tanjungpinang sekarang) dan memindahkan residen dan pasukan Belanda untuk selanjutnya mengembalikan pulau itu kepada Sultan Mahmud yang saat itu masih tinggal di Lingga. Menurut Netscher,pada 3 Mei 1796, Sultan Mahmud mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia atas pemulihan Baginda sebagai penguasa Johor, Pahang, dan daerah takluk lainnya. Dengan demikian, kedaulatannya dikembalikan seperti sebelum perjanjian 10 November 1784 (yang memang tak ditandatangani oleh Baginda).

Disebutkan juga bahwa Abraham Couperus sangat kecewa akan tindakan perwira Inggris yang tak menghiraukan keinginan Gubernur Belanda di Melaka. Couperus berharap bahwa dia dan pasukan Belanda beserta prajurit Sepahi diperbolehkan tinggal di Tanjungpinang sampai kedatangan Sultan Mahmud dan boleh mengurus masalah pajak dan keuangan di Riau. Akan tetapi, setelah kedatangan kapal perang dan kapal dagang Belanda ke Riau pada 9 September 1795, Newcome justeru memerintahkan pembongkaran benteng Belanda di Riau untuk kemudian membawanya bersama pasukan Sepahi ke Melaka(Netscher, 1870:240—241).

Selanjutnya, kedaulatan Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang dibawah kekuasaan Sultan Mahmud Riayat Syah masih kuat terjaga. Itu dibuktikan dengan surat Sultan Mahmud kepada penguasa Inggris di Pulau Pinang, Ph. Dundas, 5 Maret 1807 atau 25 Zulhijah 1221 H. Dalam surat itu Baginda menyanggupi permintaan bantuan dari Inggris untuk menangkap orang-orang yang telah merompak Kapten Carnegie. Bukti lainadalah surat permintaan dari T.S. Raffles,19 Desember 1810, kepada Sultan Mahmud untuk membantu sekutu-sekutu Inggris, terutama Kerajaan Siak untuk menghadapi ekspansi Belanda ke wilayah Sumatera Timur dan Kepulauan Riau. Dalam suratnya Raffles meminta bantuan kapal perang beserta prajurit dan persenjataannya untuk membantu ekspedisi gabungan Inggris dan Siak ke Palembang, Bangka, dan Lampung. Sultan Mahmud Riayat Syah menjawab surat Raffles itu pada 5 Januari 1811 (9 Zuhijah 1225 H.).Dalam jawabannya, Baginda bersedia memberikan bantuan satu penjajab (perang) dengan prajurit dan persenjataannya kepada Inggris.

Melalui perjuangan gigih dengan strategi Perang Gerilya Laut yang heroik di belantara laut Kepulauan Lingga yang sulit diantisipasi oleh musuh, Sultan Mahmud telah berjaya secara gemilang mengembalikan kedaulatan dan marwah bangsa dan negaranya. Oleh sebab itu, sangat tepatlah laporan pejabat Inggris di Pulau Pinangpada Januari 1788 yang menyebutkan, “Sultan Mahmud Riayat Syah adalah penguasa terbesar dan paling jenius di kalangan pemimpin Melayu,” (Vos, 1993). Dan, jika Baginda hidup pada zaman kita, maka pada 29 Mei 1795 Sultan Mahmud Riayat Syah tentulah mengepalkan tangan kanannyake atas seraya berteriak lantang, “MERDEKA!”

Dari perjuangan dan pengorbanan pahlawan bangsa yang tak mengenal menyerah itulah, anak bangsa hari ini boleh berbangga karena dapat hidup sebagai bangsa yang merdeka. Dirgahayu Republik Indonesia!***

Abdul Malik, Ketua TP2GD Kepri. 

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top