Sejumlah manuskrip yang berisikan sejarah (historiografi) istana Kerajaan Riau-Lingga tidak hanya menjadi bagian dari korpustradisi tulis Riau-Lingga yang gemilang, tapi juga menjadi ‘dokumen istana’, pegangan raja-raja yang memerintah, dan sumber legitimasi historis pemerintahannya.
Salah satu khazanahmanuskripsejarah Riau-Lingga yang memainkan ‘peran ganda’ itu adalah manuskrip Mukhtasar Tawarikh al-Wustha, yaknisebuah keringkasan manuskrip yang berjudulTawarikh al-Wustha. Manuskripinisangkateratkaitannyadenganduamanuskriplainnya yang berjudul, Tawarikh al Qubra dan Tawarikh al-Suhgra. Konon kabarnya, ketiga manuskripasli sejarah Riau-Lingga ini pernah hilang dari lemariarsip milikYang Dipertuan Muda Riau di Pulau Penyengat.
Sepintas kilas, manuskrip Mukhtasar Tawarikh al-Wustha telah penah diperkenal dalam ruang kutubkhanah ini. Dan untuk sekedar mengingatkan kembali, manuskrip Mukhtasar Tawarikh al-Wustha yang paling tua (bila dilahat dari tarikh penyalinannya, tahun 1854) kini berada dalam simpanan Perpustakan Universitas Leiden, di Negeri Belanda.
Selaian itu, beberapa versi salinannya dimuat dalam kitab kumpulan salinan manuskrip dan arsip Kerajaan Riau-Lingga yang berjudul SadjarahRiouwLingga dan Daerah Taaloqnja koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, dan di dalam kitab Tsamaratulmathlub-fi-anuarilqulubyang diusahakan oleh Khalid Hitam di Riau-Pulau Penyengat, dan kini tersimpan di Perpustakaaan Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia.
Sabagaisebuahkeringkasan (mukhtasar), kitabTawarikh al-Wustha yang beradadalamsimpnanarsip Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat pada suatu ketika dulu, mengandungiberbagai“narasiresmi” tentangsejarahhubunganantara Raja-Raja Bugis dan Raja-Raja Melayudalam Kerajaan Riau-Lingga yang ‘dipadatkan’ menjadi lima pasal (oleh karenaitumanuskripmukhatasarinidikenal juga sebagaiUndang-Undang 5 Pasaldari Riau).
Pasal yang pertama, menguraikanasal-usuldan susurgalur Sultan Yang DipertuanBesar, Yang Dipertuan Muda, Bendahara, dan Temenggungdalamsejarahpemerintahankerajaan Riau-Lingga.Pasal yang kedua, menjelasakanperihalempathaldalamadat-istiadat raja-rajaMelayu yang berbedadariadat raja-raja di negeri-negeri diatasangin (Arab, Persia, dan India).
Pasal yang ketiga, menjelaskan segala tokong pulau dan teluk rantau yang menjadi wilayah takluk kerajaan Riau-Lingga, lengkap dengan keringkasan sejarahnya. Khusus dalam pasal tiga ini, terdapat sedikit tambahan pada manuskrip yang disalin oleh Raja Khalid Hitam dan dimuat dalam kitab Tsamarat al-Matlub. Pada margin halaman 192 manuskrip salinannya, Raja Khalid Hitam mancatumkan tambahan nama-nama gelar kebesaran Datuk Kaya dan Petinggi dikawasan Pulau Tujuh dan Tambelan yang dikemas dalam “catatan pinggir” yang disebut disebut buton.
Pasal yang keempat, menjelaskan perihal bahasa diraja, bahasa adat tatkala dipakai dalam istiadat, aturan kelengkapan (semberap) pawai diraja, sejarah nobat, dan peraturan penggunaan nobat sebagai salah satu simbol kebesaran istana Kerajaan Riau-Lingga.
Pasal yang Kelima, menjelaskansejarah dan asal-usul istilah wakil mutlak serta kandungan maknanya sebagaimana dipergunakan didalam kontrak-kontrak politik antara Kerajaan Riau-Lingga dengan Belanda sejak tahun 1824.
Dalam kutub khanah ini, akan diulas sekilas-lintas kandungan isi pasal pertama Mukhtasar Tawarikh al-Wutha, yang isinya berkenaan dengan asal-usul Yang Dipertuan Besar, Yang Dipetuan Muda, Bendahara, dan Temenggung dalam sejarah kerajaan Riau-Lingga. Dalam manuskrip Muhtasar Tawarikh al-Wustha, empat teraju negeri itu (Yang Dipertuan Besar, Yang Dipetuan Muda, Bendahara, dan Temenggung) diperlambangkan sebagai“…kain kafan buruk tiada berganti lagi, yang artinya;,orang yang tiada boleh dipecat dimakzulkan kecuali gila atau keluar dari agama Islam”.
Yang Diperpegang Raja-Raja
Kedudukan manuskrip Mukhtasar Tawarikh al-Wustha sebagai ‘dokumen istana’, pegangan raja-raja yang memerintah, dan sumber legitimasi historis pemerintahan raja-raja Kerejaan Riau-Lingga, dinyatakan pada bagian pembuka (bagian awal) manuskrip tersebut.
Jikadirumikan, paragrafawalbagianpembukaituadalahberikut: “Bahwa sesungguhnya inilah yang diperpegang pada masa ini oleh raja-raja, yang dikeluarkan daripada [kitab] Sejarah Melayu yang bernama Tawarikh al-Wustha, yang diperbuat antara Raja Melayu dan Raja Bugis, yakni Yang Dipertuan Besar dengan Yang Dipertuan Muda, yang [kemudian] dimukhtasarkan disini karena hendak mengambil sempena yang telah dimufawaidkan, yang amat teguh.”
Selain itu, seperti telah ditunjukkan oleh Annabel Teh Gallop dalam sebuah artikelnya tentang esensi penggunaan stempel diraja pada sejumlah manuskrip Melayu, Exception to the Rule: Malay Seal in Manuscripts Book (2007); stempel merah milik Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau (Marhum Kantor) yang dicantumkan pada bagian akhir manuskrip Mukhtasar Tawarikh al-Wusthainijuga erat kaitannya dengan kandungan isinyayang menjelaskan aspek legitimasi historis, aturanadat, dan asalusul raja-raja Riau-Lingga; dengan kata lain stempeldirajaitutidakhanyasekedar sebuah tandapengesahan yang sifatnya umum belaka.
Demikianlah, kandunganisi Pasal pertama manuskrip Mukhtasar Tawarikh al-Wustha, menjelaskan asal raja-raja Melayu Riau-Lingga serta hubungannya dengan anak raja-raja Bugis yang kemudian menjadi Yamtuan Muda Riau.
Dalamhalmenjelaskanasal-usul raja-raja Riau-Lingga, manuskripMukhtasar Tawarikh al-WusthaberbedadariSejarah Melayu (Sulalatussalatin) dan Tuhfat al-Nafis. Di dalamMukhtasar Tawarikh al-Wusthasusur galur raja-raja Melayu yang memerintah Riau-Lingga tidak dimulaidenganmitos raja Melayu yang turun di Bukit Siguntang (Palembang).
Garis asal-Usul Raja-Raja Riau-Lingga “ditarik” dari keturunan Datuk Bendahara Johor yang kemudian menjadi Raja Kerajaan Johordengangelarkebesaran Sultan Abdul Jalil (Marhum Kuala Pahang) dan berkait kelindan dengan anak-raja Bugis Lima Saudara.
Susur galur itu diawali dengan anak Sultan Abduljalil yang bernama Raja Sulaiman, yang kemudian dirajakan oleh Daeng Marewah adik-beradik setelahberhasil membantu Raja Sulaiman merebut kembali tahta ayahnya dari kekuasan Raja KecikSiak, di Negeri Riau. Dari Sultan Sulaiman inilah sultan-sultan dari garis “sebelah bapanya” mewarisi gelar kebesaran Yang Dipertuan Besar dalam kerajaan Riau-Lingga hingga menjelang tahun 1885.
Sementara itu, melalui Daeng Marewah yang mewakili anak raja-raja Bugis lima saudara yang membantu Raja Sulaiman merebut tahta ayahandanya dari Raja Kecik, diamanahkan pula sebuah jabatan,sempena menjalankan pemerintahan kerajan, dengan gelar kebesaran Yang Dipertuan Muda Riau: sebuah jabatan penting yang terus dipakai secara turun-temurun menurut garis laki dalam kerajaan Riau-Lingga hingga tahun 1899.
Selain menjelaskan hubungan susur-galur raja-raja Melayu keturan Bendahara Abduljalil (yang kemudian menjadi sultan) dengan anak raja-raja bugis dalam kerajaan Riau-Lingga yang dibuhul oleh ikatan pernikahan, manuskrip Mukhtasar Tawarikh al-Wusthaini juga menjelaskan sedikit-sebanyak asal-usul Bendahara dan Temenggung dalam sejarah kerajaan Riau-Lingga.
Tentang asal-asul Bendahara ini, antara lain dijelaskan sebagai berikut: “Bermula Bendahara Johor daripada masa alah Riau oleh Siak itu hingga pada masa tarikh surat itu [pada masa manuskrip Tawarikh al-Wustha ditulis] yaitu pertama-tama, Tun Abbas. Kedua Tun Abdul Majid. Ketiga Tun Koris. Keempat Tun Ali. Kelima Tun Muhammad Tahir yang maujud pada tarikh surat ini [pada masa Mukhtasar Tawarikh al-Wustha ditulis]. Adalah suku-suku Bendahara ini tidak berkerabat dengan Raja Bugis, akan tetapi ada ia satu asal dengan Raja Johor, yaitu Saudara Tua kepada almarhum Abdul Jalil yang mangkat di Kula Pahang adanya”.
Sebaliknya, meskipun seasal dengan Bendahara, namun susur galur Temenggun dalam Kerajaan Riau-Lingga berkelindan dengan silsilah raja-raja Bugisi masa udara melalui Daeng Perani. Dalam Mukhtasar Tawarikh al-Wustha perihal ini dinyatakan sebagai berikut:
“Bermula adalah Raja Maimunah putera Arung Perani (Daeng Perani) dengan Tengku Tengah (adik Sultan Sulaiman). Maka bersuamikan (ia) Temenggung Johor (Temenggung Abdul Jamal). Dan adalah Daeng Kecik (putera Temenggung Abdul Jamal) beranakkan Temenggung Abdulrahman, dan Temenggung Abdulrahman beranakkan Temengung Selat (Temenggung Ibrahim) yang sekarang (pada masa Mukhtasar Tawarikh al-Wustha ini ditulis, bermastautin) di Singapura.”***