Takabur Tidak Membilang Orang

TELAH beberapa hari Sultan Abdul Muluk dari Kerajaan Barbari berada di Negeri Ban. Keberadaan sultan muda itu di negeri tetangganya berkaitan dengan rangkaian kunjungan muhibah yang dilakukannya tak lama setelah dia dilantik menjadi sultan negerinya,  menggantikan ayahandanya yang telah mangkat. Setelah bertemu dengan Sultan Ban, ada sesuatu yang bersifat pribadi yang akan diutarakan oleh Sultan Abdul Muluk kepada pemimpin negeri tetangganya itu. Untuk maksud itu, dia tak menyampaikannya sendiri, mungkin karena pertimbangan adab dan adat. Oleh sebab itu, pemimpin tampan yang elok pekerti itu mengutus menteri berida (senior)-nya untuk bertemu Sultan Ban.

            Perihal apa dan bagaimana cara menyampaikannya secara adab agar Sultan Ban tak tersinggung dikatakannya kepada menteri beridanya. Karena menjunjung titah sultannya itulah, pada hari yang baik itu menteri berida Kerajaan Barbari menghadap Sultan Ban. Di hadapan pemimpin negeri tetangga yang karismatik itu Sang Menteri bertutur takzim sesuai dengan pesan Sultan Abdul Muluk. Dalam hal ini, Sultan Abdul Muluk tak hadir dalam pertemuan itu. Dia memilih tinggal, dan memang harus begitu tertib-adatnya, di istana tamu yang memang disiapkan oleh tuan rumah bagi tetamu kehormatan dari kerajaan-kerajaan sahabat yang berkunjung ke negerinya.  

Akan anakanda yatim piatu
Tiada menaruh kaum dan suku
Minta diperhamba ke bawah cerpu
Memohonkan kasih kepada Tuanku

Bait 392 Syair Abdul Muluk (Haji, 1846) di atas menampilkan ungkapan pembuka yang disampaikan oleh menteri berida kepada Sultan Ban seperti yang diamanahkan oleh Sultan Abdul Muluk. Tuturan takzim itu sekaligus mewakili watak sultan muda usia Kerajaan Barbari. Terserlahlah dari ungkapan itu kualitas dirinya yang rendah hati, yang menjadi ciri utama yang memang harus dimiliki oleh pemimpin terbilang seperti yang diyakininya.

Sesungguhnya, Kerajaan Barbari jauh lebih besar dan termasyhur daripada Kerajaan Ban. Artinya, secara kuantitas dan kualitas, Kerajaan Ban berada di bawah Kerajaan Barbari. Akan tetapi, dalam berdiplomasi dengan pemimpin negeri-negeri tetangganya, termasuk dengan Sultan Ban, Abdul Muluk senantiasa menampilkan sosok dirinya yang rendah hati. Tak pernah dia—melalui sikap, perkataan, dan atau perbuatan—menganggap enteng, memandang rendah, dan berlaku kasar terhadap pemimpin negeri lain dan rakyatnya sekalian. Watak dan perilaku terpujinya itu juga diterapkannya dengan para bawahan dan rakyat negerinya sendiri. Singkatnya, rendah hati merupakan kualitas budi yang menjadi amalan hidup Sultan Barbari itu dalam menerajui negeri.

Pantang baginya menerapkan tabiat takabur, dengan segala variannya seperti berasa lebih hebat dari orang lain, lebih pintar dari pemimpin lain, lebih kuat dari negeri lain, lebih besar dari bangsa lain, angkuh, sombong, dan kasar dengan ikutan hendak menguasai negeri dan bangsa lain. Semua negeri, bangsa, pemimpin, orang lain diperlakukannya sama. Pasalnya, dia sungguh-sungguh menyadari bahwa semua manusia itu sama derajatnya di hadapan Tuhan sehingga tak ada alasan  yang sabit di akal manusia yang satu, lebih-lebih pemimpin, menganggap dirinya lebih dari manusia lain. Dengan kualitas budi kepemimpinannya itu, Sultan Abdul Muluk memang menyerlahkan jati dirinya sebagai pemimpin kelas utama.

Sultan Abdul Muluk yang berpegang teguh pada keutamaan watak rendah hati itu sadar sesadar-sadarnya akan kearifan yang memang mesti menjadi pakaian jiwa pemimpin terbilang. Ajaran kearifan itu terhimpun di dalam Gurindam Dua Belas (Haji, 1847), Pasal yang Keempat, bait 8.

Barang siapa yang sudah besar
Janganlah kelakuannya membuat kasar

Sebagai sultan, apatah lagi sultan kerajaan yang ditakdirkan memang besar, Abdul Muluk menyadari benar akan hikmah dan kebenaran yang diajarkan oleh kearifan itu. Mungkin orang lain menganggapnya pemimpin besar karena memang kenyataannya dia memimpin kerajaan besar dan kuat dengan jumlah penduduknya yang tergolong besar. Akan tetapi, semua anugerah kebesaran itu tak boleh membuatnya menjadi berpaling tadah dari nilai-nilai terala peradaban besar seperti berlaku kasar, sama ada dalam bersikap, bertutur, dan atau bertindak. Pemimpin dengan watak kasar—baik secara tersurat maupun tersirat—sesungguhnya menampilkan citra dirinya yang kerdil. Dia tak akan pernah tercatat sebagai pemimpin besar lagi terbilang. Sebuah peradaban besar dan agung tak pernah lahir dari perilaku biadab seperti pemimpinnya menganggap dirinya lebih dalam segala hal daripada orang lain di dunia ini.

            Rupanya, kearifan Sultan Abdul Muluk dalam bersikap, berbicara, dan berperilaku itu memang telah diamanahkan oleh Allah di dalam firman-Nya. Itulah sebabnya, kualitas budi itu mendapat proteksi yang luar biasa sehingga menghasilkan kecemerlangan kepemimpinan. Di antara pedoman yang diberikan oleh Allah itu adalah petunjuk ini. 

“Dan, janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan kamu (juga) sekali-kali tidak akan sampai setinggi gunung,” (Q.S. Al-Isra’, 37).

Sombong, bukanlah pakaian hidup manusia, apatah lagi pemimpin, sejati. Watak, sifat, dan perilaku negatif itu tak mendapat garansi dari Allah untuk kejayaan kepemimpinan. Dengan demikian, memang rendah hatilah yang diajarkan oleh Tuhan untuk diterapkan dalam perjuangan kehidupan, termasuk bagi setiap pemimpin—apa pun wujud kepemimpinannya—jika kejayaan sesungguhnya memang menjadi matlamat kepemimpinannya. Pemimpin yang rendah hati akan menuai kejayaan yang sesungguhnya, bukan keberhasilan semu yang tak patut dan tak layak ditulis di dalam referensi pemajuan peradaban. Untuk itu, Allah menegaskan lagi keutamaan rendah hati sebagai mutiara kepemimpinan yang memajukan tamadun atau peradaban. Dalam hal ini, pedoman-Nya lebih tegas dan menyentuh bagi sesiapa pun pemimpin yang patuh, sama ada di wilayah eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif.

“Dan, hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di muka  bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan,” (Q.S. Al-Furqan, 63).

Terang-benderang pedoman dari Allah yang dinukilkan di atas. Pemimpin yang rendah hati akan senantiasa mendapat bimbingan dari Allah dengan sinar terang cahaya kasih-sayang yang sesungguhnya dari Dia Yang Maha Penyayang. Dia tak pernah menyahut kejahilan, termasuk ajaran dan ajakannya, dengan kejahilan dan atau kejahatan yang sama, bahkan lebih seperti dibidalkan orang tua-tua, “Paku dulang kayu serpih.” Sebaliknya, disambutnya ucapan dan ajakan kejahilan dan kejahatan, apa pun bentuk dan rupa-rupanya, dengan bimbingan ke arah kesejukan yang menenteramkan sekaligus menyelamatkan.

Itulah rahasianya mengapa pemimpin yang berwatak, bertutur, dan atau berperilaku rendah hati dalam kepemimpinannya akan senantiasa beroleh kejayaan dan keselamatan. Bahkan, nikmat kepemimpinan itu tak hanya akan diterimanya di dunia yang serbafana, di akhirat yang abadi pun dia dijamin beroleh keselamatan sebagai buah manis lagi lezat dari pohon kepemimpinan yang berteraskan kehalusan budi yang rendah hati. Kemuliaan sejati itulah yang memotivasi pemimpin sejati untuk berbuat bakti memajukan negeri seraya memohon bimbingan Ilahi. Kepada pemimpin dengan kualitas terpuji itu, tak ada alasan bagi bawahan dan atau rakyat, bahkan semua makhluk yang beradab, untuk menaruh benci.  

Lagi dan lagi, takabur dengan segala variannya—sebagai lawan rendah hati—diperingatkan sebagai racun yang mematikan kepemimpinan. Kali ini rujukannya berasal dari Tsamarat al-Muhimmah (Haji dalam Malik (Ed.) 2013, 49) sebuah referensi penting tentang peradilan, pentadbiran, dan politik.

“Maka hendaklah … tatkala berhimpun di dalam mahkamah jangan ia ujub dan takabur akan dirinya akan ia mendapat pangkat daripada jabatan menteri atau pegawai seperti meridhakan diri ujub yang demikian itu.”

Apa pun jabatan kepemimpinan dengan pangkat yang menyertainya—sama ada tinggi ataupun rendah—tak boleh membuat manusia yang menyandangnya lupa diri seperti berlaku ujub dan takabur. Penjelasan tentang pernyataan itu dapat diikuti di dalam karya yang sama (Haji dalam Malik (Ed.), 2013) dalam bentuk syair nasihat, bait 66, yang tentu saja memikat.

Itulah orang akalnya kurang
Menyangka dirinya pandai seorang
Takabur tidak membilang orang
Ke sana ke mari pergi mengarang

Rupanya, takabur, sombong, angkuh, berasa diri paling besar, paling hebat, dan paling pandai merupakan ciri orang yang akalnya kurang. Itulah sebabnya, ianya tak patut lagi tak layak menjadi pujaan hati pemimpin dalam mendampingi kepemimpinannya yang bermatlamat cemerlang. Masa makhluk yang “akalnya kurang” boleh menjadi pemimpin makhluk yang sebenar-benarnya orang. Jika juga terjadi, karena mungkin ujian bagi orang-orang yang dipimpinnya, pastilah dia tak dapat membezakan antara yang jujur dengan yang curang. Akibatnya, rakyat dan negeri yang dipimpinnya suatu ketika kelak boleh mejadi milik orang.

Dalam kengerian seperti itu, hanya pemimpin yang akalnya teranglah yang boleh menyelamatkan dan menenteramkan hati yang bimbang. Oleh sebab itu, pemimpin yang rendah hati senantiasa menjadi idaman orang karena diyakini mampu membawa negeri menuju kejayaan yang terang-benderang. Dia pasti tak memikirkan keuntungan pribadinya sekadar seorang. Pasalnya, pemimpin yang rendah hati tak pernah tergamak untuk berbuat zalim karena dia berpikiran luas dan lapang.

Dari Iyadh bin Himar r.a. beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Dan, Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah hati agar tak ada seorang pun berbangga diri kepada yang lain dan agar tak seorang pun berlaku zalim kepada yang lain,” (H.R. Muslim).

Itulah bahayanya pemimpin yang akalnya kurang. Dia sangat berpotensi membanggakan diri sendiri dan lebih parah lagi cenderung berbuat zalim. Tak ada harapan tinggi yang dapat disandarkan kepada pemimpin dengan kualitas rendah itu, kecuali “bual besar” yang tak berpijak ke bumi dan tak mendongak ke langit. Motivasi kemajuan yang, kalaupun, diberikannya tak memiliki daya sokong kultural, apatah lagi spiritual. Dalam keadaan seperti itu, tak ada gerak sebenarnya yang mampu dibuatnya bagi kemajuan negeri dan rakyat sekaliannya.

Pemutus kaji persoalan ini dapat dicermati dalam hadits yang lain, juga diriwayatkan oleh Muslim. Dalam hal ini, Rasulullah SAW berwasiat bahwa sifat merendahkan hati karena Allah akan mengangkat derajat seseorang manusia. Itulah sebabnya, pemimpin terbilang seperti tokoh Abdul Muluk yang bervisi cemerlang senantiasa mengutamakan watak, sifat, dan perilaku rendah hati dalam kepemimpinannya. Dalam berendah hati itu, dia tak membilang orang dan bangsa, kepada sesiapa sahaja. Itulah kualitas budi kepemimpinan yang senantiasa dijaga dan secara konsisten diterapkannya.

Rendah hati ternyata mampu mengangkat derajat kepemimpinan seseorang pemimpin, bukan sebaliknya menjatuhkannya. Jaminan itu disampaikan langsung oleh rasul pilihan-Nya. Sebagai ikutannya, tentulah pemimpin yang derajatnya terangkatlah yang mampu menjulangkan martabat bangsa dan negaranya. Dengan demikian, tak mungkin kejayaan dapat diraih jika mengandalkan pemimpin yang takabur, ujub, angkuh, sombong, zalim, lagi tak bertimbang rasa. Pasalnya, dia tak dijamin sanggup memperbaiki nasib bangsa dan negara.***  

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top