Simpiterne, Rumah Bola, dan Konser Mahal Orkestra Jerman

MOBIL Peugeot kuno menghampiri Gil (Owen Wilson) yang tengah berjalan lunglai di jalan kecil Kota Paris. Seluruh penumpang mengajak Gil untuk bergabung dan ikut berpesta.

Di sebuah rumah jamuan, Gil bersua penulis-penulis kondang macam Scott Fitzgerald (Tom Hiddleston) dan Zelda Fitzgerald (Alison Pill), Ernest Hemingway (Corey Stoll), Gertrude Stein (Kathy Bates). Mereka bertukar cerita sembari menikmati minuman dan berdansa.

Ini secuplik adegan film Midnight in Paris (2011) besutan Woody Allen. Penting dipampang pada narasi ini untuk memberi gambaran mengenai sebuah tempat dansa yang pernah ada di Tanjungpinang sebagai ibu kota Riau (Riouw) kala itu.

Pendudukan bangsa Belanda yang juga haus akan hiburan malam membuat mereka mendirikan Simpiterne atau kelab malam. Menurut Sejarawan Aswandi Syahri, keberadaan sebuah simpiterne di kota-kota pendudukan Belanda sesuatu yang wajar. Di semua kota-kota Indonesia yang punya kantor residen, dengan mudah juga ditemui kelab malam di sekitarnya.

Di Tanjungpinang, jarak antara kantor residen dengan kelab malam ini tak lebih dari satu kilometer saja. Bila Belanda menyebut kelab malam yang bersebelahan dengan Gereja Ayam itu sebagai simpiterne, lain halnya di lidah orang Melayu.

”Mereka dulu menyebutnya Rumah Bola,” terang Aswandi. Penamaan itu bukan karena gedung ini dijadikan tempat nonton sepak bola. ”Tapi karena juga menyediakan arena main bola sodok,” tambahnya.

Saat ini, yang bisa dijumpai di sana bukanlah gedung Simpiterne, yang dulu kerap juga mementaskan orkestra musik klasik dunia. Karena merujuk peta yang Aswandi dapatkan di Belanda, dulunya, Simpiterne ini hanya berlantai satu. ”Dan dibangun dengan pilar-pilar besar ala Yunani,” jelas Aswandi.

Saking megahnya dan memang didesain khusus untuk gedung-gedung akustik, dinyatakan juga dalam dokumentasi sejarah, residen Belanda sempat secara khusus meminta kelompok orkestra asal Jerman yang kebetulan tengah singgah di Singapura untuk memanggungkan musik-musik klasik kelas wahid di Tanjungpinang. ”Bergidik saja kalau membayangkan instrumen klasik itu mengalun-alun di sekitaran Jalan Teuku Umar, yang saat itu masih hening,” cetus Aswandi.

Sementara itu, bila menilik tahun pendirian yang tergurat di bangunan saat ini, diterakan bangunan itu dibangun pada 1952. Bila ditujukan sebagai titimangsa pembangunan gedung baru, itu bisa jadi. Namun, bila ditandakan sebagai tahun pembangunan Simpiterne, kata Aswandi, itu salah besar. ”Diperkirakan dibangun pada pertengahan abad 19. Karena pada tahun 1922, Simpiterne sempat dijadikan sebagai tempat rapat para pengusaha perkebunan yang ada di Kepri,” ungkapnya.

Namun, setelah Belanda mulai meninggalkan Tanjungpinang di tahun 1942, Simpiterne tak diurus dengan baik. Jepang, nilai Aswandi, tidak ambil pusing soal Simpiterne. Hingga pada tahun 1950-an, Simpiterne dibeli oleh seorang pengusaha etnis Tionghoa untuk dibangun sekolah. ”Barangkali dulu karena kondisinya sudah terlalu buruk, maka dirobohkan, dan dibangun jadi dua lantai seperti sekarang ini,” taksir Aswandi.***

sumber: di sini

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top