PERHUBUNGAN kekeluargaan itu terjadi melalui pernikahan emas. Pelakunya keturunan Melayu dan Bugis di kawasan Melayu—khasnya di Kepulauan Riau, Malaysia, dan Singapura—pada awal abad ke-18. Penyebabnya tiada lain, janji bangsa bertamadun tinggi yang menjunjung marwah: pantang budi tiada berbalas.
Para perantau Bugis mulai berperan di kawasan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan sekitarnya pada akhir abad ke-17. Kala itu banyak orang Bugis bermigrasi dari tanah kelahiran mereka di Sulawesi Selatan ke kawasan Melayu di sepanjang Selat Melaka sampai Laut China Selatan.
Di antara mereka yang berpindah itu adalah keluarga bangsawan Bugis Opu Tentriborong Daing Rilaka (Rilekke) dengan lima putranya: Daing Parani, Daing Manambun, Daing Marewah, Daing Cellak, dan Daing Kemasi (Kemase). Mereka awalnya tiba di Negeri Siantan (sekarang Kabupaten Anambas, Kepulauan Riau) di Laut China Selatan. Sebelum itu memang telah ada perantau Bugis yang tiba di kawasan Melayu semenjak Kesultanan Melaka. Kala itu mereka datang berniaga. “Mereka adalah para saudagar yang paling terkenal di pulau-pulau sebelah timur,” (Clodd dalam Kadir dkk. 2008, 86).
Setelah zaman Melaka, ada pelbagai penyebab orang Bugis berpindah dari kampung halaman mereka ke kawasan di sepanjang Selat Melaka. Di antara penyebab terbesarnya adalah akibat Kerajaan Makassar (Gawo-Tallo) kalah berperang melawan VOC-Belanda yang diakhiri dengan Perjanjian Bungaya, 18 November 1667. Menurut Kuchita (2008), perpindahan orang Bugis pada 1666 yang dipimpin oleh Daing Saleh meliputi 27 perahu.
Mereka singgah di Temasik (Singapura), lalu pergi ke Limbongan Cermin, di pedalaman Bandar Maharani (Muar). Dari Muar terus ke Melaka sampai ke Selangor. Menurut Jessy, pada 1681 telah ada permukiman orang Bugis di sekitar Sungai Kelang dan Sungai Johor (Saleh, 1980). Bahkan, Opu Daing Parani adik-beradik ikut membantu pembangunan permukiman itu.
Perihal Opu Daing Rilaka dan putra-putranya, sesampainya di kawasan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, kerajaan itu sedang berada dalam kekacauan politik dan pemerintahan. Berawal dari mangkatnya Sultan Mahmud Syah II yang dibunuh oleh Laksemana Megat Seri Rama pada Agustus 1699 ketika Baginda sedang dijulang dalam perjalanan ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat. Peristiwa itu dikenal sebagai “Tragedi Seulas Nangka”.
Karena sultan tak memiliki anak, Bendahara Tun Abdul Jalil ditabalkan menjadi Sultan ke-11 Johor-Pahang-Riau-Lingga bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah (1699-1717). Pada masa pemerintahan Baginda, datanglah Raja Kecik yang mengaku dirinya sebagai putra Sultan Mahmud Mangkat Dijulang. Dia berasa berhak atas tahta Johor-Riau. Dia kemudian memerangi Johor dan dapat merebutnya pada 21 Maret 1717.
Raja Kecik mengangkat dirinya menjadi Sultan Johor-Riau bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1717-1722). Setelah berkuasa, dia menurunkan pangkat Sultan Abdul Jalil ke kedudukan awalnya sebagai Bendahara Johor-Riau. Kemudian, Raja Kecik memindahkan semula pusat kerajaan ke Hulu Riau (wilayah Tanjungpinang sekarang). Dia juga mengambil putri Sultan Abdul Jalil, Tengku Kamariah, menjadi istrinya. Pada November 1721 Sultan Abdul Jalil dibunuh oleh para panglima suruhan Raja Kecik di Kuala Pahang.
“… di dalam hal antara itu datanglah pula seorang suruhan Raja Kecik, bernama si Emas Raden, membawa surat kepada Laksamana Nakhoda Sekam. Maka tersebut di dalam surat itu, ‘Janganlah Sultan Abdul Jalil dibawa ke Riau lagi, bunuhlah sekali, kita tahukan matinya sahaja. Maka pada waktu […] mengamuk itu baginda [Sultan Abdul Jalil, pen.] lagi di tikar sembahyangnya, baharu lepas sembahyang subuh tengah membaca wirid. Maka panglima […] itupun naiklah, pada sangka juak-juak baginda itu panglima sengaja hendak mengadap baginda, maka tiadalah dihiraukannya. Maka seketika lagi ia pun naik lalu diparangnya hulu baginda. Maka baginda pun terkejut lalu disambar baginda pedang panglima itu, maka dapatlah pada tangan baginda. Maka mengamuklah baginda diparangnya panglima-panglima itu mati dibunuh oleh baginda. Maka baginda pun rebahlah lalu mangkat,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 68-69).
Putra-putri Sultan Abdul Jalil terkejut dan sangat marah karena pembunuhan kejam terhadap ayahanda mereka. Di dalam Tuhfat al-Nafis diperikan begini.
“Adapun Tengku Tengah apabila ia mendengar ayahandanya sudah hilang [maksudnya, ‘mangkat’, pen.] itu, maka keluarlah ia dengan halamang ditetaknya pada […] yang tinggal-tinggal itu. Maka menjeritlah Laksamana Nakhoda Sekam …,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 69).
Tengku Tengah adalah putri Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Nama timangannya Tengku Erang atau Tun Irang. Beliau yang mula-mula dipinang oleh Raja Kecik untuk menjadi istrinya, tetapi kemudian Raja Kecik berubah hati kepada adindanya Tengku Kamariah. Sikap Raja Kecik menyebabkan Tengku Erang tersinggung bangat. Dia memendam dendam julungnya terhadap Raja Kecik yang dianggapnya telah menghinanya. “Tunggulah balasan Beta, wahai Raja Kecik!”
Setelah pembunuhan terhadap ayahanda mereka, Tengku Sulaiman adik-beradik semakin dendam terhadap Raja Kecik. Mereka, kemudian, meminta bantuan bangsawan Bugis lima bersaudara: Daing Parani, Daing Manambun, Daing Marewah, Daing Cellak, dan Daing Kemasi. Negosiator utamanya adalah Tengku Erang. Kebetulan, kelima bersaudara itu juga pernah dikecewakan oleh Raja Kecik.
Raja Kecik akhirnya kalah. Selepas itu, pada 1722 Tengku Sulaiman—putra Sultan Abdul Jalil—ditabalkan menjadi Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I. Sesuai dengan janjinya, Sultan Sulaiman melantik Daing Marewah, atas persetujuan saudara-saudaranya, menjadi Yang Dipertuan Muda I Riau-Lingga-Johor-Pahang. Ini adalah jabatan baru, satu tingkat di bawah Sultan atau Yang Dipertuan Besar.
Selesai ditabalkan, Opu Daing Marewah mengucapkan sumpah setia, dikenal dengan Sumpah Setia Bugis-Melayu, 4 Oktober 1722. Sumpahnya dicatat di dalam Tuhfat al-Nafis.
“Yakinlah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, akulah Yang Dipertuan Muda yang memerintahkan kerajaanmu. Barang yang tiada suka engkau membujur di hadapanmu aku lintangkan, dan barang yang tiada suka engkau melintang di hadapanmu aku bujurkan. Barang yang semak di hadapanmu aku cucikan,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 85).
Dengan sumpah setia itu, perhubungan Melayu-Bugis diibaratkan bagai mata putih dan mata hitam, yang tak akan berfungsi jika dipisahkan. Bersamaan dengan itu, bermulalah babak baru perhubungan Melayu dengan Bugis. Perhubungan itu dipereratkan lagi dengan pernikahan di antara mereka. Tengku Tengah (“Sang Pembuat Perubahan” itu, adik Sultan Sulaiman) menikah dengan Opu Daing Parani, Tengku Mandak (adik Sultan Sulaiman) menikah dengan Opu Daing Cellak, Tun Cik Ayu putri Temenggung Riau menikah dengan Yang Dipertuan Muda I Opu Daing Marewah, dan seterusnya. Selanjutnya, zuriat merekalah yang berhak atas jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang secara turun-temurun.
Keturunan persemendaan Melayu-Bugis tak lagi menggunakan gelar bangsawan Bugis (Daing) atau Melayu (Tengku). Mereka menggunakan gelar baru, yakni Raja, seperti yang melekat pada Raja Haji Fisabillah, Yang Dipertuan Muda IV (1777-1784) dan Raja Lumu, Sultan I Kerajaan Selangor (Malaysia). Keduanya adalah putra Opu Daing Cellak dan Tengku Mandak ibni Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Sampai sekarang adat-istiadat bergelar itu berlaku di Kepulauan Riau.
Di antara keturunan persemendaan itu ada yang memusatkan perhatian pada bidang keilmuan. Pemulainya Raja Ahmad Engku Haji Tua ibni Raja Haji Fisabilillah. Dari beliau menurun kepada Raja Ali Haji, anaknya, berlanjut ke generasi Aisyah Sulaiman, sampailah ke generasi sekarang.
Sebelum itu, tradisi intelektual di Kesultanan Riau-Lingga telah dirintis oleh Bilal Abu. Beliau menulis Syair Siti Zawiyah pada 1820 sebagai karya emas pembuka gerbang penjelajahan ilmu. Penulis karya yang sangat memikat ini bukan keturunan bangsawan dan asli Melayu.***