IDEALNYA semua sektor kehidupan berjalan selaras, serasi, dan seimbang. Tak ada sektor yang diposisikan di barisan depan dan atau belakang. Malangnya, dalam penerapannya harapan itu senantiasa diabaikan orang. Padahal, janji sebelum jadi membuat publik mabuk kepayang.
Budaya politik seyogianya dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh setiap bangsa. Dalam hal ini, kemajuan bidang politik mesti mendapat kontribusi positif dari nilai-nilai budaya, baik yang bersifat semesta (universal) maupun lokal (kearifan lokal), sehingga berterima di dalam masyarakat karena sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
Begitu pula kemajuan budaya semestinya dihasilkan oleh kebijakan politik dan atau kemauan politik dari para pemimpin politik yang memiliki komitmen dalam pengembangan budaya untuk kemajuan bangsa secara menyeluruh. Terlambat dan atau terhambatnya salah satu bidang akan berdampak pada tergencatnya kemajuan bangsa.
Politik yang benar dan baik tentulah berlandaskan etika, moral, dan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Itulah sebabnya, putusan politik yang berdasarkan musyawarah mufakat, misalnya, lebih berterima oleh bangsa kita karena memuliakan nilai-nilai kebersamaan, senasib-sepenanggungan dalam mengejar kemajuan. Dengan demikian, politik “menghalalkan segala cara” untuk memperoleh kekuasaan senantiasa mendapat perlawanan dari publik. Memang, kadarnya berbeda-beda di dalam setiap masyarakat sesuai dengan kuantitas dan kualitas pengetahuan, pemahaman, penghayatan, dan pemedulian yang dimiliki tentang politik dan budaya (khasnya, nilai-nilai budaya).
Di masyarakat yang tak peka terhadap nilai-nilai budaya, misalnya, tentulah mereka tak mampu menilai dan bereaksi terhadap praktik politik yang menyimpang dari kondisi yang diidealkan. Pasalnya, mereka tak mempunyai penakar penilaian. Mereka sangat mudah diombang-ambingkan oleh permainan politik kotor dan tipu daya. Mereka menjadi korban politik memperdayakan publik.
Masyarakat yang memiliki penakar penilaian pun sering rela mengombang-ambingkan dirinya dalam permainan politik. Dengan kata lain, mereka sengaja membiarkan diri menjadi objek permainan politik untuk mendapatkan “keuntungan-sisa” dari permainan itu: ekonomi (ikut menikmati hasil), prestise (dekat dengan kekuasaan), keamanan (terhindar dari tekanan), kenyamanan (tak perlu bersusah-payah memperjuangkan sesuatu), misalnya.
“Tak ada hitam-putih dalam politik praktis, yang ada hanyalah abu-abu atau kelabu asap”. Itulah keyakinan mereka. Apa pun hasilnya, keuntungan sesaat itu tetaplah sesat karena tak membuat manusia menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya.
Fakta membuktikan bahwa tak ada batas peringkat pendidikan orang yang menempatkan dirinya di wilayah “kelabu asap” itu. Jadi, tempat itu potensial diisi oleh para peminat yang terdiri atas sama sekali tak berpendidikan formal sampai yang berijazah tinggi sekalipun. Ini contoh orang-orang yang mengorbankan dirinya.
Politik bermartabat semestinya berlandaskan nilai budaya yang anggun. Malangnya, politik praktis di mana pun sangat sulit menjamah kondisi yang ideal itu. Menarik pernyataan Allahyarham Saddam Hussein, “Di dalam politik praktis, lain yang diniatkan, lain yang dikatakan, dan lain pula yang dilakukan.” Suatu pernyataan yang sangat jujur, yang tak pernah berani diungkapkan oleh pemimpin politik dunia mana pun. Karena itulah, banyak masyarakat yang terjerat oleh “janji manis” atau jargon politik para praktisi politik.
Satu di antara sekian janji politik yang sangat biasa dikampanyekan oleh politisi adalah pembangunan kebudayaan. Maksudnya, jika yang bersangkutan terpilih menjadi pemimpin politik atau lebih tepatnya penguasa, dia akan mengupayakan pembangunan kebudayaan secara optimal.
Ada pelbagai variasi jargon yang digunakan semisal “Pembangunan Menjulang Budaya”, “Pembangunan Berkembang, Adat-Istiadat Menjulang, “Dengan Adat Membangun Masyarakat”, dan pelbagai variasi slogan yang ditata dengan bahasa yang indah-indah. Siapakah yang tak akan tergiur dan terliur membaca dan mendengarkan slogan berkonotasi janji politik itu?
Mengapakah sisi budaya itu paling banyak dimanfaatkan, di samping janji kesejahteraan ekonomi? Jawabnya adalah setiap anggota masyarakat sedikit atau banyak pasti mencintai budayanya, sama ada yang bersifat lokal ataupun nasional. Selain penyerlah jati diri, hidup berbudaya diyakini mendatangkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Di samping penyegar raga yang lelah, budaya mampu menjadi penyejuk jiwa yang gundah. Dari budayalah diperoleh kebahagiaan batiniah.
Malangnya, politik praktislah yang paling banyak mencederai kebudayaan. Dari lenyapnya unsur budaya sampai kepada tercabutnya nilai-nilai budaya dalam kehidupan, banyak terjadi karena praktik politik yang tak bertimbang rasa dan cenderung buas. Tak jarang terjadi, kenyataan itu memang bagian dari program kerja sang penguasa, yang tentu saja tak diungkapkannya secara terus terang.
Pasal apa? Dia khawatir, jika publik memiliki kecerdasan budaya, akan berakibat buruk bagi keberlangsungan kekuasaannya. Oleh sebab itu, janganlah heran jika janji pembangunan budaya tak pernah berwujud dalam kenyataan dan kalau pun ada, hanyalah sebatas kegiatan seremonial untuk pencitraan diri sang penguasa belaka.
Marilah kita ambil nilai demokratis sebagai contoh. Nilai itu sebetulnya telah mengakar di dalam masyarakat kita sejak lama, terutama di kampung-kampung. Dalam memilih ketua (kepala) kampung, misalnya, masyarakat menetapkan kriterianya sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mereka junjung tinggi. Berdasarkan kriteria itulah seseorang dipilih secara musyawarah mufakat untuk diangkat menjadi ketua kampung. Jadi, penetapan kriteria dan proses pemilihannya secara demokratis harus dihormati, tak boleh dilanggar.
Sayangnya, pemimpin politik yang lebih tinggi, walau zahirnya seolah-olah menjunjung nilai-nilai yang diadatkan itu, ternyata melakukan monuver lain, terutama kalau dia menginginkan “orangnya” yang menjadi ketua kampung itu. Pertimbangannya tentulah untuk menjaga kepentingan politiknya. Kepentingan dirinya dan kelompoknyalah yang diutamakan, bukan kepentingan dan keberlangsungan hidup masyarakat dan bangsa.
Untuk memuaskan syahwat kekuasaan itu, pelbagai kiat dan helah dilakukan. Dibuatlah pertimbangan “taktuk” supaya calonnya memenuhi kriteria orang yang akan dipilih, termasuklah pelbagai pengecualian dan perlakuan istimewa yang mesti digunakan untuk pemilihan dan atau, kalau perlu, penunjukan langsung yang memang telah diskenariokan sedemikian rupa. Tentulah pelbagai ketentuan dan peraturan yang berlaku pun dijadikan tak berlaku dengan alasan yang memang dibuat-buat.
Alhasil, nilai-nilai demokratis di dalam masyarakat berangsur-angsur lenyap digantikan rekayasa politik kepentingan yang berpihak pada penguasa. Itulah contoh pembunuhan nilai-nilai budaya terala yang sangat mematikan perkembangan budaya di antara sekian contoh yang berserak di dalam kehidupan kita sehari-hari pada hari ini. Ironisnya, orang sering dengan bangga menyebutkan bahwa kita hidup dalam era demokrasi dan berupaya dengan segala cara untuk mengembangkan demokratisasi.
Tak salah jadinya ungkapan sarkastis ini. “Politik praktis senantiasa mencerai-beraikan, tetapi budayalah yang menyatukan.” Di dalam kehidupan ini, lebih-lebih dewasa ini, kita nampaknya memang diwajibkan memilih “racun politik praktis” atau “madu keranggian budaya”.
Di antara kedua sisi itu, kita dititipkan wasiat oleh Raja Ali Haji rahimahullah. Tanggung jawab dunia kita tak habis di alam fana saja. Masih ada akhirat yang terlalu nyata. Di alam yang abadi itulah pertaruhan antara surga dan neraka betul-betul terjadi, mentelah lagi, tak suatu apa pun dapat dibeli di sana. Hanya hati yang butalah yang sanggup mendustakan kenyataan yang bersumber dari Allah Taala.***