Dicanangkan Jadi Destinasi Wisata Baru

Menengok Situs Purba Bukit Kerang di Kabupaten Bintan

ADA dua jalur yang bisa ditempuh bila hendak berwisata ke situr purba tersebut. Pertama, melalaui jalur air. Agak sulit bila hendak menempuh jalur ini. Karena pengunjung mesti terlebih dahulu menyewa perahu milik warga setempat. Itu pun dengan catatan bila ada warga yang hendak menyewakan. Bila tidak, susah untuk menjangkau situs ini melalui jalur air.

Meski begitu, rupanya jalur air ini cukup diminati pengunjung. “Karena kalau lewat jalur darat selain jalannya susah juga mesti minta izin ke perusahaan kebun sawit. Kan lokasinya memang di dalam lahan kebun sawit itu,” kata Andi Agung, pelancong asal Tanjungpinang, kemarin.

Memang, ketika menempuh jalur darat, pengunjung amat disarankan menggunakan kendaraan dengan kapasitas mesin tinggi. Mengingat jalur terjal yang kerap becek ketika musim hujan dan lumayan berbukit. Belum lagi, sebelum memasuki area situs Bukit Kerang, pengunjung harus meminta izin kepada petugas PT Tirta Madu, yang mengelola kebun sawit di sana. Karena dirasa merepotkan, banyak pengunjung yang menghindari jalur darat.

“Kalau naik pompong (perahu motor, red), juga bisa menikmati hutan-hutan bakau di kawasan itu. Ini bonusnya,” tutur Andi.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Bintan, Luki Zairman Prawira tak menampik kendala akses yang menyebabkan situs Bukit Kerang menjadi jarang dikunjungi. Sejauh ini, kata Luki, belum ada solusi yang tepat untuk menyiasati agar akses jalan darat menuju objek wisata Bukit Kerang bisa dijangkau dengan mudah oleh para wisatawan.

“Kami akan cek lagi. Kami juga ingin berkoordinasi dengan pihak PT Tirta Madu, agar akses darat menuju Bukit Kerang bisa dimanfaatkan oleh para wisatawan,” ungkap Luki, kemarin.

Luki berharap, ke depannya bisa diadakan akses jalan yang lebih mudah ke Bukit Kerang. “Semoga saja, kedepannya bisa ramai kunjungan wismannya. Karena Bukit Kerang merupakan salah satu situs bersejarah yang dimiliki Bintan,” ujarnya.

Situs Bukit Kerang ini sudah diteliti oleh Balai Arkeologi Medan sejak tahun 2009 silam. Dipimpin langsung oleh Kepala Balai Arkeologi Medan Lukas Partanda Koestoro. Ia ditemani oleh Ketut Wiradnyana yang dikenal ahli mendalami masalah situs bukit kerang di Indonesia.

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium dengan metode carbon dating dinyatakan bahwa, Bukit Kerang Kawal Darat merupakan sisa aktivitas manusia masa lalu (prasejarah) di daerah pesisir. Aktivitasnya paling tidak telah berlangsung sekitar 1686 ± 110 tahun yang lalu (sekitar 300 masehi).

Masyarakatnya waktu itu mengkonsumsi moluska (hewan berbadan lunak, sering bercangkang keras, seperti siput) sebagai bahan makanan dan menggunakan peralatan berbahan batu, tanah liat, cangkang kerang dan tulang, jenis moluska. Cara hidup dan model peralatan tersebut memiliki persamaan teknologi dengan sebaran situs bukit kerang di Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Bukit Kerang di Kampung Kawal Darat adalah sebuah situs masa prasejarah yang layak digolongkan sebagai benda cagar budaya. Melalui periodisasi berdasarkan data artefaktual yang ditemukan hingga saat ini, maka situs ini masuk dalam periode akhir neolitik awal.

Alat yang ditemukan adalah alat dari cungkil bahan tulang (spatula), alat dari cangkang kerang, ekofak molusca (stromboidae), ekofak moluska (arcidae), batu pukul.

Lucas Partanda Koestoro menjelaskan, terkait dengan persoalan penemuan bukit kerang itu, sebenarnya di Kawal bukanlah yang pertama. Peninggalan manusia prasejarah berbentuk bukit kerang ditemukan pertama kali di sekitar Pantai Timur Sumatera tahun 1925 oleh peneliti Dr PV Van Stein Callenfels. Di tempat itu dia juga menemukan kapak genggam, yang disebut dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith).

Selain di Bintan, masih ada empat tempat lainnya ditemukan situs prasejarah seperti ini. Selain di kawasan pesisir Sumatera, seperti Aceh dan Sumatera Utara, di Sulawesi juga pernah ditemukan situs serupa.

Karena itu, perlu ada penjagaan terhadap lokasi sekitar situs. Sebab bercermin pada Deli Serdang, lokasi situs saat ini sudah hilang. Di Deli Serdang, situs tersebut ditemukan tahun 1970. Namun untuk situs bukit kerang yang di Aceh dan di Sumatera Utara, diperkirakan usianya lebih tua, yakni sekitar tujuh ribu tahun sebelum masehi.

Para manusia prasejarah ini memiliki ciri hidup berkelompok. Umumnya mereka tinggal di sekitar muara sungai, tepi sungai dan di pinggir laut. Hal ini terbukti dengan penemuan bukit kerang di Kawal, yang jaraknya dari bibir pantai sekitar 4,7 kilometer. Dari lima situs bukit kerang yang ditemukan di Indonesia, semuanya berada di bibir pantai.

Di Kawal sendiri, sebenarnya bukan hanya satu situs kjokkenmoddinger, melainkan tiga. Dan masing-masing digunakan tiga kelompok yang berbeda. Setiap kelompok beranggotakan sekitar 25–30 orang yang tinggal di rumah berbentuk panggung. Kondisi rumah berbentuk panggung ini juga mirip seperti yang ditemukan di Aceh. Namun seiring berlalunya waktu, bekas-bekas rumah sudah tidak bisa ditemukan lagi jejaknya di Kawal.Para manusia prasejarah yang pernah hidup di Kawal ini umumnya mencari makan dengan berburu. Kegiatan ini dilakukan oleh pria dewasa. Sedangkan, yang anak-anak, wanita dan orang tua mencari atau mengumpulkan makanan seperti kerang-kerangan serta umbi-umbian di sekitar tempat tinggal mereka.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top