KATA otak-otak kita kenal sebagai reduplikasi dari kata dasar otak. Seperti halnya bentuk dasarnya yang memiliki lebih dari satu makna (makna lugas dan makna kias), otak-otak juga sekurang-kurangnya memiliki dua arti atau lebih banyak.
Pertama, otak-otak merupakan bentuk jamak dari kata otak yang bermakna gramatikal ‘lebih dari satu otak; pelbagai jenis otak.’ Dalam hal ini, kata otak-otak sebanding maknanya dengan orang-orang, kampung-kampung, tikus-tikus, dan lain-lain. Pemakaiannya dapat kita jumpai, misalnya, dalam kalimat hipotetis ini, “Orang-orang membersihkan otak-otak para korban kecelakaan lalu-lintas yang berceceran di jalan naas itu.”
Kedua, otak-otak yang mengacu kepada ‘makanan yang terbuat dari ikan yang dicampur dengan rempah-rempah dan dibungkus dengan daun kelapa. Di Kepulauan Riau, misalnya, hanya ditemui yang dibungkus dengan daun kelapa karena barangkali jenis ini yang paling disukai, tetapi di tempat-tempat lain ada juga yang dibungkus dengan daun pisang. Memasaknya dilakukan dengan cara dipanggang. Boleh dimakan tanpa nasi (diratah) atau dicampur dengan nasi.’
Makanan yang lezat itu dinamai otak-otak sebetulnya tak jauh bergeser dari makna dasarnya ‘lebih dari satu otak.’ Pasal apa? Dengan mengambil contoh kuliner otak-otak, memang ada, dan ini mungkin yang awal, otak-otak yang terbuat dari kepala ikan (yang di dalamnya tentulah ada otak ikan) yang diremukkan atau dihancurkan. Jenis otak-otak kepala ikan itu sangat banyak peminatnya.
Otak-otak yang makanan lebih konkret dibandingkan dengan otak-otak jenis kedua (banyak benak, pikiran, atau kecerdasan) yang abstrak. Ternyata, kedua jenis otak-otak itu dapat pula dipertemukan. Kita dapat membuat otak-otak yang lezat dan mampu memasarkannya dengan baik jika kuliner itu dijadikan komoditas. Untuk itu, kita harus mampu menggunakan otak-otak yang benak secara tunak dan kreatif. Sebaliknya, otak-otak yang benak akan menjadi cerdas kalau kita mengonsumsi ikan, yang salah satunya dapat dijumpai di dalam makanan otak-otak, dalam jumlah yang memadai.
Hebatnya lagi, kehebatan kedua-dua otak-otak itu dalam bahasa kita hanya dibedakan oleh suku kata yang dibalikkan saja. Otak-otak yang makanan bergantung pada kelapa, sedangkan otak-otak yang alat berpikir bersarang di kepala. Bahkan, orang Melayu mengiaskan kecerdasan manusia dengan “kepala atau otak yang berminyak”, misalnya dalam ungkapan, “Kepala otak pemuda itu sungguh berminyak,” yang bermakna ‘pemuda itu sangat cerdas.’ Nah, acuan minyak itu, tak lain tak bukan, ya minyak kelapa, bukan minyak tanah atau minyak-minyak yang lain, yang nyaris tak terdengar, kecuali terbaca saja.
Bahkan, otak atau pikiran yang menyimpang dari kebenaran dan kebaikan dikiaskan orang Melayu sebagai “tahi minyak”. Maknanya ‘otak atau pikiran yang tak berguna.’ Otak yang cerdas bermahkota di kepala, sedangkan otak yang tumpul beristana di tempurung (kelapa): “otak tempurung.”
Dilihat dari rempahnya, kuliner otak-otak Melayu dapat dibedakan atas dua macam. Pertama, otak-otak yang rempah istimewanya berupa kelapa gonseng yang digiling halus, lalu dicampur dengan rempah-rempah yang lain. Isi otak-otak hanya kepala ikan yang diremukkan atau dihancurkan atau daging ikan yang dicampur dengan rempah-rempahnya saja, tanpa campuran tepung. Jenis otak-otak inilah yang paling lezat sebenarnya dan paling disukai banyak orang.
Sayangnya, jenis otak-otak berempah kelapa gonseng giling ini tak tahan lama (cepat basi) sehingga jarang dijadikan produk yang dipasarkan. Biasanya, ketahanannya hanya dari pagi sampai siang hari saja. Oleh sebab itu, para penjual kuliner jarang menjual jenis otak-otak yang lezat ini. Alasannya, resiko ruginya lebih tinggi.
Kedua, otak-otak yang bahan baku ikannya disebatikan dengan rempah-rempah dan tepung, tanpa kelapa gonseng. Orang Melayu menyebutnya otak-otak tepung. Kelezatannya lumayan juga, tetapi tak sebanding dengan otak-otak rempah kelapa gonseng giling. Kelebihannya, otak-otak tepung ini lebih tahan lama. Otak-otak tepunglah yang banyak dijadikan produk yang dipasarkan.
Apa pun jenis dan betapa lezatnya pun kuliner otak-otak itu, ianya tetaplah menjadi kuliner tradisional, tak pernah naik kelas. Sebagai komoditas perdagangan, otak-otak kita sampai setakat ini hanya mampu memikat hati para penikmat tradisional pula. Kendatipun lezat, makanan itu tak pernah menjadi oleh-oleh pilihan utama pengunjung (pelancong, misalnya) dari kawasan yang jauh walaupun mereka mengakui bahwa otak-otak memang lezat.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu. Pertama, sampai setakat ini kita hanya mampu memproduksi otak-otak yang daya tahannya rendah. Otak-otak tepung hanya mampu bertahan maksimal dua hari saja, sedangkan otak-otak berempah kelapa gonseng giling setengah hari. Pasalnya, produksinya masih dikerjakan secara sangat tradisional.
Kedua, tempat menjualnya juga cenderung tak menarik seperti di simpang-simpang jalan, yang cenderung selekeh (kumuh), yang bercampur antara asap pemanggangan, asap kendaraan, dan debu jalan. Bagi pembeli yang memiliki standar kesehatan yang baik, jualan itu sungguh tak menarik walaupun mereka sangat ingin menikmatinya.
Ketiga, kemasannya juga sangat tak menarik dan tak memenuhi standar kemasan kuliner modern. Bahkan, sangat sering ditawarkan di dalam bungkusan plastik yang mirip bungkusan sayur atau ikan dari pasar tradisional kita. Kesemuanya itu jadi menyurutkan selera pendatang dari luar, terutama dari negara-negara yang di tempatnya telah berkembang budaya dan seni makan dengan standar kebersihan, kesehatan, dan keindahan makanan modern.
Karena sungguh-sungguh lezat, kuliner otak-otak seyogianya dapat dijadikan andalan untuk dijadikan komoditas makanan yang pasti digemari orang berbilang bangsa. Malangnya, kita belum mampu atau barang kali belum mau menggunakan otak-otak (benak-benak) kita secara kreatif, sungguh-sungguh, dan ikhlas untuk mengembangkannya menjadi gastronomi modern, yang bertaraf antarbangsa.
Kita masih terlalu bangga dengan hasil perniagaan purba dalam bentuk batu, minyak dan gas bumi, pasir, air, bahkan kekuasaan dan marwah, yang dijual ke luar negeri tanpa pengolahan. Ya, memang bertaraf internasional, tetapi sifatnya sangat primitif sehingga akan mempertebal cap yang memang telah lama diberikan oleh bangsa lain kepada kita, yakni para pemikir dan pekerja kelas bawah.
Kita memang belum mau mengelola otak kita yang sesungguhnya secara bersungguh-sungguh. Padahal, kalau daya kreatif kita agak digenjot sedikit, bukan tak mungkin kuliner otak-otak akan melahirkan para pengusaha baru yang berjaya dengan komoditas utama andalannya makanan khas otak-otak. Alhasil, jika wisatawan berkunjung ke negeri ini, oleh-oleh utama yang wajib dicarinya otak-otak.
Barangkali otak-otak makanan kita bernasib seperti itu berkaitan dengan “tragedi” otak-otak yang bermakna ‘lebih dari satu benak’. Ini berhubung dengan mitos otak kiri dan otak kanan.
Beberapa tahun lalu masyarakat dunia digemparkan oleh hasil penelitian yang dipimpin oleh Dr. Jeff Anderson, Direktur MRI Neurosurgical Mapping Service, University of Utah (VIVAnews, Senin, 9/9/2013). Penelitian itu melibatkan lebih dari 1.000 sampel otak manusia. Hasilnya, dana besar yang dikeluarkan selama ini hanya untuk membeli sebuah mitos tentang perbedaan fungsi otak kanan dan otak kiri. Pasalnya, kesemuanya itu tak ada benarnya.
Jadilah kita sebagai korban yang teramat tenat dari mitos otak kiri dan otak kanan. Agaknya, itulah sebabnya kita tetap bertahan pada peringkat bawah dalam pengelolaan otak dan kecerdasan. Alhasil, mengelola otak-otak yang nyata di depan mata pun kita kewalahan.***