(Mengunjungi Fort Kroonprins Hendrik Tanjungpinang)
DALAM komplek bangunan Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL)Â dr. Midiyato Suratani Tanjungpinang ada bangunan yang ditetapkan sebagai Benca Cagar Budaya. Bangunan itu berupa benteng. Lanskapnya yang berbukit, membuatnya ideal dibangun sebagai kawasan pertahanan. Letaknya strategis.
Satu di antara benteng yang masih bisa dilihat hari ini adalah Fort Kroonprins Hendrik atau Benteng Prince Hendrik.
Balai Arkeologi Medan (2004) mencatat, batu-batu yang digunakan untuk membangun benteng yang diresmikan pada tahun 1825 ini didatangkan dari Malaka. Dibangun dalam pengawasan ketat Letnan Zeni Schonermark.
Kawasan ini tetap dijadikan sebagai basis pertahanan Tanjungpinang baik itu ketika di zaman Belanda hingga Jepang. Usai Indonesia merdeka, bangunan ini diambil alih oleh Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia untuk dijadikan rumah sakit militer.
Mantan Kepala Rumah Sakit TNI-AL (RSAL) dr. Midiyato Suratani Tanjungpinang, Kolonel Laut Nalendra pernah mengatakan, dirinya begitu terpukau dengan panorama yang terlihat dari ruang kerjanya, yang masih di sekitar Benteng Prins Hendrik.
“Kalau sudah lelah, tinggal menghadap laut, terasa tenang saja,” ucapnya. Oleh karena itu, tak heran bila kawasan benteng ini juga pernah dijadikan sebagai hotel pada akhir abad 20.
Saat ini, bagian yang tersisa dari benteng ini tidak lebih dari tembok keliling benteng dan asrama tentara yang dibangun pada masa yang lebih muda. Tak ada yang istimewa dari bentuk benteng ini. Pasalnya, motif benteng semacam ini marak dibangun kala penjajahan Belanda. Dan sebagian besar masih bisa dijumpai di beberapa daerah di nusantara.
Umumnya, benteng-benteng yang berada di kawasan kepulauan memiliki bastion. Di Benteng Prince Hendrik masih menyisakan bagian bastion pada sisi barat daya dan barat laut. (jm)