Oleh: Rendra Setyadiharja & Yoan S Nugraha
Tanjungpinang tidak pernah terlepas dari perjalanan sejarah yang amat panjang. Dimulai sejak dibukanya Sungai Carang sebagai pusat perdagangan oleh Laksamana Tun Abdul Jamil yang diperintahkan oleh Sultan Abdul Jalil Syah pada tahun 1673, kemudian berlanjut tatkala Sultan Ibrahimsyah memindahkan pusat pemerintahan ke Riau pada tahun 1678, maka sejak itulah Tanjungpinang mulai berperan menjadi bandar dagang Kerajaan Melayu Johor.
Sampai pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Melayu Riau Johor Pahang Lingga Raja Haji Fisabilillah, Riau dengan Tanjungpinangnya menjadi suatu wilayah yang memiliki peranan penting. Pada era Tanjungpinang dipimpin oleh Keresidenan Belanda, Tanjungpinang juga menjadi ibukota Keresidenan Riau.
Oleh karena itu, Tanjungpinang tentunya menyimpang khazanah sejarah dan budaya yang sangat banyak sehingga menarik jika ingin dikaji dan dipelajari lebih lanjut. Buku Toponimi Kota Tanjungpinang: Asal Usul Daerah Kota Tanjungpinang lahir dan diterbitkan oleh Badan Arsip, Perpustakaan dan Museum Kota Tanjungpinang adalah untuk menguak kembali sejarah penamaan tempat-tempat yang memiliki sejarah tersendiri di Kota Tanjungpinang. Buku ini lahir dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang Dosen Stisipol Raja Haji Tanjungpinang yaitu Rendra Setyadiharja, M.IP dan seorang jurnalis bernama Yoan Sutrisna Nugraha. Penerbitan buku ini juga adalah sebagai bukti bahwa iklim kepenulisan di Kota Tanjungpinang masih kuat dan memiliki gairah yang tinggi, sehingga muncul buku seperti ini sebagai sebuah referensi yang mampu menjadi pedoman bagi generasi di masa depan. Penyajian buku ini kepada masyarakat adalah terkait informasi tentang asal usul sebuah nama kampung atau jalan di Kota Tanjungpinang berdasarkan pemaparan dari narasumber yang dianggap kompeten dan mengetahui sejarah nama kampung dan jalan di Kota Tanjungpinang. Narasumber dalam buku ini antara lain, Datuk Alipon, Datuk Wan Tarhusin, Abdul Karim Ahmad, Raja Bujang dan masih banyak tokoh lainnya.
Adapun kampung, tempat atau jalan yang dibahas sejarah penamaan tempatnya di dalam buku ini adalah seperti, kampung-kampung yang ada di Pulau Penyengat seperti Kampung Jambat, Kampung Datuk, Kampung Balik Kota, selain itu juga kampung-kampung yang tersebar di Kota Tanjungpinang seperti, Kampung Bukit atau Bukit Cermin, Kampung Jawa, Kampung Kolam, Kampung Tambak, Batu Kucing, Pancur, Pantai Impian, dan lain-lain.
Salah satu sejarah yang cukup menarik di ceritakan oleh narasumber adalah Bukit Semrong salah satunya yang juga menjadi salah satu kampung atau tempat yang dibahas oleh penulis berdasarkan penuturan narasumber yang diwawancarai. Di dalam buku ini sejarah penamaan Bukit Semprong yang diceritakan informan bernama Ruddy Firmansyah salah seorang penggemar sejarah yang kini menjadi Dosen Bintan Institute Tourism menceritakan bahwa dahulu masyarakat mengenal alat penerangan hanya menggunakan obor bambu yang di ujungnya dibuat sumbu. Suatu ketika datang masyarakat Jawa yang hidup bersama dengan masyarakat melayu. Masyarakat Jawa cendrung mengelola perekonomian keluarga dengan cara bertani dan berjualan panganan ketika malam jelang. Penggunaan cahaya melalui obor kurang bermanfaat ketika mereka berjualan karena angin dan cahayanya terbatas. Maka masyarakat Jawa mencoba barter beberapa dagangannya dengan para pedagang Cina. Pedagang Cina telah menggunakan alat penerangan dengan menggunakan lampion dan sarung kaca pada pada alat penerbangannya mereka menyebutnya dengan kata “Semprong”. Lampu yang menggunakan kaca bersarung (sebagian orang menyebutnya lampu teplok). Oleh masyarakat Jawa (pendatang) lampu semprong itu dijual kembali kepada masyarakat tempatan. Masyarakat Jawa yang menjual lampu tersebut tinggal berkelompok disatu wilayah yang dikenal sebagai bukit tempat penjualan lampu semprong (teplok). Terlebih wilayah ini dekat dengan Kampung Jawa yang mayoritas penduduknya adalah Suku Jawa.
Apabila mereka bertanya sesama mereka (melayu tempatan) “Dimanakah tempat membeli Lampu itu? Maka mereka menjawab dibukit. Lalu bersatulah atau identiknya daerah itu jadi bernama si Bukit Semprong (bukit tempat awal penjualan/ mendapatkan lampu semprong (lampu teplok), yang berbahan minyak tanah, bersumbu dan dilindungi kaca pada apinya. Hingga kini jika mati lampu pun, sebagian masyarakat selalu tersedia lampu semprong (teplok) di rumahnya. Karena sangat bermanfaat.
Versi kedua cerita ini, sepertinya merupakan kelanjutan dari cerita pertama yang mengarahkan sejarah bahwa tempat Bukit Semprong adalah tempat dimana banyak masyarakat menjual lampu semprong. Cerita kedua menurut informan bernama Rianto seorang Dosen Stisipol Raja Haji menjelaskan bahwa Bukit Semprong, dulunya di atas bukit tersebut ada mercusuar Belanda guna pedoman bagi kapal-kapal yang akan memasuki pelabuhan Tanjungpinang. Mercusuar itu ada dua, satunya lagi ada di belakang Pos Penjagaan pintu gerbang Lantamal. Makanya bukit Mako Lantamal tersebut disebut juga oleh masyarakat setempat dulunya dengan sebutan Bukit Lampu, karena ada lampu mercusuar. Kembali ke Bukit Semprong, bahwa mercusuar zaman Belanda dulunya, dibagian puncak terdapat tabung kaca dari kaca pembesar yang dimasukkan lampu petromaks di dlmnya. Tabung kaca pembesar itu berfungsi sebagai pemancar cahaya dari petromaks agar memancarkan cahaya dan terlihat dari kejauhan. Dibagian bawah tabung tersebut ada mesin seperti mesin jam guna memutar tabung kaca tadi. Sehingga dari kejauhan terlihat seakan-akan lampu mercusuar tersebut berkedip-kedip. Karena disekitar daerah tersebut berdekatan dengan Kampung Jawa, tempat bermukim komunitas Jawa, dan orang Jawa menyebut mercusuar tersebut dengan lampu semprong (lampu kaca) maka selanjutnya bukit tersebut disebut orang dengan Bukit Semprong.
Selain Bukit Semprong juga diceritakan tentang asal usul nama kampung dan jalan lainnya yang diceritakan oleh narasumber lainnya yaitu Jalan Gudang Minyak. Menurut tokoh masyarakat yang sudah kita kenal bersama yaitu Abdul Karim Ahmad, mengatakan dari zaman Belanda di ujung pantai dimana sekarang bermana wilayah Gudang Minyak ini memang berdiri Gudang Minyak milik Belanda. Dimana fungsinya adalah tempat penyimpangan minyak untuk pembangkit listrik yang digunakan pada mesin pembangkit listrik yang berada di Jalan Bakar Batu (sekarang yang telah menjadi Kantor PLN Cabang Tanjungpinang). Namun gudang minyak ini sekarang telah dijual kepada pengusaha, dan telah diubah suai oleh pemilik barunya, sehingga bekas tapaknya tidak ditemukan kembali. Sejarah nama kampung lainnya juga seperti Kampung Pancur atau dengan nama jalan Ir. Djuanda yang menurut narasumber Wan Tarhusin dan ditulis kembali oleh Rendra dan Yoan dalam buku tersebut memiliki sejarah karena bukit di atas kampung Pancur ini dahulunya memiliki banyak mata air, sehingga Belanda menyebutnya sebagai water touren artinya adalah air mancur atau air yang turun. Karena banyaknya sumber mata air tersebut, maka Belanda membangun bak penampungan air di atas bukit yang sampai hari ini masih bisa kita jumpai. Atas dasar sejarah itulah maka wilayah tersebut orang menyebutnya dengan Pancur atau sekarang diberi nama Jalan Ir. Djuanda.
Banyak lagi keunikan sejarah penamaan kampung, tempat atau jalan yang dibahas di dalam buku ini. Amat disayangkan jika masyarakat Kota Tanjungpinang justru tidak membacanya, karena bagaimanapun juga karya ini merupakan salah satu sumber catatan yang pernah ditulis demi kebaikan dan kelestarian sejarah dan budaya bagi Kota Tanjungpinang. Saat ini buku Toponimi Kota Tanjungpinang ini sudah dipajang dan dapat dinikmati Badan Arsip, Perpustakaan dan Museum Kota Tanjungpinang. Buku ini juga disebar ke seluruh institusi pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi di Kota Tanjungpinang. Harapan penulis dan penerbit tentunya buku tidak menjadi sia-sia bagi pengetahuan masyarakat luas, karena dengan adanya buku ini, catatan sejarah tentang seluk beluk Kota Tanjungpinang dapat dijelaskan dan dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. (jm)