JIKA disenaraikan, sangat banyak jurnal dan majalah ilmiah berbahasa Belanda yang terbit di Batavia dan sejumlah kota di Negeri Belanda pada abad ke-19 mempublikasikan artikel dan bahan informasi lainnya tentang Kepulauan Riau Lingga pada ketika itu.
Salah satu diantara yang banyak itu adalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (Majalah/Jurnal Hindia Belanda). Balam buku-buku bibliografi, seperti Bibliography of Indonesian Peoples and Cultures yang diselenggarakan oleh Raymond Kennedy (Yale University: revisi kedua, cetakan kedua, 1974), dan dalam katalog-katalog perpustakaan, jurnal ilmiah berbahasa Belanda ini lazimnya disingkat dengan inisial TNI (dan selanjutnya saya akan menyebutnya TNI).
TNI adalah sebuah jurnal ilmiah yang ditubuhkan di Batavia pada tahun 1838 oleh Dr. Wolter Robert baron van Hoëvell, seorang pendeta yang bertugas di Batavia. Dalam perjalanannya, jurnal ilmiah ini sempat berhenti terbit karena kepindahan van Hoëvell ke Negeri Belanda. Van Hoëvell kembali menerbitkannya setelah ia kembali ke Batavia pada tahun 1849, dan terus menjadi editornya hingga tahun 1862. Setelah lebih kurang dua tahun terbit semula sejak tahun 1862 itu, akhirnya TNI benar-benar ‘ramat riwayatnya’ pada tahun 1894.
Hingga kini, seluruh edisi TNI dan artikel-artikel menarik dan penting yang dimuat di dalamnya masih dapat kita temukan dalam koleksi buku-buku langka (rare books) milik sejumlah perpustakaan besar di dalam dan luar negeri, dan sebagian kecil diantaranya dapat dibeli pada toko-toko buku on-line dengan kisaran harga yang cukup mahal. Di dalam negeri, sebagian besar nomor terbitan TNI masih dapat ditemukan di Perpustakaan Nasional, di Jakarta, yang berasal dari koleksi warisan perpustakaan tua milik Bataviaasch Genootschap di Batavia (Jakarta).
Oleh van Hoëvell, TNI ditubuhkan sebagai wadah untuk mempublikasikan berbagai tulisan ilmiah tentang hasil kajian linguistik, geografi, sejarah, dan sistim tanam paksa di Hindia Belenda ketika itu. Namun demikian, jurnal ini juga mempublikasikan berbagai hal tentang kehidupan politik dan sosial sezaman, serta berbagai sumbangan informasi dan pengetahuan (bijdragen) tentang aspek tententu dari berbagai daerah di Hindia Belanda ketika itu.
Salah satu bahan yang dipublikasikan dalam bijdragen tersebut adalah artikel yang cukup panjang tentang Keresidenan Riau dan Kerajaan Lingga-Riau dengan judul Bijdragen tot de kennis der residentie Rio (Sumbangan Bagi Pengetahuan Tentang Keresidenan Riau), yang dimuat dalam TNI edisi 15de jaargang, zesde fflevering, terbit bulan Juni 1853.
Secara keseluruhan, isi artikel Bijdragen tot de kennis der residentie Rio ter Isi Bijdragen tot de kennis der residentie Rio (yang ditulis oleh penulis yang tak diketahui namanya, dan sangat mungkin disalin dari laporan resmi Resident van Riouw ketika itu) terbagi atas empat bagian besar. Tiga bagian pertama bekernaan dengan sejarah tiga traktat atau perjanjian penting (tahun 1784-1818-dan 1830) antara kerajaan Lingga-Riau dan Belanda.
Adapun bagian keempat yang berjudul De toestand der Residentie Rio in 1849, adalah bagian yang berisikan informasi berkenaan situasi sosial, politik, ekonomi, dan hal ikwal pemerintahan Yamtuan Muda dan Sultan Lingga-Riau serta pemerintahannya pada tahun 1849. Pada bagian inilah terdapat informasi tentang Sultan Lingga, Sultan Mamhud Muzafarsyah dan kerajaannya (De sulthan van Lingga en zijn rijk) yang ketika itu sedang sibuk-sibuknya merencanakan dan membangun sebuah negeri baru (een nieuwe negeri) lengkap dengan sebuah istana baru Sultan Lingga yang sedang dikerjakannya pada tahun 1849.
Bagaimana kisahnya? Berikut ini adalah sedutan tentang dua hal itu yang saya kemas dan sarikan berdasar bagian yang berjudul, De sulthan van Lingga en zijn rijk (Sulan Lingga dan kerajaannya) yang dimuat dalam Bijdragen tot de kennis der residentie Rio.
Negeri dan Istana Baru
Setelah sekitar delapan tahun bersemayam di atas tahta kerajaan Lingga-Riau menggantikan ayahanya pada 21 Juli 1841, Sultan Mahmoed Sjah atau Sultan Mahmud Muzafarsyah berencana untuk membangun sebuah negeri baru di kaki Pegunungan Lingga atau Gunung Daik (De sulthan schijnt het plan te hebben, om aan den voet van het Linggasche gebergte een nieuwe negeri te stichten).
Dalam rencananya, negeri baru (nieuw negeri) di kaki pegunungan Lingga tersebut akan dilengkapi dengan sejumlah bangunan besar dan benteng-benteng (kota). Pada tahun 1849, Sultan Mahmud Muzafarsyah sedang sibuk mengerjakan pembangunan sebuah bangunan dari batu bata dengan arsitektur yang luar biasa besarnya, yang gambar reka bentuknya dibuatkan di Singapura (…Hij is reeds bezig met het optrekken van een kolossaal gebouw, dat, naar eene te Singapoera vervaardigde de teekening…).
Bangunan kolosal (een kolossaal gebouw) yang dimaksudkan ini, dan sebuah bangunan yang luar biasa besar ukurannya, dan akan menjadi sebagai istana baru Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Muzafarsyah di Daik di Daik-Lingga (het nieuwe paleis van den sulthan).
Seperti apa gambaran istana baru Sultan Lingga yang sedang dibangun di kaki pegunungan Lingga pada tahun 1849 itu bila selesai kelak?
Sesuai gambar rancang bangunnya yang bergaya arsitektur Eropa, bangunan kolosal istana baru Sultan Lingga di kaki pegunanang Lingga tersebut terdiri dari dua lantai (twee verdiepingen). Seluruh bangunan di bagian atasnya, lantai dua (de bovenste geheel) akan berfungsi sebagai harem yang mewah (een luisterrijke harem); sebuah bagian istana yang dikhususkan untuk tempat tinggal kaum perempuan (vrouwenberlijf). Sedangkan bagian bangunan paling bawahnya, lantai dasar (benedenhuis) akan menjadi istana tempat tinggal Sultan Mahmoed Riayatsyah. Ruang-ruang kamar yang berjejer di kiri dan kanan bangunan pada lantai dasar ini dipisahkan oleh sebuah koridor (waarvan de kamers links en regts door corridors). Selain itu, ditengah-tengah bangunan lantai dasar tersebut akan dibanguan pula sebuah receptiezaal (balairung).
Kerja-kerja pembangunan kompleks istana baru Sultan Lingga ini rupanya berjalan sangat lambat (De opbouw gaat zeer langzaa). Pada tahun 1849, proses pembanguanannya telah memasuki tahun ketiga, yang bermakna kerja pembangunannya telah dimulai pada tahun 1847.
Lambatnya kerja pembangunan istana itu antara lain disebabkan oleh pekerjanya hanya terdiri dari 4 orang Cina, dan kurangnya bahan bangunan; sehingga kadangkala pengerjaannya terhenti selama berminggu-minggu.
Dalam gambar rancang bangunnya, bangunan utama yang akan menjadi istana baru Sultan Lingga di negeri baru yang dibangun di kaki Pegunungan Lingga itu akan dilindungi oleh sebuah benteng besar (een belangrijk fort gebouwd). Lengkap dengan parit batu, kanal-kanal, dan bastion. Apabila selesai, kompleks istana itu akan mampu menampung 3000 hingga 4000 orang.
Selain istana baru Sultan Lingga, kawasan negeri baru di kaki pegunungan Lingga tersebut, rencananya, akan dilengkapi pula dengan bangunan-bangunan lain yang juga terbuat dari batu bata. Bangunan-bangunan tersebut juga akan dikelilingi tembok batu yang kokoh (ringmuuren), dan tiga pintu gerbang (poorten).
Persoalannya, apakah proses pembangunan istana baru (het nieuwe paleis) Sultan Lingga itu selesai? Sayang informasi dalam jurnal TNI tak menjelaskan lebih lanjut. Namun demikian, ada bahan sumber tertulis lainnya dapat membantu kita, meskipun tak tuntas!
Bahan sumber tertulis itu, sebuah syair biografis sekaligus syair reportase yang yang dikenal dalam korpus khazanah manuskrip Melayu sebagai Syair Sultan Mahmud di Lingga, sebuah gubahan Entjik Kamariah (seorang perempuan penyair Daik-Lingga yang pernah menjadi pengasuh (kindermaid) Sultan Mahmud Muzafarsyah.
Dalam syair tersebut dijelaskan bahwa pembangunan negeri baru dan kompleks istana baru Sultan Lingga itu akhirnya dapat diselesaikan. Persoalannya sekarang, di manakah lokasi negeri dan istana baru yang mulai dibanguan Sultan Mahmud Muzafarsyah pada tahun 1847 itu? Yang pasti, lokasinya tentulah bukan di situs “Istana Bilik 44” di kawasan Hulu Damnah, Daik-Lingga, yakni sebuah situs tapak istana yang tak selesai pengerjaanya dan hingga kini diyakini sebagai situs istana yang dibanguan oleh Sultan Lingga, Sultan Mahmud Muzafarsyah.***