Kerasukan Pasir (2)

sand dunes in the desert

Dalam pada itu, kawan-kawan lamanya, Bujang, Atan, Dara, dan Comel melakukan gerakan perlawanan. Pasalnya, mereka sangat khawatir melihat gejala daratan kampung mereka terus mengecil dari hari ke hari. Mereka menyuarakan bahwa gerakan makan pasir itu berbahaya, primitif, tergolong kejahatan kemanusiaan terbesar abad ini. Pulau-pulau menjadi semakin kecil karena abrasi pantai. Lingkungan tercemar, habitat air punah-ranah, pendapatan nelayan menurun, dan marwah bangsa tergadai.

“Gerakan makan serta menjual tanah (dan) air ini harus segera dihentikan. Selamatkan negeri dari gerakan barbar Geng Entol. Pulau-pulau terluar harus terjaga, masyarakatnya jangan ditelantarkan. Kerasukan pasir ini harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya!” pekik mereka setiap hari. Perlawanan Bujang dan kawan-kawan mendapat peliputan luas oleh media dalam dan luar negeri, cetak dan elektronik. Tak ketinggalan media sosial, terutama yang tak kebagian kontrak dari Geng Entol.

Media yang mendapat kontrak membela Geng Entol dengan menyebutkan perjuangan Entol cs. adalah gerakan perubahan yang patut disokong. Itu gerakan orang hebat untuk membangun masyarakat hebat sejagat. Akibatnya, terjadilah perang media saban hari yang menyebabkan masyarakat semakin bingung. Makin bingung masyarakat, makin gembiralah Entol dan sindikatnya. Tujuan mereka tentu akan semakin cepat tercapai.    

Bukan Entol namanya kalau dia kehabisan akal menghadapi gertakan pemuda kampung, yang menurutnya kampungan. Dia membuat gerakan tandingan. Borol dan Bangkup diutus untuk meyakinkan masyarakat agar tak terpengaruh provokasi Bujang dkk. Masyarakat diberikan seratus ribu rupiah sebulan setiap keluarga.

“Ambil saja,” bujuk Borol, “kalau Awak menangkap ikan di laut dan berkebun di darat belum tentu dapat segini. Banyak duit dari Tuan Besar Entol ini.” Itu yang diprovokasi oleh Borol dan Bangkup. Masyarakat pun banyak yang termakan bujuk rayu anak buah Entol yang tertular bercakap besar itu.

Bujang dan kawan-kawan tak berputus asa. Mereka terus bergerak sampai mengirim surat protes ke Istana. Akhirnya, pihak Istana rinsa (gerah) juga. Alhasil, Istana mengeluarkan fatwa bahwa makan pasir dinyatakan perbuatan haram. Sejak fatwa itu diterbitkan, sesiapa pun yang melanggarnya akan dihukum dengan sanksi yang seberat-beratnya dan sebesar-besarnya. Ada pula yang menduga bahwa Istana mengeluarkan fatwa itu karena tak mendapat bagian makan pasir dari Geng Entol. Padahal, konon, Paduka ingin juga mencoba makan pasir supaya menjadi lebih besar. Entah ya tidak dugaan itu, hanya Tuhan-lah yang tahu.

Entol cs. masih banyak helah. Mereka terus berunding di dalam dan luar negeri. Soalnya, mereka betul-betul sudah kerasukan pasir bak orang ketagihan narkoba. Akhirnya, diperolehlah ide besar: pendalaman alur laut. Dengan pendalaman alur laut, kapal besar-besar, dalam dan luar negeri, akan dapat berlabuh. Devisa negara akan masuk bagai dicurahkan dari langit, dari cukai labuh kapal. Rakyat akan sejahtera. Itulah iklan yang mereka sebarkan setiap hari, baik secara langsung maupun melalui media, termasuk media sosial yang pengelolanya telah ditunjuk. Pokoknya, gerakan mereka semakin terorganisasi demikian canggihnya.

Dewan rakyat pun tergoda oleh iklan itu. Mereka telah mengetukkan tukul ke kepala masing-masing berkali-kali tanda bersetuju. Konon, anggotanya yang bernama Markus yang paling nyaring berteriak setuju. Entol pun telah membayangkan lemaknya makan pasir kembali. Tak sesiapa pun dapat menghalangi rencananya lagi. Dari Negeri Seberang telepon terus-menerus berdering.

Tiba-tiba, Ahad lalu surat kabar terbesar di kampung itu, Pos Bantuan namanya, menurunkan liputan khusus tentang geng kerasukan pasir. “Menggali Kubur untuk Anak Cucu” tajuknya. Bagai terbakar membacanya, Entol jadi rinsa. Jangan-jangan masyarakat terpengaruh setelah membaca tulisan itu. Akibatnya, rencana besarnya boleh jadi gagal besar.

Ibu Entol baru tahu perilaku aneh anaknya. Bujang terpaksa memberitahukan tabiat Entol kepada ibu bekas kawannya itu. Maksudnya, kalau terjadi sesuatu terhadap Entol kelak, ibunya tak terperanjat atau terpukul. Selama ini ibunya mengira anaknya memang tumbuh menjadi orang baik-baik dan berhasil dalam hidup karena bekerja keras dari bisnis halalnya. Mendapat kabar dari Bujang, perempuan tua yang baik hati itu jadi malu semalu-malunya. Dia menangis pilu sejadi-jadinya dan air matanya pun menitik jatuh, terus mengalir sampai jauh, meresap ke seluruh tanah dan pasir ke sekutah-kutah negeri.

Hari masih pagi. Matahari baru saja muncul agak malas karena dihalangi oleh awan hitam yang cukup pekat. Mungkin tak lama lagi akan turun hujan lebat. Dalam suasana itulah tiba-tiba lidah Entol kecur hendak bangat makan pasir. Pokoknya, sarapan paginya hari ini harus pasir. Macam orang perempuan hamil muda mengidam rasanya. Air liurnya keluar berjujuh-jujuh. Tak sanggup lagi dia menahan tagihnya makan pasir, yang telah diamalkannya sekian tahun. Lezat dan lemaknya terus saja menggoda laksana mengerenyam di otaknya. Dia tak lena tidur karena terus membayangkan makanan favoritnya itu.

Tak berlengah lagi, diambilnya pasir di halaman rumahnya dan dihadapinya pasir sebakul penuh. Apakah yang terjadi sejurus kemudian? Pasir-pasir itu tiba-tiba berubah menjadi ulat, lipan, lipas, ular, kalajengking, biawak, dan bangkai tikus. Hewan-hewan itu berwujud dalam pelbagai ukuran besar-kecil dan berwarna-warni. Perubahan wujud seaneh-anehnya itu tak menyurutkan Entol untuk melahapnya sampai habis. Nafsunya untuk menyantap pasir demikian menggebu-gebu sehingga mengalahkan rasa mual dan takut manusia normal ketika berhadapan dengan binatang yang menjijikkan dan mengerikan.

“Sedaaap aaaakh!” katanya, sambil terus mengunyah dan menyantap hidangan khas sarapan pagi itu dengan lahapnya. Mulutnya mencuap-cuap bagai menikmati makanan panas, pedas, lemak, masam, dan manis yang berbaur menjadi satu rasa.

Ketika menyantap makanan yang aneh-aneh itu, tiba-tiba tubuh Entol pun ikut berubah. Kepalanya membesar, matanya menjojol keluar, giginya mengeluarkan taring yang besar-besar, perutnya terus membuncit nyaris meletus, kakinya berubah bak kaki gajah, badannya bersisik keras bagai kulit penyu, lidahnya terjulur laksana lidah komodo, dan suaranya pun berubah seperti gonggongan serigala yang sedang melihat hantu pada malam hari.

Alangkah terkejutnya Entol melihat perubahan fisiknya itu. Dia menjerit panjang sambil berlari ke sana ke mari. Rasanya dia telah berusaha berteriak minta tolong seperti manusia normal dengan teriakan, Tolooooooong!” Kenyataannya, suara yang keluar dari mulutnya malah, “Kung kuuung kuuuuuuung …” persis suara serigala yang melolong panjang.

Orang-orang kampung mendengar suara gonggongan serigala yang sangat aneh. Pelbagai pikiran bermunculan di benak mereka. Malah, banyak yang berasa ngeri dan takut mendengarkan suara gonggongan yang tak biasa itu. Walaupun begitu, rasa ingin tahu mengalahkan rasa ngeri mereka. Berbondong-bondonglah mereka berlari ke arah suara gonggongan aneh itu.

Alangkah terkejutnya mereka. Ternyata, sumber suara aneh itu berasal dari rumah Tuan Besar Entol.

Mereka semakin terkejut setelah sampai di rumah itu. Sesosok makhluk aneh seaneh-anehnya keluar dari rumah sambil meraung dan menggonggong seraya menggeliat dan menggelepar-gelepar. Melihat makhluk yang sangat mengerikan itu, orang kampung pun lari bertempiaran ke sana ke mari tak tentu arahnya. Ada yang ke pantai, ada yang ke hutan, ada yang ke bukit. Bahkan, ada yang menceburkan diri ke sungai untuk bersembunyi. Mereka khawatir diserang oleh “serigala” superaneh lagi buruk rupa.

Di sebalik dinding rumah itu sesosok makhluk misterius mengintip segala tingkah laku Tuan Besar Entol yang berubah wujud seaneh-anehnya setelah makan pasir. Makhluk yang entah dari mana asalnya itu menyeringai. Sambil berlalu meninggalkan Entol yang terus menggonggong, mengerang, dan meraung, dia bersiul lagu “Anak Anjing Saya” dengan irama gambus yang dipadu rentak Mak Inang Melenggang Sayang.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top