DI SELA-SELA tugasnya sebagai surveyor pemerintah, pengawas jalan dan proyek-proyek pekerjaan umum di Singapura, John Turnbull Thomson, sempat mengunjungi Tanjungpinang, yang ia sebut Rhio, pada tahun 1847. Hasil dari kunjungan itu adalah sebuah reportase, beberapa lukisan sudut-sudut Kota Tanjungpinang, Pulau Penyengat, dan kawasan sekitarnya.
Selama berada di Tanjungpinang, orang putih asal Selandia Baru ini tidak hanya mengunjungi sudut-sudut menarik di Tanjungpinang dan Pulau Penyengat, tapi juga menerokai sisi lain Pulau Bintan. Sisi lain Pulau Bintan tersebut, yang membentang di sepanjang sisi utara dan timurnya sangat kaya dengan potensi geologis, namun belum banyak banyak mendapat perhatian dari para geolog ketika itu.
Berikut ini adalah catatan singkat J.T. Thomson tentang bentangan geologis di sepanjang kawasan sisi utara dan timur pulau Bintan yang diterokainya pada tahun 1847. Dipublikasikan sebagai bagian dari sebuah repostase berjudul, “A Glance At Rhio”, dimuat dalam The Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia, 1847.
***
Seperti halnya ibu kota Riau atau Tanjungpinang, bagian lain dari Pulau Bintan (Thomson menyebutnya the Island of Bintang) yang terletak di antara belahan timur dan kawasan paling baratnya serta kawasan yang terhampar di sebagian Pantai Utaranya
telah diterokai [pada abad ke-19].
Secara geologis, dapat dikatan bahwa pulau ini menyajikan sebuah kelanjutan dari gambaran umum yang berlaku di bagian Selatan Semenanjung Malaya. Batu besi dari jenis yang sama, atau laterite, terhampar, menyebar pada permukaan pulau itu dalam kadar yang banyak atau sedikit, seperti yang juga terlihat di Melaka dan Singapura.
Pada sejumlah tempat, batu-batu besi tersebut bekurang ukurannya menjadi kerikil-kerikil kecil, yang terhampar pada kedalam tiga atau empat kaki di bawah permukaan tanah. Pada tempat yang lain, ada di antaranya yang muncul mencuat dan menyebar di permukaan tanah dalam bentuk sebuah batu yang batu besar atau bongkahan-bongkahan batu.
Di sepanjang pantai Utara Pulau Bintan, sejak dari Teluk Blanah (Blanah Bay) hingga ke kawasan Pulau Panjang, formasi batuan yang terlihat adalah hamparan batu granit, dan butiranbutiran kasar yang mengandung sedikit mica atau mineral yang menyerupai kaca.
Pada banyak tempat, bongkahan-bongkahan batu itu berukuran besar sekali, dan muncul dalam bentuk yang luar biasa di permukaan laut, di tepi pantai, di sekitar Pulau Bulat (Round Island), dan Pulau Panjang. Pada ujung paling Barat dari Pulang Panjang ini, batu besar berbentuk piramida muncul ke permukaan laut, yang menurut perkiraan kami menjulang hingga sekitar 150 kaki dari permukaan laut. Sementara itu yang lainnya kami lihat hanya menyerupai struktur-struktur tiang yang bertumpu pada alas yang kecil.
Di ujung Timur Pulau Bintan, hamparan batu tampil berlapis-lapis, dan sulit untuk menyimpulkan apakah bagian itu berasal dari batuan plutonik atau sedimen. Batu-batu ini, sekali lagi, mencuat dari dasar laut pada jarak yang jauh dari pantai. Merentang dari barat laut dan timur laut, serta menukik hampir tegak lurus, atau mencuat hingga 10 kaki dari permukaan air laut, membentuk hamparan batu karang berbahaya yang disebut Beting Postillon (Postillon’s Shoal), penyebab hancurnya sejumlah kapal Inggris hingga ditenggelamkan oleh Pahlawan perang Belanda yang namanya diabadikan untuk tempat itu. Batu ini jelas terlihat dari permukaan ketika hari cerah dan laut tenang.
Sementara itu, bagian utara dari Pulau Bintan, seluruhnya terdiri dari batu granit. Sedangkan kawasan tenga dimana Rhio atau Tanjungpinang terletak, tersusun dari serpihan batu dari tingkat pengerasan yang berbeda. Yang kebanyakan diantaranya digunakan dalam membuat batu ubin untuk dijadikan lantai dan sebagainya.
Sejauh yang diamati, batu-batu itu tampaknya adalah non-fosil, sehingga mendapat perhatian yang sedikit dari para geolog. Namun demikian ianya mengandungi bahan tambang sejenis batu tulis, yang digunakan untuk lantai bangunan dan lain sebagainya.
Pulau Bintan sebagaimana telah dicatat sebelumnya, mengandungi banyak kawasan yang menjorok ke laut, dimana bagian-bagian yang menjorok kelaut itu sering terdapat teluk yang dalam serta anak sungai yang lebar, dan tidak ada sungai-sungai besar yang menghasilkan endapan. Sebaliknya kami menemukan ada kawasan yang telah lama terbentuk menjadi lembah, namun masih digenangi oleh air laut.
Beberapa dari teluk-teluk itu hampir membelah Pulau Bintan, dan salah satunya adalah yang kami lihat ketika kami mendekati pelabuhan Tanjungpinang. Luas permukaanya menyebar seluas Large Bintang Hill (Gunung Bintan Besar.), dimana pada bagian lerengnya yang berhutan, pohonpohon kayu muncul dengan tiba-tiba di tepi air.
Bentangan permukan Pulau Bintan secara umum rendah, dan jarang sekali tingginya lebih dari 80 hingga 100 kaki. Seperti halnya Singapura dan sebagian besar wilayah Johor, elevasinya yang mencolok tersembunyi. Bagian yang paling tinggi diantaranya adalah Large Bintang Hill (Gunung Bintan Besar.), yang tingginya sekitar 1200 kaki.
Tanah Pulau Bintan sejauh yang diamati tidak subur. Terdiri dari tanah liat agak kemerahan yang bercampur dengan unsur-unsur tumbuh-tumbuhan, dan tidak layak untuk diolah secaraumum, kecuali untuk penanaman gambir dan lada.
Kami diberi tahu bahwa produksi dua komoditi perdagangan ini sudah mulai berkurang karena tanaman jenis merambat itu telah terlalu tua; dan orang-orang Cina yang menanamnya telah meninggalkan sejumlah besar tanah perkebunan itu sebagai konsekwensi dari mencari lokasi perkebunan yang baru di Pulau Batam dan Johor.***