Bahasa Melayu di Kepulauan Riau-Lingga

Menurut Pandangan Orang Eropa Tahun 1855

SEJAK kurun ke-19, bahasa Melayu yang dipergunakan oleh penduduk di kawasan Kepulauan Riau-Lingga telah menarik perhatian orang-orang Eropa yang datang bertandang melalui Tanjungpinang.

Letnan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, George Francois de Bruyn Kops, adalah salah seorang di antara mereka yang tertawan hatinya oleh bahasa Melayu itu, ketika bertandang ke Kepulauan Riau-Lingga pada pertengahan abad ke-19. Menurut pendapatnya, bahasa Melayu di kepulauan ini, easily acquired, simple, and melodious, mudah dipelajari, sederhana, dan merdu didengar.

Oleh karena itu, dalam kunjungan sempena mengumpulkan informasi tentang sejarah, potensi alam, penduduk, dan aspek-aspek maritim Kepulauan Riau-Lingga pada petengan kurun itu, ia tidak melewatkan perhatiannya terhadap Bahasa Melayu penduduk tempatan, yang menurutnya telah tersebar luas melaui perdagangan.

Ia terkesan dengana cara orang Melayu bertutur kata: “Their manner of speech is drawling and with a particular emphasis on different words, which produces akind of singing tone. Some letters, especially the e, they can only pronounce in a defective manner. They are slow of speech and use little gesture.” “Cara mereka bertutur kata lemah lembut dan dengan sebuah tekanan suara khusus pada katakata yang berbeda, yang menghasilkan semacan suara nyanyian (a kind of huruf e, hanya dapat mereka ucapkan dengan cara yang tidak sempurna (defective manner). Mereka berbicara perlahan dan sedikit menggunakan isyarat (little gesture).”

Sebagai orang yang datang bertandang, apa yang diungkapkan oleh Bruyn Kops tentulah bersumber dari pengamatan sepintas kilas, berdasarkan apa yang dapat dilihat dan didengar. Namun demikian tak sedikit informasi menarik yang dapat disimak dalam laporannya tentang kepulauan Riau-Lingga abad ke-19 yang kemudian dipublikasikan dalam The Journal of The Indian archipelago and Eastern Asia (JIAEA) di Singapura.

Dalam laporan itu, Bruyn Kops juga menjelaskan dengan panjang lebar perihal Bahasa Melayu di Kepulauan Riau-Lingga dan konteks sosial-historisnya. Berikut ini adalah sedutan catatan Bruyn Kops perihal bahasa Melayu di Kepulauan Riau-Lingga dalam laporan berjudul, Sketch of The Rhio-Lingga Archipelago, yang diterbitkan dalam (JIAEA) tahun 1855.

***

Melalui kegiatan perdagangan mereka yang luas, orang Melayu [di Kepulauan Riau-Lingga] besentuhan dengan sebagian besar orang Timur, dan bahasa mereka telah menjadi media komunikasi utama hampir di seluruh Nusantara. Keadaan ini dimungkinkan karena mereka adalah orang-orang yang sangat tagih terhadap dunia perdagangan dan kehidupan di laut, dan juga karena bahasa mereka mudah dipelajari, sederhana, dan merdu didengar.

Sekarang ia telah menyebar, sejak dari pulau-pulau di bagian Barat Sumatera hingga ke Papua (New Guinea), dan dari Timor hingga ke Pilipina, kita dapat menggunakan bahasa ini. Hal yang patut mendapat perhatian adalah meskipun ada penyebaran yang luas, hampir di berbagai tempat bahasa itu diucapkan dengan cara yang sama, yakni, hanya ada perbedaan-perbedaan yang sangat kecil dalam dialek dan perbedaan aplikasi serta makna sebuah kata. Sementara itu pada banyak tempat, sangat banyak kata-kata yang berasal dari luar, yang bukan bahasa Melayu (karena pergaulan dengan bangsa asing).

Dalam bahasa tulis, bagaimanapun juga tidak ada perbedaan, serupa di mana-mana. Bahasa inilah yang digunakan oleh pangeran-pangeran dalam menulis, diucapkan oleh mereka, dan digunakan secara umum dalam perdagangan.

Banyak transformasi telah terjadi dalam bahasa Melayu. Menurut William Marsden, bahasa Melayu asalnya adalah sebuah dialek orang Polynesia. Ia coba membuktikannya melalui kesamaan sejumlah besar kata-kata yang sering digunakan serupa dengan yang masih digunakan pada pulau-pulau disebelah Barat Papua (New Guinea); dan sebuah komunitas dengan bahasa ini jelas tampak pula di pulau-pulau di sebelah Timur Papua.

Dalam rentang waktu yang panjang, yang seluruhnya diselimuti kekaburan, Bahasa Melayu itu telah ditapis dan dibubuhi oleh banyak kata-kata yang berasal dari bahasa Sanskerta (Sanscrit), dan telah mejadi acuan moral yang utama, ide-ide awal tentang ilmu pengetahuan, atau membangunkan kecerdasan kaum muda.

Kata-kata yang berasal dari bahasa Sanskerta ini hadir karena didatangkan, dan secara umum telah diserap ketika kebudayaan orang-orang Hindu itu menaklukan negeri-negeri ini dan sekaligus memperkenalkan bahasa serta agama mereka.

Pada kurun ke-12 masehi, agama Islam masuk ke daerah ini, yang barangkali banyak diprakarsai oleh perdagangan besar dengan Negeri Arab, yang keberadaannya dapat ditelusuri jauh hingga ke kurun 9 masehi.

Terhadap bahasa Melayu sendiri, pengenalan agama Islam mempunyai pengaruh yang kecil, namun sebaliknya besar pengaruhnya terhadap cara dan teknik menulis, karena huruf-huruf Arab telah merubah cara-cara menulis sebelumnya, yang tidak pernah kita temukan bekas-bekasnya, kecuali kalau kita mungkin menganggap tulisan Batak sebagai sisa dari cara penulisan sebelumnya. Dalam bahasa sosial (bahasa komunikasi sehari-hari), sangat sedikit ditemukan kata-kata bahasa Arab, namun dalam karya-karya yang membahas agama, moralitas, huku-hukum, seni, dan ilmu pengetahuan, sangat luas penggunaan Bahasa Arab.

Dalam gaya penulisan yang kami temukan, terutama sekali dalam pembukaan sebuah karangan, banyak perkataan dan hampir semua kalimat, adalah bahasa Arab murni, pure Arabic [mungkin yang dimaksud adalah kutipan ayat Al-Qur’an, penterjemah]. Bacaan dalam sholat dan doa sehari-hari juga diucapkan dalam bahasa ini. Tak banyak orang, kecuali para cendekiawan dan ulama, yang memahami kata-kata tersebut.

Bahasa Melayu, seperti umumnya diketahui, dibagai ke dalam dua bagian, atau lebih tepatnya dibagai dalam dua gaya pengucapan yang berbeda, yakni, bahasa Melayu tinggi atau rendah (bhasa dalam dan bhasa dagang).

Kelompok yang pertama adalah bahasa istana dan umumnya digunakan oleh orang-orang yang berpendidikan. Para pangeran dan bangsawan mempunyai sejumlah kata yang hanya mereka yang menggunakannya atau dipakai di lingkungan mereka. Sehingga konsekuensinya, bahasa istana ini terbagi pula menjadi dua bagian, yakni, bhasa dalam dan bhasa bangsawan, yang saya lihat sebagai sebuah pembedaan yang tak ada gunanya.

Bahasa Melayu tinggi (the high Malay) selalunya digunakan dalam buku-buku, surat-surat, puisi-puisi bermutu, dan cerita khyalan [barangkali yang dimaksud adalah hikayat]. Bahasa Melayu rendah (the low Malay) atau bahasa dagang (bhasa dagang), adalah, seperti ditunjukan oleh namanya, digunakan oleh kalangan masyarakat kelas rendah, oleh pedagangpedagang asing maupun pedagang tempatan, dan dalam pergaulan sehari-hari.

Melalui hubungan perdagangan, banyak kata-kata diserap ke dalam bahasa Melayu di Kupulauan Riau-Lingga ini. Mengubah bentuk aslinya, sehingga terdapat sejumlah penduduk tempatan berucap layaknya para pedagang asing itu.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top