DESEMBER 2019 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, menerbitkan karya bersama. Buku yang dicetak bekerja sama dengan Sunrise Yogyakarta itu terdiri atas 9 bab dan diberi judul Risalah Cendekia. Berbagi pemikiran ke publik melalui tulisan menjadi salah satu agenda penting mereka, selain dari pelbagai aktivitas yang cenderung meningkat pada periode ini, nampaknya.
Buku ini memuat 46 tulisan. Perinciannya 8 tulisan bidang politik, 6 tulisan bidang pendidikan, 9 tulisan bidang sosial, 6 tulisan bidang ekonomi, 2 tulisan tentang generasi muda, 8 tulisan bidang agama, 1 tulisan bidang perkotaan, dan 2 tulisan tentang kecendekiaan. Kesemuanya itu merupakan sumbangan 10 penulis.
Karena keterbatasan ruang, Jemala kali ini hanya membahas satu topik saja. Bahasan yang ditampilkan pertama di buku ini, yakni politik.
Nazaruddin membuka perbincangannya tentang politik dengan judul tulisan “Otak dan Bangsa yang Merdiko”. Menurut cendekiawan ini, kata merdeka bermakna ‘sangat bijaksana, sangat kuat, sangat kaya’. Oleh itu, kemerdekaan harus sama-sama dinikmati oleh negara dan individu rakyat. Panjang-lebar diperikannya tentang syarat dan atau keadaan yang diperlukan bagi negara dan individu yang merdeka. Pada akhirnya, beliau menyimpulkan bahwa presiden pun harus merdeka. Adakah presiden yang tak atau belum merdeka?
Dalam tulisannya “Kebenaran yang Hilang”, Nazaruddin kembali menyoroti persoalan politik bangsa. Menurutnya, kecenderungan alamiah manusia seyogianya berbuat damai, jujur, adil, dan menjaga tatanan sosial. Kenyataannya kini, justeru, anak bangsa jatuh ke lumpur kenistaan: membabat hutan, perzinaan, manipulasi, menindas, korupsi, memeras, sampai membunuh. Oleh sebab itu, solusi yang mesti dikedepankan adalah kembali ke ajaran Tuhan.
“Bangsa yang Tidak Bahagia” juga merupakan tulisan Nazaruddin. Di dalam tulisan ini beliau menyoroti mustahaknya pengelolaan cinta dan benci dalam penyelenggaraan negara. Pedomannya Pembukaan UUD 1945, yang meliputi aspek spiritualitas, intelektual, dan emosional. Negara, katanya, baru setakat menekankan aspek emosional dalam mengelola bangsa (kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran). Malangnya, energi cinta dan benci tak terkendali dengan baik. Yang diharapkan pengelolaan yang canggih, tetapi yang terjadi malah serbacanggung. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang tak bahagia.
Nazaruddin lagi-lagi menyoroti persoalan politik di dalam tulisannya “Mahalnya Biaya Politik”. Minat dan perhatian cendekiawan ini terlihat begitu besar dalam bidang politik, terutama politik praktis.
Di dalam tulisan keempatnya ini, Nazaruddin menegaskan ajaran demokrasi yang menekankan kompetisi politik berasaskan keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab ternyata belum wujud di Indonesia. Akibatnya, para petarung politik memerlukan dana yang besar demi memenangi pertarungan politik untuk menjadi eksekutif dan legislatif. Akibatnya, demokrasi ideal menjadi oligarki, yang menjelmakan wujudnya menjadi demokrasi kriminal. Oleh itu, komitmen etika politik institusional harus terbangun dengan baik dan kuat. Jika tidak, Indonesia akan hancur, katanya.
Di kalimat penutupnya beliau menuturkan, “Sudah saatnya meninggalkan politik demi masa depan bangsa yang berkeadaban dan pemimpin yang bermarwah melalui pemilu yang bermartabat.” Apakah maksud pernyataan itu sesungguhnya, hanya penulisnyalah yang tahu.
Penulis lain yang menyoroti bidang politik dalam kumpulan tulisan ini adalah Dewi Haryanti. Tulisannya diberi tajuk “Golput ataukah Gosong Asap? Menakar Pendidikan Masyarakat Pemilih pada Pemilu 2019”.
Menurutnya, golput merusak kualitas pemilu dan nilai demokrasi. Gosong asap yang dimaksudkan rupanya akronim dari golongan yang kosong aspirasi politiknya. Di dalamnya termasuklah mereka yang tak berpartisipasi, menggunakan hak pilih, tetapi dirusak atau dihilangkan, menukar hak pilih dengan materi, dan sebagainya. Solusi yang ditawarkan agar tak terjadi golput dan gosong asap hanya satu. Dalam hal ini, golput dan gosong asap harus dihindari. Masalahnya, semudah itukah, terutama jika dikaitkan dengan pendapat Nazaruddin bahwa ada harga yang tinggi di pasar politik praktis?
Sorotan bidang politik juga dilakukan oleh cendekiawan Lamidi. Tulisan beliau “Pencerahan Politik Kebangsaan”. Melalui tulisan ini, Lamidi menganjurkan supaya peserta pemilu dan masyarakat berpolitik secara moderat dan berkeadaban. Maksudnya, publik seyogianya bersikap rasional, profesional, moderat, dan tak bersikap ekstrem seperti menghujat dan sebagainya.
Mereka yang terpilih dalam pemilu, yang kemudian menjadi eksekutif dan legislatif, juga dihimbau agar melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan memajukan bangsa Indonesia. Akan tetapi, di bagian depan tulisannya ini beliau telah menyebutkan, “Politik tak dengan sendirinya kotor, tetapi tak pernah menghindari kekotoran.” Agak pelik dan rumit jadinya, menurut saya (HAM), untuk terealisasikannya imbauan mulia itu. Pasalnya, walau tak dengan sendirinya dihampiri, kotoran itu jadinya nyaris tak kuasa untuk dihindari. Akibatnya, walaupun tak betul-betul kena objeknya, mungkin terbaui juga “aroma sedapnya”.
Cendekiawan yang juga tertarik pada persoalan politik adalah William Hendri. Di dalam buku ini beliau menyumbangkan tulisan “Pemilu dan Perempuan”.
Menurutnya, pelaksanaan pemilu rawan terhadap praktik tak terpuji. Di antaranya praktik kecurangan, diskriminasi, dan kekerasan. Malangnya, perempuan yang, justeru, cenderung menjadi korbannya. Bentuk kecurangan itu, misalnya, nama perempuan tak dimasukkan dalam daftar pemilih tetap dan pelbagai bentuk kecurangan lainnya. Diskriminasi mengemuka ketika akses perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan informasi tentang pemilu ditutup. Dalam hal kekerasan pula, semisal perempuan diancam harus memilih partai politik dan calon tertentu. Semua praktik tersebut jelas melanggar prinsip demokrasi. Oleh sebab itu, disarankan untuk menggalakkan pendidikan politik bagi perempuan.
Cendekiawan terakhir yang menceburkan diri ke gelanggang politik di buku ini adalah Marsudi. Beliau memberikan sumbangan tulisan “Transformasi Birokrasi sebagai Kekuatan Politik Indonesia”.
Dari tulisan ini pembaca dapat mengetahui bahwa birokrasi sarat dengan kepentingan politik. Pejabat birokrasi cenderung menjalankan pelbagai strategi dan inovasi untuk mempertahankan posisi politiknya. Umumnya, pejabat birokrasi “bermain” dengan politisi yang didukungnya untuk mempertahankan jabatannya. Dukungannya itu dalam bentuk materi dan atau sokongan politik. Menurut Marsudi, kenyataan itu telah terjadi sejak Orde Lama, berlanjut ke Orde Baru, dan kekal sampai Orde Reformasi. Strategi dan praktiknya memang cenderung agak berbeda sesuai dengan iklim politik semasa.
Pesan moral yang disampaikan oleh penulis ini adalah agar kita menjadi bangsa yang sesungguhnya merdeka dan berbahagia, jangan dilenyapkan nilai-nilai kebenaran dalam politik sehingga biaya politik dapat ditekan menjadi serendah mungkin. Untuk itu, rakyat harus diberikan pencerahan politik sehingga mereka tak golput dan gosong asap. Dalam hal ini, hak-hak politik perempuan juga harus diberikan dan para birokrat seyogianya tak bermain politik praktis. Masalahnya, mematahkan tradisi, walau negatif, tentulah tak semudah mematah lidi atau gigi.
Baru memperhatikan aspek politik di buku ini saja pembahasannya sudah sangat menarik. Kenyataan itu sesuai benar dengan yang diungkapkan oleh cendekiawan Ridarman Bay, Sekretaris ICMI Kota Tanjungpinang sekaligus ketua tim penyunting, dalam tulisan beliau di buku ini. “Adalah kewajiban cendekiawan untuk menulis.” Nampaknya, ICMI Kota Tanjungpinang seperti hendak melanjutkan perjuangan Rusydiah Kelab Kesultanan Riau-Lingga yang telah berdiri pada 1885.
Jika pilihan itu yang diambil, objektivitas dan konsistensi terhadap perjuangan merupakan syarat mutlaknya. Di situlah bersebati kualitasnya. Sebagai konsekuensinya, apa pun cabaran mesti dihadapi secara kesatria.***