Getah di pelantar nibung dan bambu belum lagi kering. Sebasah harapan warga Tinjul ingin melihat situs perigi ratusan tahun ini tidak sekadar dipugar, tapi juga dikelola sehingga memberi nilai lebih di hari nanti.
Teks & Foto Fatih Muftih
SEPERKIRAAN saya, panjang pelantar ini seukuran lapangan bola. Bedanya, kalau di atas rumput hijau bisa lari sesuka hati sekuat kaki. Sementara di sini untuk melangkahkan kaki malah harus berhati-hati. Pijakan yang meleset bisa selip dan, selain jadi bahan tertawaan, pasti nyerinya tidak sedap di kaki.
Saya meniti pelantar ini dengan kepala tertunduk. Sedepa depan saya, ada pemuda yang bukan anggota rombongan kami. Melihat saya jalan seperti bayi dua tahun, ia menegur, “Aman, Bang?”
Tidak mungkin, dong, saya jawab: “Merinding, Bang.” Gengsi. Maka, saya cuma mengacungkan jempol padanya.
Pemuda ini mengenalkan diri dengan nama Amren. “Kalau di Facebook, Abang cari saja Amren Zaini Tinjol,” ucapnya.
Dari pilihan namanya di media sosial, mudah diduga Amren tipikal orang yang amat bangga pada kampung halamannya. Benar adanya. Nanti sebelum berpisah, saya baru tahu ia adalah tokoh pemuda sekaligus Ketua Karang Taruna Tinjul.
Perkenalan ini membuat langkah kami seiring. Amren bercerita, pancang nibung dan pelantar bambu ini baru siap beberapa hari lalu. Ia menggalang swadaya masyarakat dan pemuda tempatan untuk membangun pelantar sepanjang 120 meter ini—untuk memudahkan kami bisa tiba ke situs perigi. Andaikan, tidak ada pelantar ini, bisa dipastikan kami akan berjalan ngarung untuk bisa sampai ke daratan.
“Makanya, masih basah nibung dan bambunya, Bang,” sebut Amren.
“Fatih saja,” segan pula rasa hati dipanggil ‘Bang’. Saya perkirakan umur Amren di atas saya, tapi urusan paras lebih boros saya.
Amren bercerita bahwa ia dan warga Tinjul lainnya begitu antusias dengan kunjungan ke Sungai Duyung ini. Entah sudah berapa lama, katanya sembari mengingat-ingat, terakhir kali ada rombongan yang mau berkunjung ke situs ini. Antusiasme yang tidak sekadar di kata, tapi juga berwujud nyata lewat pembangunan pelantar yang sedang saya pijak ini. Saya membayangkan seperti apa kotornya celana dan baju mereka saat berkubang di lumpur agar dapat memancang batang nibung ini; berapa gelas kopi habis, berapa bungkus rokok tumpas, seberapa basah keringat di badan, seberapa banyak harapan di depan.
“Karena kalau tak ada pelantar ini, Bang, eh, Tih,” kata Amren, “Payah nak sampai ke tepi. Mesti ngarunglah.”
Akses. Itu kata yang tak terucap oleh Amren, namun akan sangat mudah ditangkap pemerintah daerah. Jika memang pemangku kebijakan menganggap situs ini bagian penting dari program jargon Bunda Tanah Melayu yang digaungkan Pemkab Lingga, tidak ada alasan untuk tidak mengalokasikan seketul anggaran pembangunan pelantar yang lebih layak di sini.
Obrolan singkat ini mempercepat langkah. Tidak terasa, titian mengerikan buat badan tambun saya ini sampai di pangkal. Di tepi daratan sudah terlihat banyak orang yang tiba dengan pompong lebih dahulu. Juga sejumlah masyarakat desa Tinjul yang tidak ingin melewatkan kesempatan langka ini sehingga hadir ikut menemani.
“Besaaa badan die,” bisik seorang ibu kepada kawan-kawannya.
Hmmm … pasti si ibu itu membicarakan saya yang berdiri di tepi dengan napas satu-satu.
Saya mengedarkan pandang. Pohon-pohon menjulang tinggi. Pada sebatang yang besar, terpacak tiga keping papan kuning. Di papan paling atas tertuliskan Sumur Hang Tuah yang dilengkapi aksara Arab Melayu. Dua di bawahnya: Tak Melayu hilang di Bumi dan Patah Tumbuh Hilang Berganti. Itu bukan ungkapan asing. Itu adalah ungkapan yang disampaikan Hang Tuah sebagaimana yang termaktub dalam hikayat.
Sumur itu. Perigi itu. Tepat di bawah pohon ini. Dikelilingi pagar besi dengan satu pintu masuk. Dinding-dindingnya berbahan batu dan membentuk tanda hati. Airnya berwarna hijau toska. Barangkali, hujan mengeruhkan kejernihannya.
“Ayo cuci muka dengan air ini. Nanti wajah kalian terlihat lebih muda,” begitu seruan Dato Rida kepada rombongan yang datang belakangan.
Itu mitos yang ada di perigi ini. Seperti mitos air perigi yang ada di pulau Penyengat. Saya tidak mengharuskan Anda untuk percaya, tetapi apa salahnya mencoba. Saya meraih ember dan membasuh wajah dengan kedua tangan.
Ketika air mulai membasahi muka, saya terkesiap. Bukan, bukan, bukan karena saya merasa kulit saya semakin kencang dan berbinar-binar dan tampak 10 tahun lebih muda, melainkan sensasi segar dari air perigi ini. Dingin yang tidak menusuk kulit seperti air es. Kesegaran air perigi ini mengingatkan saya seperti air yang sudah disimpan berhari-hari dalam kendi. Kesegaran ini pula yang seketika memancing hasrat saya untuk meneguknya. Kalau boleh jujur, rasa air perigi ini malah lebih segar daripada air mineral dalam kemasan yang disediakan panitia.
Jika airnya saja dibasuh ke muka membuat terlihat lebih muda, apalagi kalau diminum. Ginjal pasti jingkrak-jingkrak kegirangan. Saya senyum-senyum sendiri.
***
Hari ini, kawasan Sungai Duyung tidak berpenduduk. Nenek Lamah adalah warga tertua sekaligus generasi terakhir yang pernah bermukim di sini. Sekarang, usianya menginjak kepala delapan. Seingatan Nek Lamah, saat usianya lima tahun keluarganya pindah dari sini. “Dulu dekat sini, saya tinggal sama Tok juga,” cerita Nek Lamah dengan aksen Melayu yang sangat kental.
Cerita Nek Lamah menjadi sebuah petunjuk penting. Dato Rida K Liamsi yang menarik simpulan itu. “Kalau Nenek Lamah ini saja usianya sudah 80 tahun, dan dulu ia di sini tinggal dengan kakeknya yang—katakanlah—berusia 50 tahun, artinya dahulu kawasan ini sudah ditinggali jauh sebelum tahun 1880 atau generasi di atas Tok-nya Nek Lamah ini,” taksir Dato Rida.
Penuturan ini semakin memperkuat bukti bahwa dahulu kawasan ini pernah menjadi permukiman orang-orang Melayu, dan rasanya jikalau berasumsi Hang Tuah dilahirkan di sini jadi terasa masuk akal.
Masih dari cerita Dato Rida, saya baru tahu bahwa nama lain kawasan ini adalah Sekanak. Nama sebuah kampung yang sama dengan yang ada di Palembang. Diyakini bahwa orang yang membuka kampung ini adalah orang Melayu yang datang seiring hijrah Sang Sapurba dari Sriwijaya. Sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang dahulu untuk menamai daerah barunya dengan nama kampung yang ditinggalkan. “Melayu Tua yang di serantau Riau ini ya yang ada di Sekanak,” ujar Dato Rida.
Jadi relevan bila penduduk sini memakai bahasa Melayu yang lumayan berbeda dengan bahasa yang lazim dipakai orang-orang di Dabo Singkep, Daik Lingga, juga Tanjungpinang. Untuk menyebut “Nak ke mane?”, orang-orang di sini mengucapkan: “Mo nak kanak?”
“Kita begembe dululah,” seorang bapak-bapak menjawil lengan saya.
Saya celingukan. Baru setelah dijelaskan, saya paham apa itu begembe. “Berfotolah, Bang,” jelasnya. Ia tertawa lantas kami mengambil posisi di depan kamera.
Bapak yang mengajak saya begembe ini namanya Zaini. Benar sekali. Ia adalah bapak dari Amren dan adik ipar dari Nek Lamah. Dalam sehari-hari, Zaini bercerita, sesama mereka dalam berkomunikasi masih menggunakan bahasa Melayu Sekanak. “Kalau bercakap dengan orang luar, kami pakai bahasa Melayu yang lebih umum,” ujarnya.
Saya menilai bahasa Melayu Sekanak ini bisa jadi bahan penelitian tersendiri bagi mereka yang menekuni kebahasaan. Bahasa ini unik dan tidak dipakai di daerah lain dan masih aktif dituturkan. Jika itu dilakukan, tentu akan menambah khazanah keragaman dialek bahasa Melayu yang ada di Kepulauan Riau.
Tapi, Dato Rida menyebutkan satu fakta yang baru saya dengar bahwa bahasa Melayu Sekanak sudah pernah dikaji. Adalah Harimurti Kridalaksana, seorang ahli bahasa satu-satunya yang pernah melakukan penelitian dan pencatatan di sini. “Saat itu, Pak Harimurti hendak membandingkan kesamaan bahasa Melayu Sekanak di sini dengan yang ada di Palembang. Hasilnya memang ditemui kemiripan,” bebernya.
Setelah puas begembe dengan orang-orang Sekanak dan perigi Hang Tuah, rombongan lekas naik ke pompong. Hujan sudah reda. Pelantar nibung tidak selicin sebelumnya. Perjalanan membelah sungai pun tidak semenggentarkan ketika berangkat tadi.
Sepanjang perjalanan di atas pompong, kepala saya penuh dengan andai-andai. Andaikan ada perhatian khusus yang diberikan pada situs perigi Hang Tuah, tentu bisa memberi nilai lebih bagi masyarakat desa Tinjul. Jika dirawat dan dicatat dan disiarkan dengan baik bahwa kawasan ini ikut memainkan peran penting dalam tapak sejarah sang laksamana, tentu akan berduyun-duyun orang datang ke sini, sebagaimana di Melaka yang juga punya klaim sebagai Kampung Hang Tuah.
Andai para peneliti arkeologi, bahasa, dan sejarah dipermudah masuk ke sini, tentu akan banyak pengetahuan baru yang tersingkap. Dengan begitu, kawasan ini bisa menjadi wahana komunikasi Lingga kepada dunia—dunia Melayu khususnya. Sebab, siapa tak kenal Hang Tuah. Siapa tidak mengagumi sang laksamana.
Saya teringat omongan Dato Rida saat malam ramah bersama jajaran pemerintah Lingga, dua malam lalu. Kata beliau, ada tiga perkara dari Lingga ini yang bisa menjadikan Lingga sebagai warga dunia. Pertama, Gunung Daik yang menjadi mercusuar pelayaran purba. Kedua, sagu Lingga yang punya kualitas juara. “Dan yang ketiga adalah Hang Tuah ini, yang menjadi hero bagi orang Melayu sedunia.”
Sederet anugerah alam yang tidak dipunya daerah lain di Kepulauan Riau. Akan terlalu sayang jika potensi yang sudah diungkap ke publik ini—ke depan hidung para pemangku kebijakan—hanya bersambut ‘oh …” semata tanpa dibarengi tindakan nyata.
Saya menyalakan sebatang rokok dan mengembuskan asapnya kencang-kencang untuk mengusir andai-andai dalam kepala. “Bang,” terdengar suara dari belakang. Si tekong yang memanggil. “Boleh bagi rokok sebatang?”
Saya lekas mengulurkan lengkap dengan koreknya. Cuma itu yang bisa saya lakukan untuk membuat bahagia seorang warga Tinjul. Selebihnya, entah kepada siapa mereka mesti berharap ada yang peduli dengan potensi besar di sana. Patah tumbuh, hilang berganti. Takkan Melayu hilang di bumi (kalau ada yang peduli).***