Tahun 1977 gong itu berbunyi. Membangunkan Makyong dari tidur panjangnya yang sunyi…
Tak ada literatur yang mencatat tarikh secara pasti kedatangan kesenian Makyong di Kepulauan Riau. Konon, kesenian teater ini bermula dari Pattani, Thailand. “Tapi itu tak sepenuhnya benar. Karena juga ada yang mengatakan juga dari selatan Malaysia dan Pulau Tujuh Kepri,” kata sejarawan Kepri, Aswandi Syahri.
Hanya saja, Aswandi memperkirakan Makyong sudah ada sejak abad ke-17. Perkiraan ini dilandaskan berdasar konten cerita yang mengetengahkan unsur animisme dan dewa-dewa penguasa. “Pada abad itu, Islam belum begitu menyebar di sebagian kawasan Asia Tenggara,” katanya. Selain itu juga didasarkan pada penggunaan bahasa Melayu arkhais yang di abad ke-19 dan 20 sudah jarang lagi diucapkan.
Dalam sebuah lakon utuh Makyong, tokoh-tokoh semacam dewa memang terlihat dominan. Ada kalanya, dewa-dewa ini menjadi sandaran atas keterbatasan manusia-manusia menjalani kehidupan. Musuh-musuh para protagonis juga cenderung merupakan jembalang alias lelembut di hutan-hutan. Baik itu berupa wujud fisik yang berhadapan langsung atau dalam bentuk penyakit yang menyerang keluarga kerajaan.
Bentuk kisah sedemikian ini kian menguatkan perkiraan Aswandi, bahwasanya kesenian Makyong sudah eksis di semenanjung Melayu sejak zaman pra-Islam.
Kendati masih kental akan unsur-unsur magis nan mistis, kesenian Makyong rupa-rupanya dalam catatan sejarah yang Aswandi pegang, disebutkan sebagai jenis kesenian elit di lingkungan kerajaan Riau-Lingga. “Saya punya repro foto pelaku kesenian Makyong berpose di depan istana di Penyengat sekitar tahun 1890-an. Tapi tak jelas, apakah foto itu diambil sebelum atau sesudah pementasan,” kata sejarawan alumnus Universitas Andalas Sumatera Barat ini.
Merujuk repro foto yang Aswandi punya, boleh dikatakan, tak sembarang orang hari itu bisa mementaskan Makyong di pesta pernikahan anaknya. Hal ini, kata Aswandi, mengingat untuk menampilkan Makyong diperlukan uang yang tak sedikit. Satu kelompok kesenian Makyong dalam sekali pentasnya, perlu mengangkut setidak-tidaknya seluruh pemeran dan pemain musik termasuk seabreg alat musik yang mesti dibawa. Apalagi di tahun segitu, karena lakon yang begitu panjang, kesenian Makyong bisa dilangsungkan selama tujuh malam berturut-turut.
“Tak heran, bila kemudian Sultan Abdulrahman memberikan hibah kepada kelompok Makyong asal Mantang, Pulau Bintan sebuah perahu yang secara khusus digunakan untuk mengangkut seluruh pemain Makyong dan kelengkapannya untuk pementasan. Perahu itu bernama Pisang Emas,” tutur Aswandi.
Cerita ini, diperolehnya dari sebuah sesi wawancara dengan Khalid (alm), generasi ketiga atau keempat dari pegiat kesenian Makyong asal Mantang. “Tapi, benar atau tidaknya, belum ada catatan sejarah yang menyebutkan tentang perahu Pisang Emas itu,” sergah Aswandi.
Boleh dikata, akhir abad ke-19 kesenian Makyong mencapai masa kejayaan. Aswandi menuturkan, di masa-masa itu pula kesenian Makyong sempat pula menggelar pertunjukan dari satu pulau ke pulau lainnya. “Kalau orang sekarang menyebutnya seperti tour ke pulau-pulau,” kata Aswandi.
Namun kejayaan itu bukan berarti tak lekang oleh waktu. Seiring dengan pembubaran Kesultanan Riau-Lingga di awal abad ke-20, kesenian Makyong mulai kembang-kepis mempertahankan eksistensinya. Tapi, bukan berarti benar-benar habis.
Pulau Mantang sebagai kantung pusat kesenian Makyong tetap mempertahankan kesenian tradisional ini dalam diam dan tanpa pementasan rutin, sebagaimana yang pernah ada sebelumnya. Medio 1920-an, tak kurang ada 20 sanggar kesenian Makyong yang masih bertahan melakukan pembinaan, sembari menanti panggilan pementasan yang mulai berangsur jarang. Lambat-laun, Makyong mulai asing terdengar.
“Tapi ada momentum yang menjadi titik-balik dari tidur panjang kesenian Makyong,” tutur Aswandi.
Momentum itu berada di tangan Said Husin Alatas (alm), seorang seniman yang juga pegawai di Dinas Kehutanan. Di tangan orang Penyengat ini, Makyong seolah mendapat sentuhan Midas. Latihan demi latihan dan pementasan kecil-kecilan mulai dilaksanakan.
Tahun 1977 menjadi puncak dari sentuhan midas Said Husin Alatas. Kesenian Makyong mendapatkan kesempatan untuk kembali dipentaskan dalam panggung besar. Laksana kembali ke khittah lamanya sebagai jenis kesenian di lingkungan kerajaan, pada tahun itu kesenian Makyong dari Pulau Mantang beroleh kesempatan tampil di Festival Teater Tradisional di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
Lebih spesialnya lagi, untuk kali pertama dalam sejarah, kesenian Makyong ditampilkan langsung di hadapan orang nomor satu di republik ini, Presiden Soeharto. “Kata orang-orang Pak Harto sampai terkagum-kagum menyaksikan Makyong,” tutur Aswandi. Kekaguman yang bukan sekadar di bibir. Karena kemudian, seluruh pemain Makyong yang saat itu berusia sekitar 80 tahun pulang ke Mantang membawa lencana emas yang diberikan presiden.
Momentum tampil di hadapan presiden seolah membuat Makyong terlahir kembali. Ada segenap kepercayaan diri yang membuncah bahwa kesenian teater ini begitu diminati. Selanjutnya, masih kata Aswandi, Makyong kembali beroleh panggung di Jakarta dengan tampil pada gawai pertunjukan khusus di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Optimisme akan kesenian Makyong ini pula yang kemudian dirasa oleh pelakunya saat itu sangat memerlukan pembinaan melalui regenerasi. “Seluruh siswa SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Tanjungpinang saat itu mendapat pelajaran khusus untuk bermain Makyong. Salah seorang yang paling menonjol dari pelatihan itu adalah Said Parman,” kata Aswandi.***