AGAMA sungguh tak semata-mata bermatlamatkan akhirat yang abadi nun jauh di sana. Agama juga tak sekadar berurusan dengan persoalan dunia yang serbafana.
Agama pun, Islam khasnya, bahkan, menuntun umatnya untuk memanfaatkan kehidupan dunia untuk sebesar-besarnya keselamatan dan kesejahteraan kehidupan akhirat yang tiada bertolok banding dengan kehidupan dunia.
Oleh sebab itu, agama mengajarkan umatnya agar tak tertipu oleh kesemuan dan keseronokan dunia sehingga mencelakakan kehidupan akhiratnya. Pendek kata, agama berperan utama bagi manusia yang meyakini bahwa kehidupan tak semata-mata bernama dunia.
Bertolak dari pemikiran itulah, Raja Ali Haji rahimahullah, dalam karya beliau Gurindam Dua Belas, menempatkan perkara keyakinan agama pada Pasal yang Pertama, bait 1, karena sangat mustahaknya bagi manusia.
Tak hanya itu, bahkan, ditegaskan bahwa tanpa keyakinan agama, manusia—sesiapa pun dia—telah menyia-nyiakan nikmat kehidupan dunia yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya.
Barang siapa tiada memegang agama Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama
Tanpa agama manusia tak diperhitungkan. Pernyataan itu bukan berasal dari manusia, melainkan memang teserlah di dalam firman Tuhan. Jika ada manusia yang menyangkalnya, tentulah dia tergolong orang yang tak memercayai Tuhan.
Dengan demikian, tak ada suatu ajaran agama pun yang digunakan sebagai pedoman. Alhasil, pemikiran manusialah yang diandalkan.Baginya sesiapa pun yang menggunakan pedoman Tuhan dalam kehidupan dunia akan dilawan, apatah lagi yang bertentangan dengan pemikiran manusia yang menjadi pujaan, bahkan mungkin sesembahan.
Dia tak menyembah Tuhan karena tak meyakini agama, tetapi anehnya menyembah manusia yang menjadi pujaan. Hanya mungkin dia malu menyebut tuannya itu tuhan.
Golongan manusia seperti itu, yang memang ada dan tergolong cukup banyak di dunia ini, berdasarkan bait Gurindam Dua Belas di atas, sia-sia sajalah hidupnya.
Apatah lagi, kalau dikaitkan dengan tempat akhiratnya menurut keyakinan manusia yang beragama.
Bagi umat Islam pula, dalam perhubungannya dengan Allah, mereka dituntut untuk meyakini ini. Agama Islam merupakan anugerah Allah yang paling sempurna bagi manusia.
Keyakinan itu harus menjadi bagian dari karakter diri, yang mesti bersebati dalam pikiran, gagasan, perasaan, sifat, sikap, dan perilaku sehingga menjadi nikmat yang seyogianya paling disyukuri dalam kehidupan. Amanat itu dapat ditemukan di dalam Syair Sinar Gemala Mestika Alam (Haji dalam Malik & Junus, 2000, 131), bait 87
Agama Islam kekal berdiri Ilal akhir yaumid dahari Mansuh sekalian agama yang bahari Yahudi [ … ] demikian peri
Sebagai konsekuensi dari karakter mulia dalam perhubungan dengan Allah itu, pedoman utama yang menjadi rujukan dalam kehidupan dunia ini demi keselarasannya dengan kesejahteraan kehidupan akhirat adalah ajaran agama. Jika ada ketentuan dan atau peraturan lain yang bertentangan dengan ajaran agama, tak boleh diikuti. Pasalnya, ketentuan atau dan perbuatan, apa pun itu, yang berseberangan dengan ajaran agama, jika ada, jelaslah melawan ketentuan dan ketetapan Allah. Kalau diikuti juga dengan pelbagai alasan, kecuali karena sangat terpaksa, maka sirnalah nikmat Allah dari kehidupannya.
Rujukan apakah yang dapat digunakan untuk membenarkan pemikiran itu? Jawabnya, tentulah pedoman Allah, yang segenap jiwa dan raga manusia di dalam genggaman-Nya, sama ada di dunia ataupun di akhirat. Kenyataan itu memang sulit dipahami oleh mereka yang tak berkeyakinan agama. Padahal, dengan kecerdasan yang dianugerahkan Allah kepadanya, kalau bersedia membuka hatinya, sebetulnya dia dapat menerimanya.
“ … Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …,” (Q.S. Al-Maaidah, 3).
Tiada keraguan sama sekali. Allah sendiri telah menjamin bahwa Dia telah menyempurnakan agama yang dianugerahkan kepada umat Islam. Bahkan, Dia telah meridhakannya bagi umat-Nya. Dengan jaminan kesempurnaan itu, tiada sesuatu apa pun keperluan manusia untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat yang tak terhimpun di dalam agama itu. Bahkan, Allah sendiri yang mengukuhkan bahwa Islam merupakan nikmat utama yang dianugerahkan kepada umat-Nya.
Bersabit dengan jaminan Allah itu, menjadi sangat masuk akal pesan yang terdapat di dalam syair nasihat yang termuat di dalam Tsamarat al-Muhimmah (Haji dalam Malik (Ed.), 2013), bait 53. Nasihat itu berkenaan dengan sikap yang harus diambil oleh sesiapa saja ketika berhadapan dengan pemikiran, perbuatan, dan atau ketentuan yang bertentangan dengan agama.
Sebab itu bodoh selama Serta jahil akan agama Tidak mengaji kepada ulama Di mana ‘kan dapat pikir utama
Tak sebarang gelar yang diberikan. Bodoh merupakan ungkapan yang sungguh menyedihkan lagi menyakitkan. Pasalnya, manusia sesungguhnya bukanlah dungu, melainkan makhluk tercerdas di antara semua ciptaan Tuhan. Akan tetapi, kenyataan itu harus diterima. Iya tak iya pula, telah disediakan oleh Allah, Sang Maha Pencipta, ketentuan dan peraturan yang mahasempurna, masih ada juga manusia mengadakan pemikiran dan perbuatan, bahkan ditetapkan sebagai ketentuan yang wajib diikuti oleh manusia, yang bertentangan dengan pedoman agama.
Bukankah Allah telah menjamin bahwa ketetapan agama-Nya telah disempurnakan-Nya untuk umat-Nya? Adanya ketentuan penyanding yang bertentangan dengan ketetapan-Nya jelaslah menunjukkan kualitas bebalnya. Bukankah Tuhan juga telah mengingatkan bahwa manusia tak diberikan ilmu, kecuali hanya sedikit? Mungkinkah ketinggaan (kedangkalan) ilmu itu dapat mengatasi kemahatinggian ilmu Allah Yang Mahasempurna? Jadi, kecerdasan manusia seyogianya selaras dengan kerelaan dan keikhlasannya menerima ketentuan Allah. Kualitas itu juga menunjukkan karakternya yang istimewa dan baru sah menyandang gelar makhluk yang paling cerdas lagi paling mulia.
Dari Abu Dzarr r.a. beliau berkata, “Rasulullah SAW telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tak seekor burung pun yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara, melainkan Baginda Rasulullah SAW telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tak ada tertinggal sesuatu apa pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, melainkan telah dijelaskan kesemuanya kepada kalian,” (H.R. At-Thabrani dan Ibnu Hibban).
Penjelasan terakhir yang disampaikan oleh Rasulullah yang dinukilkan di atas lebih memantapkan pikiran, hati, dan keyakinan kita. Agama yang diturunkan kepada Baginda telah lengkap dan sempurnalah segala-galanya. Perihal kesejahteraan dan kebahagiaan dunia telah disediakan semua pedomannya. Tinggal dipelajari, dipahami, diyakini, dan diterapkan secara konsisten dan konsekuen, maka akan diperolehlah hasil dan manfaatnya.
Tak hanya sampai di situ tuntunan dan petunjuk yang disediakan. Berebut dunia tak boleh menyebabkan manusia melupakan akhirat yang pasti menanti kehadiran semua insan, tinggal menanti giliran. Fakta itu jelas kelihatan dalam kehidupan keseharian. Adakah yang pernah menyaksikan peristiwa yang berbeda dari ketetapan Tuhan?
Seyogianya, bekalnya dihimpun di dunia dengan secara taat mengikuti petunjuk dan pedoman Tuhan. Sekadar mengerahkan kecerdasan yang hanya sekuku untuk berdebat dengan Tuhan, sabit di akalkah ianya kesampaian? Pertanyaan itu tentulah dijawab berbeda oleh mereka yang tak meyakini adanya Tuhan. Bagi mereka, alam akhirat hanyalah sekadar angan-angan. Mereka lupa, ada nikmat angan-suci yang diilhamkan oleh Tuhan.***