Banyak yang alpa mengingat 18 Juni. Inilah titimangsa berpulangnya tokoh besar Melayu tiada banding. Seorang panglima perang ikonik. Pemimpin karismatik. Penegak marwah. Berjuluk Raja Api. Pahlawan Nasional. Dia adalah Yang Dipertuan Muda IV Riau, Raja Haji Fisabilillah.
Inilah senarai singkat tentang riwayat panjang pahlawan l’homme d’action itu. Budayawan cum sejarawan Melayu, Almarhum Hasan Junus kesulitan mencari pembanding Raja Haji Fisabilillah. Beliau membuka buku Hannibal dari Riau (2000) dengan sebuah tanda tanya besar. “Dengan siapakah seorang seperti Raja Haji Fisabilillah hendak disanding dan dibanding?”
Pertanyaan yang kemudian disepadankan dengan pernyataan lagi pengakuan Jonkheer Ruych, perwira Kapal Utrecht Belanda, bahwasanya Raja Haji Fisabilillah adalah een andere Hannibal atau Hannibal yang lain.
Hannibal adalah pemimpin Kartago di Afrika Utara yang hidup 247-183 sebelum masehi. Namanya masyhur berkat perilaku perangnya yang tidak mengenal takut. Menyeberangi Laut Tengah untuk menyerang pusat kekuasaan Romawi di Roma; memimpin satu pasukan berkekuatan 59 ribu orang dan 37 ekor gajah melintas pegunungan Alpen dan memporak-porandakan benteng Romawi dalam tiga pertemuan besar.
Sejak umur 20, Raja Haji yang lahir di pusat kerajaan Riau yang ketika itu bertempat di Kota Lama, Pulau Bintan sudah digadang-gadang bakal meneruskan kegemilangan Daeng Celak, bapaknya yang menjabat sebagai Yang Dipertuan Muda (YDM) II. Hanya saja kebijakan kerajaan bicara lain. Laki-laki yang baru menapak kepala dua belum matang pengalaman dan pembelajaran hidupnya untuk mengemban amanah setinggi itu.
Tapi keyakinan pada sosok Raja Haji tidak pernah berubah. Disematkannya dulu amanah sebagai Kelana kerajaan. Tugasnya melakukan pelayaran inspeksi untuk menjaga keutuhan wilayah kerajaan. Amanah yang kemudian mengantarkan pula pengalaman-pengalaman hidupnya mengunjungi negeri-negeri tetangga, dari pantai Pulau Sumatra, Tanah Semenanjung, dan Pulau Kalimantan.
Sebuah hibah perahu jenis selup yang diterimanya dari Yang Dipertuan Asahan disulapnya menjadi penjajab atau perahu komando perang. Selup adalah kapal kecil dengan penutup atau atap dengan dua tiang. Dari kisah ini, dapat ditilik sekiranya kepiawaian dan pengetahuan Raja Haji mengenai peperangan sudah diasahnya sedari muda.
Selup yang disulap itu diberi nama Bulang Linggi. Sejak tahun 1753 menjadi kendaraan utama untuk melayari seantero negeri. Juga jadi kendaraan dinasnya berlayar pulang balik dari Riau ke Linggi yang letaknya kira-kira 20 kilometer di sebelah utara Melaka, yang kala itu menjadi tempat tinggal Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja.
Kepiawaian raja muda Riau pertama yang berdarah campuran Melayu-Bugis dalam berperang semakin menjadi setelah mengikuti Perang Linggi. Hasan Junus menyebut perang ini sebagai latihan bagi calon syahid. Dalam Tuhfat al-Nafis gubahan Raja Ahmad dan Raja Ali Haji (anak-cucu Raja Haji), dilukiskan dengan detil perang yang menorehkan luka pada paha Raja Haji akibat sangkur senapan yang tak dapat dielaknya. Sebuah luka yang kelak 28 tahun kemudian punya arti penting pada sebuah kisah hidup Raja Haji.
Yang Dipertuan Muda III Daeng Kamboja memang tidak menaruh ragu untuk meletakkan Raja Haji menjadi pendampingnya pada Perang Linggi. Ia melihat potensi besar dalam jiwa anak muda yang menjabat sebagai Kelana itu.
Keyakinan itu menjadi nyata. Di usia 52, Raja Haji dilantik sebagai Yang Dipertuan Muda IV setelah wafatnya Daeng Kamboja pada tahun 1777. Pengangkatan yang kemudian diyakini oleh banyak sumber menjadi pemantik puncak kegemilangan dan kejayaan Riau.
Hasan Junus mencatat, di bawah kendali Raja Haji, kerajaan Riau berkembang dengan kemakmuran yang melimpah. Di pusat pemerintahan dan sekitarnya saja terdapat penduduk sebesar 90 ribu jiwa, yang sebagai besar adalah pedagang. Semua itu ditopang pula oleh perkembangan spiritual yang disaksikan dengan dengan banyaknya rumah ibadah dan rumah wakaf serta ramainya para ulama dan mubalig dengan kegiatan keagamaan yang intensif.
Sebuah puncak kejayaan yang nyatanya memberikan ancaman pada kedudukan VOC di Melaka. Gubernur VOC di Melaka Jan Crans bahkan sampai menyebut kerajaan Riau di bawah kendali Raja Haji seperti penyakit barah yang mengisap darah kommpeni VOC. “Akarnya tertahan sejak mengisap masa dulu dalam bentuk penyelundupan yang ramai dan tempat yang amat strategis, berbenteng beting dan terumbu karang yang memagar setiap pulau-pulau kecil, terlindung dari suak, teluk dan tanjung, dengan air laut yang kadang-kadang tenang berlinang, kadang-kadang menderu dengan arus yang gemuruh,” tulis Hasan Junus.
Sejarah kemudian mencatat, fase kejayaan ini menuju pangkal bala atau punca petaka. Adalah kapal Betsy dari Inggris yang mengangkut 1.154 peti candu dari India dengan tujuan Cina yang jadi musabab perang akbar bertajuk Perang Riau di tahun 1783.
Ceritanya begini. Merujuk pernjanjian antara VOC dengan kerajaan Riau, setiap kapal yang tertangkap melintas Selat Melaka dan sekitarnya harus dibagi dua. Namun yang diperbuat Mathurin Barbaron, nahkoda kapal La Sainte Therese asal Perancis, justru melanggar kesepakatan tersebut. Pada tanggal 16 Februari 1782 iringan kapal yang dipimpin Barbaron itu mengangkat jangka dari Melaka dan beberaha hari kemudian sudah berlabuh di Teluk Riau, menawan kapal Betsy dan kemudian semena-mena membawanya ke Melaka pada 15 Maret tanpa sepengetahuan Raja Haji.
Buruk padahnya. Raja Haji menilai tindakan ini sebagai sebuah pencerobohan. Setiap tindakan pencerobohan sama artinya dengan menginjak-injak marwah yang, bagi orang Melayu, merupakan sesuatu yang paling dihormati. “Bangsa ini (Melayu, red) beranggapan hidup di atas dunia ini tanpa marwah lebih baik mati saja,” tulis Hasan Junus.
Sengketa jatah Betsy ini memecahkan Perang Riau. Sebagai laksamana yang pengalaman perangnya terbilang, Raja Haji sudah menyiapkan segala kemungkinan kedatangan kapal-kapal perang Belanda. Benar saja. Pada 8 Juni 1783, armada kapal perang Belanda masuk ke perairan Riau. Ada kapal Dholpijn, Hof ter Linden, Sneiheid, Rusterburg, Filipine dan Phoenix yang mulai merapat.
Kondisi yang tidak ditakuti Raja Haji. Karena sejak jauh-jauh hari ia sudah menyiapkan benteng pertahanan di Teluk Riau dengan sedemikian sempurna. Sarang-sarang meriam melindungi pantai Pulau Penyengat, Tanjungpinang, dan Teluk Keriting. Sementara di Pulau Bayan sudah diperkuat dengan tanah berlapis-lapis dan ada pula yang dibuat dengan batu karang direkat dengan semen.
Pertempuran terjadi setiap hari. Iring-iringan bala bantuan dari Batavia tidak membuat gentar Raja Haji. Sekalipun sudah tiba kapal perang besar milik Belanda bernama lambung Malakka’s Welvaaren. Tapi lagi-lagi kepiawaian perang Raja Haji berbicara lebih banyak. Bukan sekadar tentang mengatur formasi serang armada tempur, Raja Haji juga punya perhitungan titis terhadap cuaca hari itu. Sebuah serangan pamungkas atau coup de grace yang hendak dilancarkan Belanda melalui Malakka’s Welvaaren justru menuai celaka. Ketika berarak, lambungnya kandas pada beting yang jaraknya kira-kira 100 meter dari bukit tempat sebuah sarang meriam menanti. Tidak mungkin lepas karena mesti menunggu air pasang.
Malakka’s Welvaaren hancur dihala meriam. Hanya dua orang Eropa dan tujuh orang pribumi yang bisa diselamatkan. Lebih dari 1.900 personel perang Belanda tunggang-langgang balik ke Melaka.
Het was beschamend! Alangkah memalukan! Begitu kata sejarawan Belanda, H.J. de Graaf dengan dana emosional.
Selesaikah Raja Haji? Tidak! Raja Haji justru bertolak ke Melaka. Menjemput perang. Menuju syahidnya. Pada tanggal 13 Februari 1784 armada perang Riau sudah mendarat di Teluk Ketapang yang terletak lebih-kurang 15 kilometer di sebelah selatan kota Melaka. Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis menuliskan, Raja Haji sudah memperkirakan perang di Teluk Ketapang ini bakal berlangsung lama. Bahkan sudah ada geletar bahwa sang protagonis Perang Riau ini merasa bakal mendapatkan fadhilat jihad fi sabilillah-nya pada pertempuran di Melaka. Firasat purna sukma di Melaka ini juga diungkapkannya kepada Sultan Mahmud yang menyusul hingga ke medan laga.
“Baliklah paduka anakda. Silakan balik ke Muar. Nantikan ayahanda di dalam Muar. Tiada usah masuk. Biarlah ayahanda saja karena barangkali dikehendaki oleh Allah Taala ayahanda sampai di perang ini. Adapun ayahanda suka dan ridha karena dosa ayahanda selama ini ayahanda harap akan diamupuni oleh Allah Taala dengan sebab kematian perang ini,” kata Raja Haji kepada Sultan Mahmud.
Kamis kemarin, 236 tahun sudah Raja Haji mengecap fadhilat jihad fi sabilillah, sebagaimana yang dicita-citakannya. Melalui pendaratan di 18 Juni saat fajar belum menyingsing Raja Haji bersama 734 personel mengamuk. Pertempuran penghabisan berbalau dengan amuk yang terkenal itu berlangsung sengit dan dahsyat. Yang dilukiskan R.O. Winstedt seperti sebuah tableau yang gegap-gempita besar dan bagaikan dibuat dengan sapuan cat pelukis Eugene Delacroix.
Seorang panglima perang yang sedang sakit itu menaiki kudanya dan menyerbu ke tengah kancang pertempuran itu. Lalu tersungkur bersama kudanya dilanggar peluru sebaris penembak musuh. Raja Haji, sang pemimpin perang, yang berdiri dekat sebuah sarang meriam, sebelah tangannya memegang keris dan sebelah lagi memegang kitab Dalil Khairat. Tubuhnya dilanggar peluru tepat pada dadanya. Rebahlah ia bersama lebih-kurang 500 pasukannya. Purna perjuangannya. Sempurna riwayat hidupnya. Tarikh 18 Juni 1784 belum sempurna 60 usianya. Menutup mata selamanya penuh mulia.***