“… Adapun sekarang ini, yakni waktu masa aku mengarang kitab [Pengetahun Bahasa] ini, maka tiada lah aku lihat lagi pakaian orang Melayu seperti pakaian adat istiadat lama. Bercampur baur dengan kaidah pakaian orang Inggris, dan Holanda [Belanda], dan Cina…”
Baris-baris kalimat pumbuka ruang Kutubkhanah minggu ini adalah bagian dari penjelasan panjang Raja Ali Haji tentang lema, kata, atau frasa baju dalam kamusnya yang sangat terkenal, Kitab Pengetahuan Bahasa. Kitab kamus dengan sub-judul Kamus Logat Melayu Johor, Pahang, Riau dan Lingga tersebut diterbitkan oleh Mathba’ah al-Ahmadiah Singapura secara berpenggal-penggal antara tahun 1926 hingga 1929.
Manuskrip kamus itu mulai dikerjakan Raja Ali Haji di Pulau Penyengat pada tahun 1858. Namun, intensitas pengerjaannya semakin bergairah ketika Raja Ali Haji sedang sibuk-sibuknya mengumpulkan segala bahasa (kosakata) dalam bahasa Melayu, dan menuliskan makna-maknanya sempena membantu Hermaan von de Wall yang sedang menyusun kamus Bahasa Melayu-Bahasa Belanda di Tanjungpinang antara akhir tahun 1867 hingga awal-awal tahun 1870.
Seperti telah ditunjukkan oleh Raja Ali Haji dalam surat-suratnya kepada Von de Wall (Jan van der Putten: 2007), pada satu sisi, ‘persahabatan intelektualnya’ dengan tallvorser (pegawai bahasa) Belanda berdarah Jerman itu adalah salah satu ‘pemicu’ bagi model penjelasan setiap lema atau ‘kata kepala’ dalam Kitab Pengetahuan Bahasa yang dihasilkannya.
Menurut Raja Ali Haji, model penjelasan secara mufrad (penjelasan yang singkat dan sederhana, yang lazim digunakan Von de Wall dalam kamusnya) tidak sesuai untuk untuk orang Melayu, dan kamus Bahasa Melayu yang ditujukan untuk orang Melayu yang sedang disusunnya. Dalam sepucuk surat kepada Von de Wall bertarikh 12 Maret 1872, Raja Ali Haji menjelaskan bagaimana konsep kamus bahasa Melayu yang sedang disusunnya:
“Bermula adapun kamus yang hendak diperbuat itu, yaitu bukannya seperti kamus yang seperti paduka sahabat kita itu. Hanyalah yang kita hendak perbuat, bahasa Melayu yang tertentu, bahasa pada pihak Johor dan Riau Lingga jua. Akan tetapi dibanyakan bertambah di dalam qissah2, cerita2, yang meumpamakan dengan kalimah yang mufrad, supaya menyukakan hati orang muda2 mutalaahnya, serta syair2 Melayu yang sedikit2”
Konsep Raja Ali Haji tentang kamus bahasa Melayu, yang bertolak belakang dengan kamus Bahasa Melayu-Belanda garapan Von de Wall yang sedang ia bantu pengerjaannya dalam waktu yang bersamaan, sesungguhnya dapat dilihat sebagai bentuk ‘perlawanan intelektual’ dalam arti yang sesungguhnya dan sekaligus perlawanan terhadap politik bahasa pemerintah kolonial Belanda dalam bentuk yang lain.
Raja Ali Haji tak bergeming ketika sadar bahwa model penjelasan muffasar (model penjelasan yang panjang lebar dengan memanfaatkan berbagai media seperti: syair dan cerita) yang ditawarkankannya untuk kamus yang disusun oleh Von de Wall tak mendapat tanggapan. Dalam sepucuk surat bertarikh 1 September 1870, Raja Ali Haji dengan tegas mengatakan, “…Adapaun makna mufassar [akan dimuat] pada kamus yang dicadangkan khas pada orang-orang Melayu jua adanya”: dan ternyata hal ini lah yang kemudian memungkinkan kamusnya tampil sebagai kamus ensiklopedis eka-bahasa pertama dalam sejarah leksikografi Melayu.
Kendati demikian, di sisi lain, persahabatan dan hubungan intelektual antara Raja Ali Haji dan Von de Wall sesungguhnya bagaikan ‘seligi tajam bertimbal’ di mata Resident Riouw, Eliza Netscher, ketika itu. Dengan kata lain, persahabatan erat yang-menurut istilah Raja Ali Haji- berkekalan antara keduanya bukanlah refleksi hubungan Raja Ali Haji dengan pemerintah kolonial Belanda di Kerajaan Riau Lingga. Sikap Resident Riouw ini erat kaitannya pengaruh Raja Ali Haji yang sangat besar terhadap Yamtuan Muda Raja Muhammad Yusuf, yang dianggap sebagai ancaman yang berbahaya di mata Resident Eliza Netscher. Dalam Politiek Verslag (Laporan Politik) tahun 1869, Resident Netscher juga meyakinkan atasannya di Batavia, bahwa Raja Ali Haji “terlalu alim dan membenci orang Eropa”.
Betapa pun derasnya arus politik kolonial dalam hubungan persahabatan dan hubungan intelektual antara Raja Ali Haji dan Von de Wall, ianya tak menjejaskan identitas Raja Ali Haji Haji sebagai orang Melayu di negeri yang sedang dijajah. Ia sadar akan rempuhan pengaruh kolonial Belanda, serta pengaruh Inggris dan budaya lainnya yang sedang mengalir deras ke dalam kehidupan masyarakatnya ketika itu.
Sikap Raja Ali Haji terhadap pengaruh kolonial dan anasir-anasir luar dalam kehidupan orang Melayu tergambar jelas dalam Kitab Pengetahuan Behasa, terutama ketika ia menjelaskan lema atau frasa baju secara mufassar (secara panjang lebar). Penjelasan mufassar itu, sekali lagi, seperti ‘seligi tajam bertimbal’: sebuah autokritik dan sekaligus perlawanan terhadap dampak rempuhan kolonialisme yang telah menjejaskan cara orang Melayu berbusana, dan berdampak terhadap sikap dan gaya hidup.
Setelah menjelaskan makna baju dalam konteks makna kamusnya, Raja Ali Haji menjelaskan bagaimana bentuk baju atau busana seorang laki-laki Melayu sebagaimana adat lazimnya. Namun, busana orang Melayu itu telah berubah secara dahsyat ketika ia menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa. Saya yakin Raja Ali Haji sadar bahwa arus perubahan itu tak dapat dibendung, namun, ia punya sikap: “Syahdan, pada penglihatan mataku sangat lah tampan orang-orang Melayu memakai cara Melayu yang dahulu-dahulu, tiada bengis rupanya…”.
Menurut Raja Ali Haji, perubahan-perubahan dalam busana laki-laki Melayu ketika itu tidak hanya telah merubah gaya hidup dan sikap, tapi juga dapat merusakkan adat-istiadat dan menjejaskan jati diri orang Melayu. “…Maka, segala yang tersebut itu, semata-mata merusakkan adat-istiadat bangsa dirinya. Maka pikiranku, pekerjaan demikian kurang manisnya. Jadi tiada lah berbeda lagi bangsa Melayu dengan bangsa Inggris, dan Holanda, dan Cina…” Lebih parah lagi, perubahan busana yang dipakai seorang laki-laki Melayu ketika itu telah merusak bahasa yang ia jaga sedemikian rupa. “…Dan tutur kata pun berubah pula. Sungguh pun [ber]bahasa Melayu, dibuatnya kacau-kacau Holanda atau Inggris pula…”
Lebih jauh tentang baju orang Melayu dengan penjelasan mufassar yang kontekstual dalam kamus Raja Ali Haji, saya sertakan secara utuh di bawah ini. Dialihaksarakan dari huruf jawi ke huruf rumi berdasarkan edisi cetak (huruf timah) kamus Kitab Pengetahuan Bahasa yang diterbitkan oleh Mathba’ah al-Ahmadiah Singapura, tahun 1927.
Baju dan Mufassarnya
“Baju. Yaitu masyhur dipakai orang menutup badannya, serta jadi perhiasan. Akan tetapi, banyak macamnya, dan masing-masing kesukaan orangnya, dan masing-masing bangsanya.
Adapun pakaian orang [laki-laki] Melayu daripada dahulu, sehelai seluar [celana] dipakai di dalam, kemudian baharulah memakai kain Bugis kah atau sutera. Labuhnya [tergelantung] hingga lepas lutut, kira-kira sepelempap [selebar telapak tangan]. Kemudian baharu lah memakai ikat pinggang, terkadang diluar kain, terkadang di dalam kain.
Kemudian baharu lah memakai baju, belah dada namanya, atau baju kurung. Kemudian disisipkan keris, sebelah kiri, kepalanya keluar tiada meniarap, dan sapu tangan, bertanjak. Adapun seluarnya terkadang seluar ketat berkancing kakinya.
Syahdan, pada penglihatan mataku sangat lah tampan orang-orang Melayu memakai cara Melayu yang dahulu-dahulu, tiada bengis rupanya. Adapun sekarang ini, yakni waktu masa aku mengarang kitab ini, maka tiada lah aku lihat lagi pakaian orang Melayu seperti pakaian adat istiadat lama. Bercampur baur dengan kaidah pakaian orang Inggris, dan Holanda [Belanda], dan Cina.
Ada yang seluar pentolan namanya. Konon tiada lah memakai tali seluar lagi. Dan ada yang memakai baju bersusun-susun [berlapis-lapis]. Ada yang memakai sarung kaki [kaus kaki]. Ada yang berkasut [beralas kaki] sepatu seperti pakaian orang putih. Dan terkadang jika malam tiada kenal akan orang Melayu melainkan sapu tangan [ikat kepala] yang tinggal lagi. Itupun sudah pula sabur [bercampu baur sehinga tak dapat dibedakan] dengan topi Holanda [Belanda], sebab sapu tangan itu dikanjinya keras, maka diikatnya dibentuk seolah-olah topi jua.
Dan tutur katapun berubah pula. Sungguhpun [ber]bahasa Melayu, dibuatnya kacau-kacau Holanda atau Inggris pula. Dan, ada yang setengah berkata-kata menyebut kata itu, bilang. Seperti katanya, dia bilang atau saya bilang.
Dan sudah pula bahasa Melayu itu diubah pula peraturannya, seperti, pasti dikatakannya mesti. Dan jika berkata: “Nanti saya beritahu”, dikata pula: “Nanti saya kasi tahu”. Dan jika bertanya: “Ini berapa harga?”, dikata, “Ini barang berapa punya harga?” Dan banyak lagi lain-lain daripada itu, bahasa yang dikacau-kacaukan. Dan kelakuan, begitu pula. Seperti makan rokok daun tembakau yang besarnya [mengusap cerutu], sambil bersirar-siar pergi datang [berjalan hilir mudik]. Jika berdua, disama-samakan langkah kakinya.
Maka, segala yang tersebut itu, semata-mata merusakkan adat-istiadat bangsa dirinya. Maka pikiran ku, pekerjaan demikian kurang manisnya. Jadi tiada lah berbeda lagi bangsa Melayu dengan bangsa Inggris, dan Holanda, dan Cina.
Sementalahnya pula [apalagi], yang makan-makan gaji [bekerja] dengan mereka itu, dan sekampung dengan mereka itu. Terkadang berjalan dengan seluar bulat [celana panjang] serta baju sahaja. Hanya lah sapu tangan [ikat kepala] di kepala sahaja yang tinggal lagi, tiada lah manis.
Dan sekali-kali, dipandang seperti orang gila, atau seperti kanak-kanak. Kerana orang Melayu berjalan berseluar bulat itu, tiada sekali-kali adatnya. Bersalahan [berbeda, berlainan dengan orang] Inggris dan Holanda [Belanda] kerana pakaian mereka itu memang, adanya”.***