Telah menjadi kesepakatan bahwa secara historis Bahasa Indonesia yang telah diputus oleh para pendiri bangsa ini (pada 28 Oktober 1928) untuk sama-sama kita junjung sebagai bahasa persatuan dan bahasa negera bersumber dari bahasa Melayu.
Namun demikian, tentang hal ini masih menyisakan banyak pertanyaan dan perdebatan yang belum tuntas. Terutama tentang bahasa Melayu yang mana satu yang telah dipilih diantara beragam dialek dalam bahasa Melayu yang digunakan sebagai lingua franca di Indonesia zaman kolonial.
Meski pun cukup banyak bukti historis yang dapat menunjukkan bahwa bahasa Melayu yang terpilih itu adalah bahasa Melayu Riau (dalam bahasa Belanda disebut Riouw Maleisch) yang dituturkan oleh masyarakat Melayu di Provinsi Kepulauan Riau pada masa lalu, namun demikian tak sedikit pula yang ‘enggan’ mengakui keberadaannya.
Profesor Hendrik M.J. Maier (Henk Maier: 1991) umpamanya, menyebut Bahasa Melayu Riau atau Riouw Maleischyang menjadi asal usul Indonesia itu sebagai sebuah mitos politik (political myth) belaka; “ia (bahas Indonesia) adalah suatu bahasa buatan (tidak alami) yang diciptakan dari bahasa Melayu bukan milik siapa-siapa”, “…it was an artificially created form of Malay that belonged to no one…”
Dengan memanfaatkan bahan sumber baru, yakni Syair Van Ophuijsen dan bahan sumber primer lainnya, tulisan ini mendedahkan sebuah eksplanasi (penjelasan historis) baru tentang Bahasa Melayu Riau sebagaisumber bahasa Indonesia.
***
Pemilihan bahasa Melayu, dan bukan bahasa Belanda, sebagai bahasa komunikasi ‘resmi’ dalam pemerintahan dan di klangan penduduk daerah jajahan di Hindia Belanda dan sekaligus menjadi bahasa pendidikan sejak awal abad ke-20 tak terlepas dari politik bahasa pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) pada masa lalu..
Berbeda dengan gaya kolonialisme Inggris di Singapura dan Tanah Semenanjung,penjajahan Belanda di Hindia Belanda di Hindia Belanda hanya ‘memberikan’ bahasa mereka yang ‘sulit’ itu secara terbatas kepada orang terpilih di tanah jajahan. Dengan kata lain, Bahasa Belanda sama sekali bukan untuk konsumsi mereka kalangan pribumi yang mereka sebut Inlanders. Itulah salah satu sebabnya mengapa mereka melirik dan mengamati kemukinan dan potensi yang ada dalam bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca di Nusantara, meski kebijakan ini dalam perjalanannya berdampak bagaikan seligi tajam bertimbal alias “senjata makan tuan”.
Demikianlah, ketika Hermann Von de Wall dikirim ke Riau (baca: Tanjungpinang) pada tahun 1855, dikalangan atasannya di Batavia sudah ada kesepakatan diam-diam bahwa bahasa Melayulah yang pantas menjadi bahasa pengantar dan bahasa komunikasi di Hindia Belanda. Pemakainnya perlu dibakukan, bahasa yang baik dan benar diperlukan, dibutuhkan kamus dan tata bahasa (Henk Maier: 2001).
Namun Bahasa Melayu yang mana satu dari sekian banyak ragam bahasa Melayu yang menjadi lingua franca itu? Singkatnya, setelah melalui upaya ‘trial dan eror’, akhirnya Gouvernement dan Tuan-Tuan Besar di Batavia cendrung menganggap bahasa Melayu Riau di Kerajaan Riau-Linggalah yang paling murni dan paling asli (Hoffman: 1976).
Maka bermukimlah Von de Wall di Tanjungpinang dan bertungkus lumus menyusun kamus bahasa Melayu-Belanda, dengan bantuan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim, hingga ajal menjemputnya di Tanjungpinang, ibukota Keresidenan Riau ketika itu, pada tahun 1873. Bahkan, aa juga,seperti dikatakannya dalam pengantar kamusnya yang terbit tahun 1872, merangsang Raja Ali Haji membuat kamus monolingual bahasa Melayu, Kitab Pengetahuan Bahsa: sebuah kerja leksikografi yang belum pernah dilakukan oleh siapapun pengguna dan penutur asli bahasa Melayu di Hidia Belanda ketika itu.
Singkatnya, sejak pertengahan abad ke-19 itu, kawsan Riau-Lingga (Terutama Pulau Penyengat) menjadi pusat perhatian penting pemerintah kolonial Belanda dalam menggali perbendaharaan bahasa Melayu yang akan dikembangankan sebagai ‘bahasa resmi kedua’ dan bahasa pengantar disekolah-sekolah pemerintah untuk pribumi.
Pada tahun 1896 jalan kearah itu mulai fokus pada satu misi besar tersebut. Tanggung jawab untuk mewujudkannya disandangkan pemerintah kolonial Belanda kepada Charles Adrian Van Ophuysen, seorang guru dan inspektur pendidikan untuk kalangan pribumi (Inspecteur van het Inlandsch Onderwijs) di Hindia Belanda. Misi itu dipubikasikan di surat-surat kabar besar yang terbit di Hindia Belanda ketika itu. Surat kabar Locomotief, salah satu surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang menyiarkan sebuah berita singkat pada 12 September 1896, yang terjemahannya kira-kira sebagai berikut:
“Ch. A. Van Ophuijsen diperintahkan untuk pergi ke Pulau Pinang, Malakka, Johor, Singapura, Pontianak, Riouw dan Pantai Timur Sumatra (pada bulan Desember 1896), dalam rangka, sebuah sebuah penyelidikan untuk mengatur mempersiapkan dari hal memasukkan aturan yang kuat/tetap (een vast stelsel) tentang sistem ejaan dalam bahasa Melayu menggunakan huruf latin, sebuah penyelidikan diatur sempena memutuskan penggunaan bahasa (Melayu) yang dikenal luas tersebut.”
Apa yang dilakukan oleh van Ophuijsen ketika itu dapatlah disebut sebagai sebuah ‘perjalanan ilmiah’ ke daerah-daerah dimana bahasa Melayu digunakan; sempena mengumpulkan bahan untuk menyusuan sistem ejaan bahasa Melayu standart menggunakan huruf Latin, dan tata bahasa Melayu yang akan dipergunakan di sekolah-sekolah milik pemerimtah.
Dari ‘perjalanan ilmiah’ itu terbukti, seperti sebagaimana pernah dialami oleh Von de Wall pada pertengan abad ke-19, bahwa apa yang dicari Van Ophuijsen pada akhir abad ke-19 itu akhirnya ditemukan di Riau (baca: Kepaulauan Riau). Seperti ditulis oleh surat kabar Locomotief, Riau di wilayah Kerajaa Riau-Lingga ketika itu, adalah kawasan ‘tambang emas’ khazanah bahasa Melayu yang dikunjungi oleh Van Ophuijsen. Arti penting Riau-Lingga dalam konteks penyelidikan bahasa Melayu oleh Van Ophuijsen, tegas dinyatakannya dalam pengantar kitab Maleische Spraakunstbuah karyanya yangditerbitkan pada tahun 1910. Dalam edisi terjemahan buku tersebuat kedalamam bahasa Indonesia oleh T.W. Kamil (1983), Van Ophuijsen mengatakan sebagai berikut:
“Diantara aneka logat [bahasa Melayu], maka yang diutamakan oleh orang Melayu, dan mereka tentu saja satu-satunya penilai yang berwenang, adalah logat yang dituturkan…di Kepulauan Riau Lingga (Khususnya Pulau Penyengat…dan di Daik di Pulau Lingga…); jadi, di daerah para raja Melayu dahulu.”
Adapun sebab lain daerah Kepulauan Riau-Lingga penting dan dipilih menurut pertimbangan Van Ophuijsen ketika adalah karena, “…sebagaian kepustakaan tertulis di dalamnya; bahkan dalam hasil karya terbaru diantaranya-yang kebanyak terbit di Singapura, Pulau Pinang dan sebagainya-tak dapat disangkal adalah pengaruh sastra lama (yang berkembang di Riau-Lingga, pen)…”.
Sebab lainnya, adalah karena sejak abad ke-19 kawsan Riau-Lingga adalalah satu-satunya tempat dimana bahasa Melayu yang dipergunakan oleh penuturnya dibuatkan kaidah penggunaannya (tata-bahasa) oleh cendekianya sendiri: sebuah pencapaian yang tak pernah dibuat oleh penutur bahasa Melayu lainnya di Hindia Belanda pada zaman itu.
Lima tahun setelah kunjungannya ke Negeri Riau (Tanjungpinang dan Pulau Penyengat pada tahun 1901) bersama koleganya di Kweekschool Fort de Kock (Bukittinggi, Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Moh. Taib Sutan Ibrahim, Van Ophuijsen berhasil menciptakan sistem ejaan bahasa Melayu dalam huruf Latin melalui sebuah buku berjudul, Kitab Logat Melajoe Woordenlijst voor de Spelling de Maleische Taal met Latijnsch Karakter (Batavia: 1901): sistem ejaan dalam buku ini lah yang kemudian dikenal sebagai ejaan Van Ophuijsen dalam sejarah bahasa Indoesia.
Namun demikian, lingkup kerja Van Ophuijsen tidak hanya menyusun kaidah ejaan bahasa Melayu dalam huruf Latin seperti selama ini dikenal, tapi juga kaidah Bahasa Melayu (tata bahasa) yang kemudian dipergunakan sebagai materi bahan ajar Bahasa Melayu yang ia susun dan terbitkan tahun 1910: yakni kaidah bahasa Melayu Riau atau Bahasa Melayu Van Ophuijsen yang disebut sebagai Riouw Maleisch dalam bahasa Belanda. Selanjutnya, bahasa Melayu ini lah yang dikenal juga dengan sebutan lain sebagaiBabasa Balai Pustaka; Bahasa Melayu Tinggi (Beschaafd Meleisch) untuk membedakan dengan dengan Bahasa Melayu Rendah, (Laag Maleisch) atau Bahasa Melayu Bazaar (Bahasa Melayu Pasar).
Kegiatan penyenylidikan bahasa Melayu yang dilakukan oleh Van Ophuijsen selama 20 hari di Negeri Riau pada tahun 1896 itu dipusatkan di Pulau Penyengat dan Tanjungpinang. Peristiwa ini direkam oleh salah seorang cucu Raja Ali Haji bernama Raja Haji Sulaiman, cendekia tempatan yang terut membantunya dalam kerja itu, sebagaimana dinukilkannya dalam bait-bait ‘Syair Van Ophuijsen’.
Syair itu ditulis sebagai bentuk ingatan akan peristiwa pertemuan penulisnya dengan Van Ophuijsen, yang intinya merekam peristiwa kedatangan Van Ophuijsen sempena “mencari pengertian bahasa” dan mengenang keberangkatannya meninggalkan Tanjungpinang setelah menyelesaikan kerja-kerja “mensidik” dan mebuat “siasat keatas bahasa Melayu…bahasa yang asal”, atas perintah Gubernur Jenderal di Batavia.
Oleh karena itu, kurang patut kiranya bila Teuku Iskandar (1996: 567) memandang sebelah mata terhadapSyair Van Ophjsen,yang dinggapnya sebagai sebuah “syair yang tidak begitu penting” (Teuku Iskadar:1996: 567). Meskipunianya adalah sebuah syair yang singkat dan hanya terdiri dari 29 bait saja, isinya mengandungi bukti historis-otentik yang penting terkait sumbangan besar bahasa Melayu logat Riau-Lingga atau Riouw Maleisch(Bahasa Melayu Riau) terhadap sejarah penciptaan bahasa Indonesia.
Dalam ‘Syair Van Ophuijsen’ yang ditlis pada tahun 1896 tersebut, dengan jelas dicatat bahwa pada ketika itu bahasa Melayu logat Riau-Lingga, tetap terpelihara, dipelajari, dikemas secara sistimatis, dan menjadi bahasa Melayu yang paling penting diantara logat-logat bahasa Melayu yang ada di Nusantara ketika itu. Mengapa?
Raja Ali Haji, sang munsyiMelayu dari Pulau Penyengat memang telah lama tiada ketika Van Ophuijsen melakukan penyelidikan bahasa Melayu di Pulau Penyengat pada 1896. Akan tetapi pada ketika itu ia bertemu dengan munsyi Riau yang lain, penerus Raja Ali Haji dalam memelihara Bahasa Melayu, yaitu Raja Ali Kelana: selain ahli siasah, calon Yang Diperuan Kerajaan Riau Lingga ini yang juga seorang ‘pandita bahasa’ Melayu yang menulis dan ‘memperbaharui’ tatabahasa Melayu Riau melalui kitab tata bahasa Melayu buah karyanya yang berjudul, Bughyat al-‘Ani -‘Ala-huruf-fi-ma’ani.
Perjalanan Bahasa Melayu Riau-Riouw Maleisch untuk menjadi bahasa pergaulan dan bahasa tulis di Hindia Blenda tidaklah sepenuhnya berjalan mulus. Dalam rentang waktu antara tahun 1901 hingga 1947 kritik dan pembelaan tampil silih berganti. Kiprah dan kewujudannya menjadi materi pembicaraan utama dalam forum ‘Kongres Bahasa Indonesia I” di Solo tahun 1938 yang sesungguhnya adalah Konggres Bahasa Melayu: surat-surat kabar Belanda ketika itu menyebutnya sebagai Maleisch Taalconggres.
Lima tahun setelah penelitian Van Ophuijsen di Pulau Penyengat dan Tanjungpinang, bahasa Melayu Riau atau Riouw Maleischtelah tampil sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Hindia Belanda. Sekolah-sekolah tersebut kemudian menjadi salah satu laluan penting yang mengantarkannya sebagai bahasa nasional. Bahasa Melayu Riau inilah yang diusulkan oleh Muhammad Yamin dalam dalm Konggres Pemuda I tahun 1926 yang akhirnya disepakati namanya menjadi bahasa Indonesia setelah melalui perdebatan sengit pada Konggres Pemuda Indonesia IIdi Batavia pada 28 Oktober 1928.
Kiprah Bahasa Melayu Riau atau Riouw Maleisch ini berakhir pada tahun 1947 ketika sistem ejaan tersebut bertukar ganti dan bertukar nama menjadi ejaan Republik atau ejaan Soewandi, dan ditetapkan yang secara resmi sebagai yang dipergunakan di Negara Indonesia yang baru saja merdeka.
Namun demikian sejarahnya tak dapat ditukar ganti. Profesor Khaidir Anwar dalam sebuah makalahnya (1997) mengatakan: “Bila kita terima bahwa Bahasa Balai Pustaka (Melayu Riau atau Riouw Maleisch) yang berubah nama menjadi bahasa Indonesia, maka sumbangan bahasa Melayu Riau (dari Pulau Penyngat) terhadap bahasa Indonesia luar biasa besarnya. Bahkan barangkali tidak tepat betul kalau kita sebut hanya dengan istilah sumbangan, sebab lebih daripada sumbangan, ia merukan pelimpahan, (yang bermakna) pemberian secara menyeluruh: atau dengan kata lain, bahasa Melayu Riau atau Riouw Maleisch itu telah meleburkan dirinya kedalam ‘Bahasa Melayu baru’ yang diberi nama Bahasa Indonesia.
Ingatan orang yang pernah mempelajari dan menggunakan Bahasa Melayu Riau atau Riouw Maleisch tentulah tak akan pernah tergerus zaman, sebagaimana telah ditunjukkan oleh salah seorang founding father kita, Muhammad Hatta. Dalam tulisannya sempena penerbitan buku 70 tahun Sutan Takdir Ali Syahbana, Hatta menulis sebuah artikel pendek yang penting brjudul, Dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia. Pada paragrap pembukaan artikel itu, Hatta menulis:
“Pada permulaan abad ke-20 ini bahasa Indonesia belum dikenal, yang dikenal sebagai lingua franca adalah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutnya Riau Maleis[Riouw Malaeisch]. Ada yang menyebutnya berasal dari logat sebuah pulaukecil yang bernama Penyengah [Pulau penyengat] dalam lingkungan Pulau Riau (Kepulauan Riau)…”***