Solarium

Majalah Sastra dan Kebudayaan di Tanjungpinang dan Pekanbaru (Juli – September 1974)

Patah tumbuh hilang berganti. Dunia kebudayaan Kepulauan Riau di Tanjungpinang menyaksikan munculya Majalah Solarium  setelah majalah Sempena behenti terbit pada 1968. Keduanya mempunyai semangat yang hampir serupa untuk sastra dan kebudayaan.

Bermula di Tanjungpinang

            Enam tahun berlalu setelah Majalah SempenaMajalah Khas Kepuluan Riau, yang terbit di Tanjungpinang mengakhiri perjalanannya pada 1968, khalayak sastra dan kebudayaa di Tanjungpinang khususnya dan Kepulauan Riau pada ummnya, mendapatkan laman kreatif pengganti yang diberi tajukmajalah Solarium, pada 1974.

            Sempena dan Solariumadalah gambaran khas majalah lokal Kepulauan Riau di Tanjungpinang antara tahun 1960-an hingga pertengahan tahun 1970-an,  yang punya ‘perhatian khusus’ terhadap masalah-masalah sastra dan kebudayan tanpa mengabaikan  aspek informatif sebuah media massa: baik lokal maupun dunia.

            Sebagai ‘penerus’ jejak dan langkah majalah Sempena untuk masalah-masalah sastra dan kebudayaan, nomor perdana majalah Solariumyang diterbitkan dalam format ‘majalah bulanan’, terbit untuk pertamakalinya di Tanjungpinang pada bulan Juli 1974 dalam bentuk edisi rangkap untuk bulan Juli/ Agustus 1974.

            Penerbitnya adalah Yayasan Dandandid di Tanjungpinang. Kantor redaksi dan tata usahnya ketika itu,  ‘menumpang’ di kantor Biro Usaha Jasa Hang Tuah yang berada di salah satu ruangan di gedung  kampus Universitas Hangtuah,  Jl. Teuku Umar, Tanjungpinang.

            Ketika terbit untuk pertamakalinya, personil majalah ini bukan lah sepenuhnya ‘orang baru’ di panggung dunia pers lokal dan kegiatan literasi di Tanjungpinang ketika itu. Sebagai Pemimpin Umum dan Penanggung Jawab tercatat nama Dr. Eddy Junus, dengan wakil Handjojo Putro S.H.  Pemimpin Usaha dipegang oleh R. Mahidin.

            Dewan redaksinya digawangi oleh beberapa seniman dan budayawan yang sebelumnya menulis untuk majalah Sempena, seperti: penyair mantra Ibrahim Sattah, budayawan Muchsin Chalidi dan Raja Hamzah Yunus. Sekretaris redaksi dijabat oleh penyair pelukis Abbas MD, dan Tata Usaha dikendalikan oleh Sunarno.

            Nomor perdana majalah Solarium dicetak dengan cara yang unik, khas majalah-majalah lokal di Tanjungpinang ketika itu.Kover dicetak menggunakan teknik offset printing  dengan ilustrasi pemandangan (foto udara) kota Tanjungpinang  akhir tahun 1960-an karya fotografer Witono. Sedangkan isinya ditulis menggunakan mesin tik dan dicetak menggunakan mesin stensil.

Tak ada informasi berapa oplah edisi perdana majalah ini.Namun yang pasti, penjelasan redaksinya menyebutkan “…nomor perdana ini diedarkan secara terbatas…”.

Solarium Kemerdekaan dan Kreatifitas

            Dengan label sebagai sebuah “Majalah Sastera & Kebudayaan”, Solarium tampaknya mempunyai misi menjadi ‘laman baru’ bagi kreatifitas seniman dan budayawan tempatan serta ruang untuk memperkenalkan sastra dunia seperti yang penah dilakukan oleh pendahulunya,  majalah Sempena.

            Sebagai sebuah ‘laman bermain yang baru’ majalah ini telah dilekatkan dengan nama yang begitu gagah,menggunakan salah satu kosa kata dalam bahasa sastra dunia yang penting. Kental dengan harapan-harapan besar sebagai sebuah laluan untuk menjulang sastra, seni, dan kebudayaan tempatan agar bersanding dengan sastra, seni, dan kebudayaan dunia.

            Nama majalah ini dipinjamkan dari kosa-kata bahasa Prancis yang makananya adalah beranda. Sebuah catatan dalam simpanan saya menyebutkan nama itu disumbangkan oleh Hasan Junus.Dan beliau pula tampaknya yang ‘meniupkan roh pertama’ majalah ini melalui sebuah essai pengantar berjudul “Kemerdekaan dan Kretifitas” yang dimuat dalam edisi perdana majalah ini.

Dengan kata lain, misi majalah Solarium sebagai sebuah majalah “Majalah Sastera & Kebudayaan”, tercermin dari essai Hasan Junus yang mendedahkan adanya benang antara kemerdekaan-kreatifias-dan kebudayaan yang dijelaskannya sebagai berikut:“Kreatifitas membuahkan kebudayaan…Begitu kemerdekaan manusia dimakzulkan, kebudayaan mengerut, jadi lisut, laju, kering, dan hancur…”.

Majalah Sastra dan Kebudayaan

            Nomor perdana majalah Solarium berisikan 40 halaman dengan yang mungil  51 x 21 cm dan nomor kedua beriskan 96 halaman dengan ukuran yang sama:sangat kecil untuk ukuran sebuah majalah.

            Selain essai pengantar oleh Hasan Junus yang telah disebutkan sebelumnya, nomor perdana majalah ini juga berisikan karya sastra dan essai terjemahan oleh penulis yang prolific itu. Selebihnya adalah karya-karya kreatif (prosa dan puisi) serta ‘catata-catatan kebudayaan’ oleh pengelolanya yang hampir kesemuanya fasih menulis.

            Satu hal yang menarik, dalam edisi perdana ini, Sudirman Backry, mantan ‘pemilik’ majalah Sempena, turut menyumbangkan sebuah artikel dengan ‘gaya satirenya khas’, dan  kental dengan nuansa kritik kebudayaan.

            Seperti menterjemahkan garis kemerdekaan dan kreatifitas yang telah dipaparkan oleh Hasan Junus dalam essai pengantarnya, Dirman (demikian Sudirman Backry biasa disapa di kalangan seniman di Tanjungpinang waktu itu), menjelaskan arti penting yang tersembunyi disebalik peninggalan-peninggalan sejarah Riau-Lingga bagi dunia pariwisata secara kreatif, kocak, menggelitik, dan mengundang tawa bila membacanya.

            Secara seubstasial, kandungan majalah Solarium tidak melulu karya kreatif, akan tetapi juga memuat berita-berita tentang akfitas kesenian dan kebudayaan semasa di Tanjungpinang. Pada halaman yang bejudul Surat-Surat Tpi (Tanjungpinang), antara lain dimuat berita singkat tentang penubuhan Bengkel Teater GROTA yang beralamat di Jl. Gudang Minyak oleh Sudirman Bakckry pada 17 Januari 1974. Juga tentang pameranseni lukis dan seni Kodak (seni lukis dan fotografi) yang digelar oleh Sutudy Group Sempena (SGS yang dikelola oleh Rida K Liamsi CS) bertempat di Universitas Hangtuah Tanjungpinang pada 27 Januari 1974.

Tak ketingglan didalamnya dicatat pula aktifitas lomba membaca sajak yang digelar di Tarempa pada 17 Februari 1974 dengan biang keladinya polisi-penyair Ibrahim Sattah. Semua berita itu ditulis dengan bahasa dan cara yang kreatif.

Ketika nomor kedua majalah ini terbit di Pekanbaru, format majalah ini tak banyak berubah.  Hanya saja nama-nama penulis kreatif yang tampil memberi kontribusi lebih luas dan beragam. Tidak hanya sebatas oleh penulis-penulis kreatif dari Tanjungpinang saja.

Pada nomor kedua ini, mulai muncul nama-nama seperti B.M. Syam (B.M. Syamsuddin) yang kemudian dikenal juga sebagai ‘Dewa Mendu’ karena kepiawaiannya dalam hal ikhwalteater tradisional dari Natuna itu.

Disamping masih melanjutkan tradisi memuat terjemahan sastra dunia, dalam Solariuam edisi kedua ini juga muncul nama-nama penulis kreatif dari Pekanbaru seperti, M. Yunus R, Syamsul Bahri Judin, Irsyadi Nurdin Yasan, dan sastrawan Edi Ruslan Pe Amanriza.

Berakhir di  Pekanbaru

Bila nomor perdananya terbit di Tanjungpinang, maka nomor kedua majalah Solarium (September 1974) terbit di Pekanbaru.

Kabarnya, salah satu sebah hal ini terjadi adalah karena kepindahan, salah seorang motor penggerak utama majalah ini, penyair Ibrahim Sattah yang berprofesi sebagai Polisi ke Pekanbaru.

Dalam edisi kedua yang terbit di Pekanbaru terdapat beberapa perubahan dalam susunan pengasuhnya. Antara lain muncul nama baru seperti, Muh. Jakfar Amrin yang menjabat sebagai penasehat, dan perubahan posisi Ibrahim Sattah menjadi pimpinan pelaksana atau redaktur, yang kemudian menyebabkan majalah Solarium identik dengan penyair Ibrahim Sattah.

Meski edisi keduanya terbit di Pekanbaru, alamat redaksi majalah Solarium tetap berada di Tanjungpinang dengan perwakilan di Pekanbaru yang dipimpin oleh Abu Bakar Sulaiman BA yang menggunakan alamat Humas UNRI (Universitas Riau).

Edisi kedua yang terbit di Pekanbaru lebih sepurnah dari segi kemasannya karena pencetakaanya difasilitasi oleh percetakan offset milik Humas Kantor Gubernur Kepala Daerah Provinsi Riau.Di Pekanbaru pula malajalah ini untuk pertamakalinya mendapatkan surat rekomendasi izin terbit dari kantor Jawatan Penerangan Provisni Riau, No. 2877/C.1/1974/ tanggal 10 Agustus 1974.

Perjalanan Majalah Solarium hanya bertahan sampai dua nomor dan terbit di dua kota (Tanjungpinang dan Pekanbaru). Dalam perjalanannyamajalah Solarium hanya bertahan terbit hingga dua nomor, dan Pekanbaru adalah kota tempat perhentiannya.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top