SULTAN Abdul Muluk, dengan kudanya yang berlari gesit dan kencang, meluru ke medan perang seraya menebas musuhnya dengan pedangnya. Pemimpin Kerajaan Barbari yang muda usia itu langsung memimpin tentaranya melawan tentara Kerajaan Hindustan yang datang menyerang tanpa diundang. Setiap musuh yang berhadapan dengannya tewas seketika terkena tebasan pedangnya yang bergerak cepat tanpa dapat diantisipasi oleh pihak musuh.
Abdul Muluk memang mahir menggunakan pedang. Dia telah diajarkan kemahiran itu sejak kecil oleh ayahandanya dan para pembantunya: para menteri, panglima perang, dan hulubalang terbilang. Karena diserang musuh secara tergempar, dia berperang bagai orang dirasuki syaitan tanpa sedikit pun berasa gentar. Pemimpin yang kesehariannya tersenyum lembut itu, kini tampil garang di medan perang.
Para menteri dan hulubalang yang terlibat perang dalam waktu yang tak terlalu lama berubah menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan. Medan perang itu layaknya ladang pembantaian yang mempersaksikan korban tentara dan rakyat yang terbujur kaku sehingga membuat pilu dan ngeri hati sesiapa pun yang memandang. Dari Kerajaan Barbari tak hanya menteri, panglima perang, dan hulubalang; tetapi rakyat pun ikut berperang. Mereka tak rela negerinya dirampas untuk kemudian dijajah orang, Kerajaan Hindustan yang menyerbu tanpa didahului oleh maklumat perang.
Strategi dan taktik perang Sultan Syihabuddin, penguasa Kerajaan Hindustan, memang berhasil membuat pertahanan Kerajaan Barbari kocar-kacir. Walau tak lazim dan dikecam biadab lagi tergolong kejahatan perang, serangan tergempar (dadakan) pasukan Kerajaan Hindustan yang dipimpin langsung oleh Sultan Syihabuddin membuat Kerajaan Barbari tak akan terlalu lama dapat bertahan.
Walaupun begitu, kenekatan Sultan Abdul Muluk dalam mempertahankan negerinya serta kepiawaiannya memimpin tentara dan pasukan rakyatnya menyebabkan Sultan Hindustan berasa bimbang. Dia harus menggunakan taktik lain untuk menundukkan pemimpin muda yang gagah perkasa itu. Kemenangan perang dan selanjutnya penguasaan terhadap negara kaya itu begitu menggoda syahwat Sultan Hindustan sehingga dia berasa tak kuasa untuk menanti berlama-lama lagi. Kinilah saatnya semua hasrat dan nafsu duniawinya harus dipuaskan ketika negeri yang telah lama direncanakannya untuk dikuasai itu sedang berada di bawah tekanannya.
Sultan Abdul Muluk adalah tembok kokoh terakhir yang harus segera diranapkan (diratakan dengan tanah). Pasalnya, selagi sultan muda itu belum tewas, dia memiliki kewibawaan dan kemampuan yang luar biasa untuk memotivasi tentara dan rakyatnya untuk mempertahankan tanah air mereka. Walaupun separuh dari tentara dan rakyat negeri mereka telah dibantai oleh pasukan Kerajaan Hindustan, kenyataan itu tak membuat tentara dan rakyat Kerajaan Barbari lemah maya. Bahkan, semakin membara semangat juang mereka.
Pemacu semangatnya tiada lain pemimpin mereka yang karismatik masih ada bersama mereka. “Selagi hayat di kandung badan, tak secebis pun bagian dari negeri kami boleh dikuasai oleh bangsa dan negeri lain!” Begitulah tekat baja tentara dan rakyat Negeri Barbari, negeri yang dipimpin oleh pemimpin sejati yang bijak bestari, yang cinta dan baktinya kepada negeri tiada berbelah bagi. Cinta sejati yang tak dapat diganti dengan umpan materi.
Kisah yang panjang harus segera diringkaskan. Putus sudah pertimbangan Sultan Hindustan. Maka, dikirimnyalah adiknya, Kamaruddin, untuk membujuk lalu menangkap Sultan Abdul Muluk. Titah abangnya itu dilaksanakan oleh Kamaruddin. Dengan segera dia memacu kudanya menuju ke medan perang. Ketika berhadapan dengan Sultan Abdul Muluk, dia pun berupaya membujuk (lihat Syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji rahimahullah (1846), bait 769).
Terlalu belas kakanda memandang
Adinda tinggal seorang-orang
Tiada lagi menteri hulubalang
Baik mengikut apa kata orang
Mempankah bujukan setengah mengancam yang dilakukan oleh Kamaruddin agar Sultan Abdul Muluk menyerahkan diri kepada abangnya, Sultan Syihabuddin? Jawabnya disediakan dalam Syair Abdul Muluk (Haji 1846), bait 770.
Tersenyum menjawab baginda sultan
Janganlah kamu banyak perkataan
Daripada menyembah Raja Hindustan
Relalah beta hilang di medan
Tentulah jawaban Sultan Abdul Muluk itu tak membuat bahagia Kamaruddin, adik Syihabuddin, bangsa Hindi yang berahikan Negeri Barbari. Dengan mantap pemimpin Negeri Barbari itu membalas bujukan dan gertakan penceroboh negerinya. Daripada bertuankan pemimpin bangsa lain, dia lebih rela gugur di medan perang (Relalah beta hilang di medan) demi mempertahankan tanah air dan bangsanya. Sikap yang ditunjukkan oleh sultan muda itu telah menyerlahkan marwahnya sebagai pemimpin terbilang. Dia tak rela marwah dirinya sebagai pemimpin negeri dan marwah bangsanya tergadai di bawah kendali dan tekanan bangsa lain.
Akibat penolakan menyerahkan diri oleh Sultan Abdul Muluk itu, perang pun bergolaklah kembali di antara kedua belah pihak, yang bermotivasi berbeda itu. Pihak perusuh hendak menyegerakan penguasaannya kepada bangsa lain seraya mendapatkan keuntungan materinya, sedangkan pemilik sah negeri berupaya mempertahankan hak dan marwah mereka sebagai bangsa berdaulat agar tak tergadai kepada bangsa lain. Bahkan, Sultan Hindustan, yang nyaris tak sanggup lagi mengendalikan gelora syahwatnya yang semakin menggebu-gebu, mengutus seorang lagi adiknya, Syamsuddin, untuk membantu Kamaruddin dan tentaranya menaklukkan Sultan Abdul Muluk.
Terpaan syahwat Sultan Syihabuddin, dalam kelanjutan kisahnya, memang sampai pada titik didihnya yang harfiah karena dia rupanya berahikan Siti Rahmah, istri Sultan Abdul Muluk. Agaknya, syahwat kekuasaan memang cenderung dikonkretkan pada keinginan yang semodel dengan itu sehingga melupakan nilai-nilai kemanusiaan, apatah lagi ketuhanan. Kalaupun kedua-dua jenis nilai yang disebut terakhir itu ditampilkan juga, ianya sekadar digunakan sebagai pembungkus tipis atau kulit ari di permukaan untuk menyamarkan sisi dan isi keanimalan yang menjadi intinya yang sejati. Bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Akan sampai juga kita pada episode yang semakin seru itu suatu ketika nanti.
Sambil menanti, dapatlah dikatakan bahwa mempertahankan marwah memang menjadi sifat, sikap, dan perilaku terpuji pemimpin terbilang. Tanggung jawab itu disadari benar oleh Sultan Abdul Muluk sehingga dia rela syahid di medan perang demi keyakinannya itu. Tanpa marwah, pemimpin akan dengan sangat mudah diombang-ambingkan, dihela, dan atau diarahkan oleh pihak lain, terutama orang-orang yang tak bertanggung jawab. Para orang yang dimaksudkan itu akan membawa sang pemimpin kepada kepentingan mereka sendiri-sendiri dan atau kelompok, bukan kepentingan bangsa dan negara. Keadaan akan menjadi lebih parah lagi jika sang pemimpin pun bermotivasi sama dengan para pihak yang menggiring dan atau mengarahkannya ke jalan yang tak elok itu. Dalam hal ini, si penggiring dan yang dihela dipersatukan oleh tujuan yang sama.
“Bermula menjadikan wazir-wazir (menteri, HAM) atau kepala-kepala negeri, maka seyogianya hendaklah dipilih akan orang yang ahli memegang jabatan yaitu Islam dan mukallaf dan laki-laki dan merdeka yang mempunyai ijtihad dan tadbir yang baik, yang amanah dan benar lidahnya dan mempunyai marwah dan beradab dan bersopan dan berilmu dengan ilmu muhtaj kepadanya,” (Haji dalam Malik (Ed.) 2013, 46).
Di antara sekian persyaratan yang seyogianya dimiliki oleh pemimpin, di dalam kutipan Tsamarat al-Muhimmah pada perenggan di atas, Raja Ali Haji menekankan mustahaknya pemimpin memiliki marwah. Pemimpin yang menjunjung marwah bermakna dia telah berjaya menjemput tuah. Artinya, kepemimpinannya dibanggakan orang dan setiap orang akan berasa bahagia berada di bawah kepemimpinannya. Dia, bahkan, menjadi idola sekaligus ikon kejayaan negeri yang dipimpinnya. Perkara itu ditegaskan lagi dengan syair nasihat dalam karya yang sama (Haji dalam Malik (Ed.) 2013), bait 23.
Hendaklah anakanda jagakan nama
Mendirikan hak dengan seksama
Pekerjaan bid’ah jangan diterima
Walaupun kecil seperti hama
Pemimpin bermarwah bermakna juga dia telah menjaga nama baiknya. Segala kebijakan dan tindakan kepemimpinannya didasarkan pada pertimbangan kebenaran secara seksama. Dia tak akan terbawa kepada keputusan kepemimpinan yang tak bercontoh pada kebaikan, yang dibuat-buat untuk memenuhi syahwat kekuasaan semata-mata, bukan yang bernilai kebijaksanaan yang mengandungi hikmah. Gejala “penyakit kekuasaan” seperti itu tak boleh dibiarkan tumbuh subur karena ibarat hama, ia akan menghisap, memamah, bahkan memepak pemimpin dan kepemimpinannya, sama ada cepat ataupun lambat. Pemimpin yang bermarwah tak akan membiarkan jenis-jenis hama seperti itu merasuki dirinya.
Hendak jadi kepala
Buang perangai yang cela
Kearifan yang tersimpul dalam Gurindam Dua Belas (Haji 1847), Pasal yang Kesebelas, bait 2, di atas senantiasa menjadi pegangan pemimpin yang bermarwah. Begitu dia diserahi amanah dan tanggung jawab kepemimpinan, dijaganya dirinya sekuat dapat agar terhindar dari perilaku tercela. Dia sadar sesadar-sadarnya bahwa sebagai pemimpin, sifat, sikap, dan perilakunya senantiasa diamati oleh orang banyak, bahkan mungkin ditiru. Tak sanggup dia memberikan contoh yang tak disukai oleh masyarakat yang beradab. Dengan perilakunya, tak hanya dengan kata-kata yang dapat menipu, dijadikannya dirinya sebagai tauladan pejuang-moral terdepan untuk kebaikan dan keselamatan diri dan orang-orang yang dipimpinnya. Dia pemimpin bermarwah sehingga dalam bersikap dan bertingkah laku tak boleh berbuat salah. Bukankah pemimpin manusia juga? Iya, tetapi manusia istimewa yang diberi amanah dan tanggung jawab sebagai pemimpin, bahkan mungkin bukan hanya oleh manusia, melainkan juga oleh Allah. Atau, sekurang-kurangnya doanya untuk dijadikan pemimpin diijabah oleh Allah walaupun untuk kasus yang disebut terakhir itu ujian kepemimpinan yang akan dihadapinya akan lebih berat.
Sebenarnyalah bahwa setiap pemimpin seyogianya menjadi tauladan bukanlah mutiara kata bijak dan takzim yang berasal dari perenungan tertinggi manusia yang tercerdas. Hikmah dan pedoman itu berasal dari Allah Yang Maha Penuntun. Dalam hal ini, Allah menunjukkan tokoh utama pemimpin bermarwah yang patut ditauladani oleh semua umat manusia, apatah lagi pemimpin.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah,” (Q.S. Al-Ahzab:21).
Pemimpin yang dimaksudkan oleh Allah itu tak lain tak bukan Baginda Rasulullah SAW. Sesiapa pun pemimpin yang berjaya mengikuti perilaku kepemimpinan Rasulullah dijanjikan oleh Allah akan diberi rahmat. Bahkan, tak hanya di dunia yang fana saja dia akan selamat, tetapi dia pun dijamin akan terbebas dari siksaan pada hari kiamat. Pasalnya, dalam praktik kepemimpinannya dia senantiasa mengikuti petunjuk Allah secara hikmat.
Suatu hari berdatang sembah Baginda Yang Dipertuan Muda III Riau, Daeng Kamboja, kepada Duli Yang Mulia Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I. Kabar yang dibawa Baginda sungguh mengejutkan jagat Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.
“Ampun, Tuanku! Yang patik ini keluarlah, diberi tidak diberi, patik keluar. Derhaka celaka patik tidak. Bukannya perbuatan patik dan bukannya perbuatan tuanku, tiada dapat patik bertahan lagi, seumpama karung sudah penuh tiada muat lagi. Jikalau patik bertahan sehari dua lagi, tentulah jadi rugi atas diri tuanku. Apalah nama patik? Selama-lama ini paduka kekanda-kekanda membaikkan Riau ini tiba-tiba masa patik ini merosakkan pula. Adapun patik semua anak Bugis di mana-mana diam, apabila ada titah perintah ke bawah duli memanggil patik menyuruh bekerja, insya Allah taala patik kerjakan. Akan tetapi(,) pada waktu ini bercerai dahulu antara tuanku dengan patik semua anak Bugis, sebab jangan rosak hati sanak saudara tuanku, kerana patik ini selagi orang suka patik tunggu(,) pada ketika orang benci patik keluar dahulu yang derhaka celaka merosakkan nama dan sumpah setia. Tiadalah harus patik menghilangkan nama orang tua-tua patik!” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 135).
Nukilan Tuhfat al-Nafis di atas menunjukkan bahwa Baginda Yang Dipertuan Muda III Riau-Lingga Daeng Kamboja menyadari benar marwahnya dan para pendahulunya sebagai pemimpin sehingga Baginda berasa wajib untuk menjaganya. Baginda tak rela namanya tercemar hanya karena perbuatan fitnah yang keji dari segelintir orang. Daripada marwah yang dijaganya selama ini tergadai, lebih baik Baginda berundur diri agar nama tak tercemar. Begitulah memang para pemimpin pilihan menjaga nama baik mereka sehingga tak ada sebarang pihak pun yang mampu mencemarkannya.
Rasulullah SAW bersabda kepada Ka’ab bin Ujrah, “Mudah-mudahan, Allah melindungimu dari para pemimpin yang bodoh (dungu).” Ka’ab bin Ujrah bertanya, “Apakah yang dimaksudkan dengan pemimpin yang dungu, Wahai Rasulullah?” Baginda Rasul SAW menjawab, “Mereka adalah para pemimpin yang hidup sepeninggalanku. Mereka tak pernah berpedoman pada petunjukku, mereka tak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka atau mendukung kezaliman mereka, maka orang itu tak termasuk golonganku karena aku bukanlah orang seperti itu. … Wahai Ka’ab bin Ujrah, manusia terpecah menjadi dua golongan. Pertama, orang yang membeli dirinya (menguasai dirinya), dia itulah yang memerdekakan dirinya. Kedua, golongan yang menjual dirinya, dia itulah yang membinasakan dirinya sendiri,” (H.R. Ahmad bin Hambal).
Pemimpin yang tak bermarwah adalah orang dungu dan pendusta, tetapi zalimnya disamarkan dengan madah. Dia, bahkan, tak mampu membeli dirinya walau sebenarnya perkara itu mudah. Dia, malah, menjual dirinya dengan harga yang murah. Sebaliknya, pemimpin yang bermarwah sanggup membeli dirinya sehingga tak sesiapa pun mampu membuat dirinya berpaling tadah. Dialah pemimpin yang senantiasa mendapat rahmat, hidayah, dan inayah Allah.***