Lebih dari sekedar simbol dan perlambang tertentu, selembar kain yang dikenal sebagai bendera dalam sejarah dan kebudayaan Melayu adalah salah satu simbol supremasi dan kedaulatan.
Penggunaan bendera dan berbagai bentuknya, mungkin, adalah tradisi asli Alam Melayu di Nusantara. Pada tahun 1951, Sejarawan Muhammad Yamin bahkan pernah menyingkap akar sejarahnya hingga ke kurun waktu 6000 tahun sebelum masehi, ketika menelusuri sejarah Sang Saka Merah Putih kebanggaan bangsa Indonesia yang kemudian dituangkannya dalam sebuah buku yang sangat terkenal: 6000 Tahun Sang Merah Putih.
Namun demikian, anehnya, istilah bendera dengan berbagai variannya seperti, menderah, bedera, atau mendera sebagaimana tertera dalam kitab Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-Rajanya buah pena Raja Ali Haji, diserap dari bahasa Portugis, Bandeira.
Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, Kerajaan Johor (demikianlah nama wilayah yang yang kini kenal sebagai Kerajaan Riau-Lingga itu ditulis sebelum tahun 1824) di Lingga dan Riau juga mempunyai sejumlah bendera dengan sejumlah fungsi dan kegunaan tertentu, disamping sebagai lambang supremasi dan kedaulatan tentunya.
Sebagai lambang supremasi dan kedaulatan, bendera-bendera kerajaan Johor tidak hanya dijulang oleh rakyat kerajaan Negeri Johor ketika itu, akan tetapi juga tidak dipandang sebelah mata oleh kawan dan lawan.
Sebuah contoh dalam sejarah dapat dijadikan sebagai ilustrasi tentang betapa pentingnya bendera ketika itu. Ketika bertempur habis-habisan menghadapi serangan balik Yamtuan Muda Riau IV, Raja Haji Fisabilllah, atas Teluk Ketapang, Melaka, pada 18 Juni 1784, landseskader (eskader negara) Kerajaan Belanda dibawah pimpinan Jacob Pieter van Braam tidak hanya menembak Raja Haji dan dan merampas jenazahnya, tapi juga menyita begitu banyak bendera-bendera kebesaran Raja Haji dan armadanya yang juga merupakan bendera-bendera kebesaran kerajaan Johor ketika itu.
Bendera-bendera indah dengan dominasi warna biru dan simbol pedang Zulfakar yang seluruhnya terbuat dari bahan sutera itu dibawa ke Negeri Belanda: dipajang sebagai hiasan dan sekaligus sebagai simbol penaklukkan atas Kerajaan di ridderzaal (gedung parlemen Belanda) dan istana raja di Kota Amsterdam.
Demikianlah bendera sebagai simbol kedaulatan dan supremasi juga dapat manjadi simbol perlawanan yang menggerunkan dibanding tembakan meriam. Karena itulah, sebuah ‘perlawanan’ menggunakan bendera juga pernah dilakukan oleh Kerajaan Riau-Lingga sebagai penerus Kerajaan Johor ketika nama besar dan wilayahnya hanya tinggal sebatas Kepulauan Riau dan Lingga saja pada tahun 1902-1903.
Ketika itu, di istana dan ibukotanya kerajaan yang telah berpindah ke Pulau Penyengat, pembesar-pembesar kerajaan Riau-Lingga melakukan perlawanan atas dominasi politik Belanda dengan menaikkan bendera kerajaan tanpa didampingi bendera rod-witte-blauw (merah-putih-biru) milik kerajaan Belanda. Peristiwa ini telah mengguncang Raad van Indie (Parlemen Hindia Belanda) dan Gubernur Jenderal di Batavia.
Bentuk, corak, dan warna bendera dalam perjalanan sejarah penggunaan bendera sebagai simbol supremasi dan kedaulatan dalam Kerajaan Johor di Lingga dan Riau, tampaknya, berubah-ubah sesuai semangat zamannya.
Pada zaman Raja Haji yang diwarnai dengan hiruk pikuk kekuatan maritimnya pada kurun ke-18, bendera-bendera itu didominasi oleh warna biru laut.
Corak dan warna itu berubah lagi dengan perpaduan warna merah, kuning, hijau, dan hitam setelah zaman Raja Haji, terutama pada tahun-tahun sebelum 1824.
Pada akhir fase sejarahnya di Pulau Penyengat, warna dan bentuk bendera-bendera itu berubah sekali lagi. Sebagai ilustrasi, bila pada kurun ke 19 bendera kebesaran Sultan Yang Dipertuan Besar warnanya adalah hijau, maka pada kurun ke-20 (mulai berlaku sejak 1905) bendera kebesaran Sultan Yang Dipertuan Besar, baik di darat maupun di laut (di kapal), warnanya adalah putih. Sementara itu, warna bendera kebesaran kerajaan adalah hitam bertengkok putih.
Bahan sumber tentang bendera-bendera kerajaan Johor di Lingga dan Riau pada kurun-kurun yang lalu sesungguhnya sangat langka.
Apatah lagi bahan sumber yang menyuguhkan informasi tertulis dan lengkap dengan gambar reka bentuk serta warnanya. Namun demukian, kita masih beruntung karena perpustakaan Royal Asiatic Society di London, Inggris, masih menyimpan sebuah kumpulan salinan manuskrip yang menurut R.O. Winstedt disalin di Riau (Pulau Penyengat).
Di dalamnya terdapat penjelasan serta gambar bendera-bedera yang dipergunakan oleh kerajaan Johor di Riau dan Lingga sebelum tahun 1824.
Manuskrip Riau-Lingga yang dalam dunia manuskrip Melayu dikenal sebagai Raffles Malay 32 ini sebelumnya adalah koleksi Thomas Stamford Rafffles yang disumbangkan oleh istrinya (Lady Raffles) kepada perpustakaan Royal Asiatic Society tahun 1830.
Dalam kumpulan salinan manuskrip tersebut, penjelasan tentang bendera-bendera yang dipergunakan dalam kerajaan Johor di Lingga dan Riau sebelum tahun 1824 adalah bagian dari sebelas muka surat laporan dan catatan tentang berbagai upacara dan adat-istiadat istana serta hukum-hukum yang terpakai di Riau dan Lingga ketika itu.
Didalamnya dijelaskan aturan penggunaan dan kegunaan delapan bendera kerajaan lengkap dengan gambar corak dan warnanya.
Penjelasan tentang bendera-bendera ini diberi judul, Ini suatu riwayat kisah sekalian menderah-menderah [bendera-bendera] pakaian raja-raja Melayu akan adatnya.
Delapan bendera kerajaan Johor di Lingga dan Riau sebelum tahun 1824 yang dijelaskan dalam manuskrip itu antara lain adalah: Bendera Sultan dan Yang dipertuan Muda, Bendera Raja Indra Bungsu, Bendera Datok Bendahara, Bendera Datok Laksamana, Datok Syahbandar, bendera orang-orang yang dikasihi raja, dan bendera panglima besar-besar kerajaan Johor di Lingga dan Riau.
Berikut ini adalah hasil alih aksara atas catatan tentang bendera-bentera tersebut yang aslinya ditulis menggunakan huruf jawi, atau huruf arab Melayu. Tambahan dalam kurung siku adalah dari saya:
“Ini bendera hijau pakaian Yang Dipertuan Besar. Sekali-kali raja yang lain tiada boleh memakai bendera hijau ini atau bendera putih yang bersurat tengahnya.
Ini bendera kuning pakaian Yang Dipertuan Muda. Sekali-kali raja-raja yang lain tiada boleh memakainya. Dan jikalau cap yang Dipertuan menyurat pakai bendera kuning baharu boleh pakai bendera kuning.
Ini bendera merah tepinya kuning pakaian Raja Indra Bongsu. Sekali-kali tiada boleh orang lain memakainya. Jika ada cap Raja Indra Bongsu menyurat pakai bendera yang demikian itu baharulah boleh dipakai.
Ini bendera merah tepinya hitam pakaian Bendahara. Sekali-kali orang lain tiada boleh memakainya. Itulah adat di zaman dahulu.
Ini bendera merah tepinya pelangir [pelangi] pakaian Laksamana. Itulah adanya.
Ini bendera pelangir [pelangi] pakaian Syahbandar. Itulah adatnya Syahbandar
Inilah bendera putih tepinya hitam pakaian orang dikasih[I] raja-raja
Ini bendera merah pakaian panglima-panglima besar-besar yang boleh pakai”.***