KARENA jabatan yang diamanahkan kepadanya, Menteri Kerajaan Ban mendapat tugas mustahak dari sultan negeri itu. Dia memahami benar tugas dan tanggung jawabnya sebagai menteri. Kesemuanya itu dilaksanakannya dengan senang hati, tanpa sedikit jua berasa terbebani.
Lebih dari itu, sebagai seorang profesional, semua tugas pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya dilaksanakannya secara tepat dan cepat, tanpa membuang waktu barang sesaat. Dia berhasil membuktikan diri sebagai menteri yang cekap dan cergas (tangkas) sehingga rajanya tak perlu menaruh was-was.
Raja Ali Haji rahimahullah menukilkan kisahnya di dalam Syair Abdul Muluk (1845) secara indah dan menarik. Inilah salah satu bait syairnya.
Karena menteri orang berbangsa
Barang kerja semuanya biasa
Habislah berkumpul negeri dan desa
Kepada baginda berbuat jasa
Seperti yang terekam di dalam bait syair di atas, Sang Menteri melaksanakan semua tugasnya dengan penuh tanggung jawab, tanpa berasa terbebani oleh pekerjaannya.
Semua tugas itu, baik berat maupun ringan, dianggapnya sebagai sesuatu yang biasa karena memang harus dilaksanakan secara profesional.
Dia menyadari benar bahwa semakin tinggi pangkat dan jabatannya akan semakin banyak pula tugas yang harus dikerjakan dan semakin besar pula tanggung jawabnya.
Sifat, sikap, dan perilakunya itu menunjukkan bahwa Sang Menteri memang orang yang berbangsa. Artinya, dengan kecergasannya Menteri Negeri Ban itu telah menampilkan dirinya sebagai sosok pemimpin terbilang, yang menjadi tumpuan harapan semua orang. Dengan demikian, sifat, sikap, dan perilaku cergas (cepat, tangkas, dan tak melalaikan pekerjaan) dalam melaksanakan tugas menjadi kualitas budi yang seyogianya dimiliki oleh setiap pemimpin pilihan.
Sebagai petinggi dengan jabatan penting, yang menentukan maju-mundur negeri, Sang Menteri sangat menyadari bahwa kebijakan dan kiat kepemimpinannya berdampak luas kepada negeri dan rakyatnya.
Oleh sebab itu, dia harus melaksanakan amanah yang diembannya dengan strategi yang baik, tak boleh sedikit pun ada yang cacat-celanya. Dengan begitulah, bakti yang dilaksanakannya akan mencapai matlamat sehingga memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat.
Pemimpin sekelas menteri itu sadar akan tunjuk ajar dan pedoman yang tertuang di dalam Gurindam Dua Belas, Pasal yang Ketujuh, bait 3, yang memang harus diperhatikan oleh setiap pejabat agar pekerjaannya beroleh berkat sehingga disukai oleh rakyat.
Apabila kita kurang siasat
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat
Pemimpin dengan kualitas cergas itu memang patut menyandang predikat orang berbangsa (terhormat dan mulia). Apatah lagi, karena sifat kerendahhatiannya, dia tetap menganggap tanggung jawab yang besar yang dibebankan kepadanya sebagai pekerjaan biasa, yang memang harus dikerjakannya secara seksama. Sekali bersedia memikul amanah, berpantanglah dirinya berpaling tadah.
Jabatan dan pangkat tinggi yang disandangnya tak membuatnya lupa diri. Apatah lagi hanya sibuk dengan pencitraan diri, yang boleh berubah ujub dan takabur tanpa disadari. Pemimpin seperti Menteri Negeri Ban itu sadar sesadar-sadarnya bahwa semua sifat dan perangai negatif itu merugikan diri, rakyat, dan negeri.
Bukankah baktinya yang ikhlas dengan mengerahkan semua kemampuan diri akan menentukan nasib bangsa, baik sekarang maupun nanti? Pasalnya, sebagai pemegang amanah kepemimpinan, keselamatan bahtera bangsa menuju dermaga impian sangat ditentukan oleh komitmennya sebagai nakhoda yang mengendalikannya.
“Maka hendaklah ahli al-mahkamah tatkala berhimpun di dalam mahkamah jangan ia ‘ujub dan takabur akan dirinya akan ia mendapat pangkat daripada jabatan menteri atau pegawai seperti meridakan diri ‘ujub yang demikian itu. Akan tetapi, hendaklah tafakur dan insaf pada memandang orang yang berdakwa itu karena adalah mahkamah itu seolah-olah satu bahtera di lautan besar, dipukul ribut yang amat besar. Jika tiada baik-baik ahli bahtera itu membicarakannya, hampir tenggelam binasa dirinya di dalam dunia dan di dalam akhirat,” (Raja Ali Haji dalam Abdul Malik (Ed.) 2013, 63).
Amanat yang tersurat di dalam Tsamarat al-Muhimmah di atas memang tertuju kepada para pemimpin dan orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan yang berhubung dengan peradilan. Akan tetapi, secara tersirat, pesan itu juga berlaku dan begitu mustahak bagi semua pemimpin, apa pun jenis dan peringkat kepemimpinannya.
Semua bangsa yang beradab mengandalkan pemimpinnya dari kalangan orang-orang yang senantiasa tafakur dan sadar diri sehingga selalu bersedia menunaikan baktinya secara cerdas dan cergas, tanpa terlintas sedikit pun untuk bermalas-malas, apatah lagi berbuat culas.
Pemimpin yang cergas menyadari benar akan tunjuk ajar kepemimpinan dari syair nasihat yang terhimpun di dalam Tsamarat al-Muhimmah, bait 36. Oleh sebab itu, dia akan berusaha sekuat dapat untuk menghindari sifat dan tabiat yang akan mendatangkan mudarat.
Yakni jangan lengah dan lalai
Pekerjaan raja dihelai belai
Lengah dengan nasi dan gulai
Akhirnya kelak badan tersalai
Lawan pemimpin yang cergas memang pemimpin yang lengah dan lalai. Amanah yang diberikan kepadanya dicuaikan sehingga membuat dirinya, jangankan menjadi pemimpin, bahkan menjadi rakyat biasa saja pun tak menjanjikan kejayaan.
Obsesinya semata-mata “nasi dan gulai”, sama ada dalam arti denotatif ataupun konotatif. Hanya sebatas itu sajalah matlamat kepemimpinannya sehingga begitu bersara (purnabakti) tak sesiapa pun berupaya mengingatnya. Menurutnya mungkin dia orang yang pandai, tetapi bagi masyarakat yang menderita karena kepemimpinannya, dia tak lebih dari seorang yang lalai dan buruk perangai.
“Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba pada waktu pagi, maka ia menerbangkan debu, dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh. Sesungguhnya, manusia itu sangat ingkar, tak berterima kasih kepada Rabbnya dan sesungguhnya, manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. Dan, sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. Maka, tidakkah dia mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada? Sesungguhnya, Rabb mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka,” (Q.S. Al-‘Adiyat:1—11).
Kualitas keteguhan hati laksana kuda perang dalam Surah Al-‘Adiyat itulah seyogianya dimiliki oleh sesiapa pun pemimpin yang niat dan bakti kepemimpinannya untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Dia tak pernah gentar berhadapan dengan apa atau siapa pun yang berusaha untuk mengalihkan matlamatkan ke arah yang salah. Sandaran pedoman kebenarannya semata-mata petunjuk Allah.
Kepada Allah pulalah dia berlindung agar tak menyimpang dalam melaksanakan tanggung jawab kepemimpinan yang diamanahkan kepadanya. Itulah pemimpin yang cergas dan tangkas dalam arti yang sesungguhnya.
Dalam hal ini, dia senantiasa berupaya agar terhindar dari golongan manusia yang ingkar, yang matlamat kepemimpinannya sekadar saling tak tumpah semata-mata cinta kepada harta dunia. Dia sadar sesadar-sadarnya bahwa Allah telah bersumpah untuk mengganjar pemimpin yang gila harta itu dengan sanksi yang memang sepadan dengan keingkarannya.
Pemimpin yang cerdas dan tangkas ibarat kuda perang yang berlari kencang itu. Seraya menerjang dengan kuku kakinya yang memancarkan api, kuda yang perkasa itu menyerang ke kubu pertahanan musuh, tanpa ragu sedikit jua.
Dalam keadaan serupa itu, tak ada tantangan atau cabaran kepemimpinan yang tak dapat diatasinya. Dia yakin seyakin-yakinnya bahwa Tuhan akan selalu bersamanya sesuai dengan janji dan jaminan-Nya. Bukankah Allah tak pernah ingkar janji?
Memang, dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia, senantiasa ada pemimpin yang benar-benar memiliki keteguhan hati untuk membela marwah bangsa dan negaranya. Dia laksana kuda perang yang siap menerjang apa atau siapa pun yang jadi penghalang niatnya yang mulia. Pemimpin dengan kualitas itu, karena memang telah dijamin oleh Allah, seandainya gugur pun dalam bakti kepemimpinannya, akan meninggalkan nama yang terbilang.
“… Maka kapal itupun keras juga hendak masuk. Maka lalulah berperang semula dengan kubu yang di Teluk Keriting itu. Maka azamatlah bunyinya meriam kapal itu. Maka seketika berperang itu maka kubu Teluk Keriting pun hendak tewas sebab ubat bedilnya habis. Maka menyuruhlah Yang Dipertuan Muda itu mengantarkan ubat sebuah sampan. Adalah yang mengantarkan ubat bedil itu Syahbandar Bopeng, adalah budak yang mengayuhkannya, kepala satu budak anak baik-baik namanya Encik Kalak. Maka sampan itupun (sic)dibedil oleh kapal dari laut dengan peluru penaburnya, maka sampan itupun (sic) tenggelam. Maka lepaslah satu tong ubat bedil itu dipikul oleh orang sampan itu naik ke darat kepada kubu Teluk Keriting itu. Maka dapatlah lima kali tembak, maka dengan takdir Allah taala kapal itupun (sic) terbakar, meletub berterbangan geladak kapal itu ke udara dan segala orang-orangnya pun habislah mati diterbangkan oleh ubat bedil yang meletub itu. Syahadan adalah pada suatu kaul, orangnya ada delapan ratus yang mati dan ada satu komesarisnya yang mati bersama-sama kapal itu….” (Matheson (Ed.) 1982, 204).
Kutipan dari Tuhfat al-Nafis di atas berkisah tentang peristiwa heroik ketika pasukan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah pimpinan Yang Dipertuan Muda IV, Raja Haji, bertempur dengan pasukan VOC-Belanda dalam Perang Riau I di perairan Tanjungpinang.
Ketika perang sedang berkecamuk, pasukan Raja Haji yang bertahan di kubu Teluk Keriting nyaris kalah karena mereka kehabisan peluru. Dalam keadaan genting itulah Baginda menunjukkan kualitas cerdas dan cergasnya tanpa menunjukkan sikap yang panik sedikit pun.
Pasukan Baginda pun menjadi nyaman dipimpin oleh pemimpin hebat seperti itu. Dalam keadaan kalang kabutnya perang itu, Raja Haji memerintahkan prajuritnya mengantarkan pasokan peluru ke kubunya. Bahkan, perahu pengantar peluru itu pun dengan laskarnya dihujani tembakan oleh pihak musuh sehingga perahu dan muatannya itu pun tenggelam.
Untunglah, ada satu tong peluru yang dapat diselamatkan dengan cara dipikul oleh prajurit Raja Haji. Dengan sisa peluru yang hanya dapat dilakukan lima kali tembakan itulah, Baginda dan pasukannya menembakkannya ke kapal musuh.
Dengan inayah Allah, kapal komando VOC-Belanda—Malaka’s Walvaren—itu pun meledak berkeping-keping ke udara kena tembakan Raja Haji dan pasukannya dari kubu Teluk Keriting. Peristiwa 6 Januari 1784 itu, menurut Tuhfat al-Nafis, menewaskan 800 orang serdadu musuh. Itulah kemenangan gemilang pasukan Kerajaan Riau-Johor di bawah pimpinan Raja Haji.
Kemenangan besar Raja Haji dan pasukannya itu, sesungguhnya, karena inayah Allah. Selain itu, kualitas cerdas dan cergas yang dianugerahkan oleh Allah menggenapkan kejayaan kepemimpinan Baginda, baik pada masa perang maupun damai. Itulah bukti bahwa kualitas cergas menjadi indikator kejayaan kepemimpinan.
Rasulullah SAW bersabda, ”Allah SWT mencela sikap lemah, tak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cergas. Namun, jika kamu tetap terkalahkan oleh sesuatu perkara, maka kamu berucaplah, cukuplah Allah menjadi penolongku dan Allah sebaik-baik pelindung,” (H.R. Abu Dawud).
Jelas sudah duduk perkaranya. Keutamaan sifat dan perilaku cergas (cakap dan tangkas) dalam memimpin bukanlah berasal dari rujukan yang sebarang. Pedoman itu langsung berasal dari Tuhan. Unsur keluhuran budi pemimpin itu seyogianya diterapkan secara konsisten dan konsekuen oleh setiap pemimpin.
Hanya dengan begitulah bakti kepemimpinannya bermanfaat sehingga memang patut dikenang orang. Jika tidak, samalah dirinya dengan seseorang nakhoda. Malangnya, dia bukanlah nakhoda cergas, melainkan juragan buruk lagi ceroboh yang membawa bahtera untuk tenggelam.***