Kewujudan jati diri sesuatu masyakat, kaum, dan atau bangsa, antara lain, dapat diamati dari tradisi mereka. Tradisi adalah penerusan peraturan, norma-norma, nilai-nilai, adat-istiadat, dan kebiasaan yang baik di dalam masyarakat secara turun-temurun.
Sesuatu tradisi yang mampu bertahan dalam kurun waktu yang sangat lama membuktikannya mengandungi kearifan. Peran tradisi yang berkearifan dalam memajukan tamadun atau peradaban manusia setara dengan kecerdasan intelektual.
Dalam kehidupan terkini, sering secara sewenang-wenang dan tak adil, tradisi dikonotasikan kuno. Ianya cenderung dipertentangkan dengan konsep modern. Dalam hal ini, kemodernan dianggap simbol kemajuan.
Padahal, di dalam tradisi sangat banyak terkandung pemikiran maju, yang malah di dalam masyarakat modern sekalipun hal itu sering diabaikan sehingga mendatangkan malapetaka. Tradisi pantang mencemari dan merusaki laut, sungai, dan hutan, misalnya, merupakan simbol yang beramanatkan kewajiban manusia memelihara lingkungan hidup.
Alhasil, terpeliharalah kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang antara manusia dan lingkungan alam sekitar sehingga mutu kehidupan terpelihara dengan baik.
Dalam masyarakat modern, bahkan, hanya dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan atau politik, kekayaan alam itu disikat habis tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi keberlangsungan hidup: manusia atau bukan manusia. Berdasarkan kenyataan itu, perilaku manakah yang tergolong primitif dan tertinggal, modern atau tradisikah?
Seyogianya modern memang berkonotasi kemajuan. Pasalnya, modernisasi dilaksanakan berdasarkan pemikiran yang positif untuk memajukan tamadun manusia. Sayangnya, pemahaman, apatah lagi penerapan, konsep modern tak sejalan dengan makna dan semangat modern itu sendiri.
Akibatnya, dengan alasan mengejar kemodernan, justeru yang dilaksanakan perilaku primitif. Keprimitifan itulah sebetulnya yang bertentangan dengan kemodernan karena tak ada kreativitas di dalam keprimitifan itu. Sebaliknya, mempertahankan dan atau mengekalkan sesuatu yang baik dari kreativitas manusia itulah hakikat tradisi, yakni tradisi yang baik.
Sebagai hasil pemikiran manusia, tradisi tak kesemuanya baik bagi kehidupan yang terus berubah. Kepercayaan terhadap kekuatan magis benda-benda, misalnya, tak hanya menyalahi akidah agama bagi umat Islam, tetapi juga dapat menjerumuskan manusia kepada perilaku lalai berusaha sebab mengharapkan bantuan daya magis benda yang diyakini itu.
Tradisi itu harus ditinggalkan atau direvisi mitosnya. Karena apa? Dampaknya akan merusak akidah umat yang agamanya mengharamkan kepercayaan itu dan menghambat kemajuan tamadun manusia.
Percaya terhadap daya magis pada keris, umpamanya, harus diubah suai (dimodifikasi) secara kreatif menjadi mencintai hasil kebudayaan sebagai penyerlah jati diri, benda seni yang menjadi simbol persatuan manusia yang mewarisi budaya berkeris, yang ada dalam hampir setiap masyarakat nusantara, dan lambang penghargaan kepada ketekunan, ketelitian, kerja keras, dan mutu kerja karena proses pembuatan keris dijiwai oleh semangat itu. Bagi pemimpin yang diberi kuasa oleh rakyat, keris menjadi lambang amanah yang dititipkan untuk dijalankan dengan arif, bijaksana, dan adil sehingga rakyat dan negeri terpelihara dengan baik.
Keris menjadi simbol daya magis rakyat yang dipinjamkan kepada pemimpin untuk digunakan sesuai dengan matlamat yang sebenarnya dan tak boleh diselewengkan. Kesemuanya itu, dikurangi nilai negatifnya yang wajib dibuang, mendorong semangat kita untuk menjadi lebih baik sebagai manusia dan memperbaiki kemanusiaan secara terus-menerus.
Hasil pemikiran modern pun tak kurang cacatnya. Ambillah liberalisasi politik dan ekonomi sebagai contoh. Walau konon didasari nilai-nilai demokrasi dan keadilan, ternyata pemikiran itu hanya menguntungkan negara-negara dan bangsa-bangsa maju, yang membuat negara dan bangsa berkembang makin tertekan untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Alhasil, negara berkembang terus dicetak menjadi hinterland bagi negara maju.
Hal itu terjadi karena pada hakikatnya negara dan bangsa itu tak berangkat dari titik dan kondisi yang sama. Akibatnya, yang tertinggal makin tertinggal dan yang “maju” makin gila menguras dan menindas mangsanya. Kekerasan hidup terjadi di mana-mana, bahkan di negara maju pun, terutama yang dialami oleh masyarakat menengah ke bawah.
Demokrasi dan keadilan hanya menjadi eufemisme bagi perilaku yang tak ubahnya lintah darat yang menghisap darah tamadun manusia. Pemikiran itu hanya menghasilkan raja-raja terbesar sampai terkecil dalam konteks politik dan ekonomi secara berjenjang dari negara yang paling berkuasa dan kota terbesar sampai negara dan dusun terkecil di jagat raya ini.
Sistem itulah yang membenarkan kasta-kasta dalam tamadun manusia, yang konon ditentang para penganut dan pengagum demokrasi modern. Pemikiran jahat yang tersirat di sebalik manisnya istilah yang memang diciptakan untuk itulah sesungguhnya yang dipraktikkan dalam kenyataan.
Karena apa? Memang itulah matlamat sesungguhnya atau, lebih lunak, tujuan yang diselewengkan oleh penguasa yang dijiwai oleh semangat kebuasan primitif dan mendustakan kemanusiaan, bahkan ketuhanan. Dalam keadaan seperti itu, harapan dan kebanggaan apakah yang dapat diletakkan pada pemikiran modern? Jawabnya, tiada harapan!
Pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai tradisi nescaya dapat menghindarkan kita dari serbuan buas modernisasi yang menggila. Ambillah hikmah dari kebijakan dan kearifan Sultan Mahmud Riayat Syah mengamanahkan pengawalan regalia, lambang adat-istiadat, kekuasaan, marwah, dan keagungan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang kepada Engku Puteri Raja Hamidah, istri Baginda. Amanah pengawalan tradisi kepada perempuan yang syahda itu merupakan simbol pelbagai kearifan yang menandakan ketinggian budi seorang pemimpin.
Istri harus menjadi pendamping terbaik suami, apatah lagi bagi kepemimpinannya. Senantiasa ada peran istri yang baik di belakang kejayaan seseorang suami. Itu makna pertama dari amanah pengawalan yang dititipkan. Karena pemimpin yang baik harus memiliki pendamping terbaik pula, maka istri yang baiklah yang harus memegang peran utama itu, sama ada di kala suka apatah lagi di kala duka.
Saling percaya suami-istri menjadi awal dan pengawal kejayaan kepemimpinan. Suami tak menempatkan istrinya hanya sebagai penghias tahta belaka dan istri pun tak rela menggiring suaminya ke jurang penyelewengan kekuasaan.
Makna kedua, cinta-kasih kepemimpinan harus menjelma menjadi cinta-kasih kepada negara, negeri, dan rakyat. Penyatuan suami-istri itu pun merupakan lambang penyatuan bangsa (sang suami Melayu asli dan sang istri Melayu-Bugis). Dalam konteks pengawalan regalia, jika tak berada di tangan yang tepat, nasib negara dan bangsa akan tergadai.
Hanya manusia yang berjiwa wira dan negarawanlah yang mampu memegang amanah itu dengan segenap jiwa-raganya. Engku Puteri Raja Hamidah berhasil menjadikan dirinya ikon pengawal tradisi itu dengan cemerlang berkat kepercayaan, cinta, dan kasih suaminya, pemimpin negara, rakyat sekaliannya, dan marwah dirinya sebagai perempuan terbilang.
Dengan menerima amanah itu, seseorang harus sanggup menghadapi pelbagai tantangan atau cabaran karena tanggung jawabnya sangat besar. Engku Puteri sangat menyadari konsekuensi itu dan Baginda menempatkan marwah negara dan bangsanya di atas segala-galanya. Dan betul, dua kekuatan besar yang sedang dimabuk kuasa, Inggris dan Belanda, berkali-kali merayu dan menerornya dengan uang (rasuah, korupsi) dan karena kehabisan akal akhirnya menggunakan senjata. Apakah yang terjadi?
Perempuan mulia lagi perkasa itu tetap teguh, kokoh, tak berganjak. Lalu, dipekikkannya kepada kuasa asing itu, “Kalian tak akan mampu menjaga regalia ini karena ianya marwah bangsa dan negara kami. Hanya kamilah yang boleh dan tahu cara menjaganya dengan benar. Ia harus berada di tangan orang yang setia menggunakan segenap pikiran, hati, cinta-kasih, dan jiwa-raganya untuk mengawalnya.
Jika kalian rampas dariku, ia tinggal menjadi lempengan emas yang tak ada lagi tuahnya, tetapi memang sangat bermakna bagi budaya kalian. Ingat dan camkanlah baik-baik, kalian tak pernah mampu merampas marwah kami!” Sebuah tembakan tepat dan telak yang menembus kepala dan jantung penceroboh dan membuat mereka terkapar membisu dari bidikan seorang perempuan perkasa pengawal tradisi. Engku Puteri menembakkan itu dengan peluru tamadun, yang seyogianya dipahami oleh setiap bangsa yang beradab.
Bayangkan, diperlukan sepasukan tentara yang bersenjata api lengkap hanya untuk menghadapi seorang perempuan yang sangat setia menjaga tradisi bangsanya. Betapakah jika semua perempuan di negeri ini bersikap sama dengan Engku Puteri Raja Hamidah? Tentara dunia manakah yang sanggup mengalahkan mereka? Angkara murka manakah dalam setiap generasi yang mampu melumpuhkan tamadun kita? Politik hedonisme manakah yang dapat meruntuhkan nilai-nilai kehidupan bangsa kita yang telah dianggap baik dari generasi ke generasi? Tak ada! Itulah jawaban tegasnya. Alhasil, bersama suaminya Sultan Mahmud Riayat Syah dan Ayahndanya Raja Haji Fisabilillah, nama mereka sampai hari ini tetap dikenang.
Bangsa Asia lain di negara luar dapat dirujuk sebagai contoh yang representatif. Dalam hal ini, bangsa Jepang dan Korea bolehlah dirujuk. Mereka berhasil menjadi negara maju bukan semata-mata karena ketekunan mereka memburu sains dan teknologi, melainkan juga kesetiaan menjaga, merawat, membina, dan mengembangkan tradisi mereka.
Mereka bangga terhadap tradisi dan tamadun sendiri melebihi tamadun mana pun yang datang menerpa. Malaysia juga, walau pernah cukup lama nyaris hanya mengejar kemajuan sains dan teknologi, kemudian menyadari bahwa mereka tak boleh melupakan tradisi sebagai kearifan yang sangat diperlukan untuk menyelamatkan bangsa mereka.
Jika tak beraral, 2020 Malaysia pun akan menyusul menjadi negara modern yang madani dan maju. Artinya, bangsa-bangsa itu telah dan akan menjadi bangsa modern dengan pemikiran yang maju, tetapi bersamaan dengan itu tradisi mereka pun makin terawat dan berkembang.
Kesetiaan terhadap tradisi yang baik akan menjadikan sesuatu bangsa berkedudukan setara dengan bangsa mana pun di dunia ini. Mereka mampu bersaing dengan aman dan nyaman di dalam rumah besar tamadun sendiri.
Karena mereka juga membuka tingkap rumah besar peradaban itu bagi masuknya udara luar yang segar (nilai-nilai tamadun bangsa lain yang positif), rumah besar tamadun mereka itu akan semakin aman dan nyaman dalam menghadapi pelbagai tantangan atau cabaran yang nescaya pasti juga menerpa.
Namanya juga persaingan, pasti ada tantangannya. Akan tetapi, bangsa yang tak setia dan tak pandai merawat dan mengawal tradisinya akan terombang-ambing dihempas gelombang persaingan budaya global yang setiap saat siap menerkam bangsa-bangsa yang lemah maya (tak berdaya juang, khasnya dalam mengawal tradisi sendiri) sehingga kehilangan jati diri.
Dengan alasan itulah, dalam setiap generasi senantiasa ada orang yang mengabdikan dirinya sebagai penyelamat dan penyambung tradisi yang baik. Mereka berupaya sekuat dapat untuk menjadi penjaga gerbang tuah dan mahligai marwah.
Matlamatnya jelas untuk penyelamatan bangsa. Karena pilihan itu diambil, cabarannya pun silih berganti. Keyakinanlah yang membuat mereka bertahan karena bakti itu sesungguhnya amanah Allah. Amat merugilah orang-orang yang memalingkan nuraninya dari kebajikan yang terpuji itu.
Dalam konteks itu, patut disyukuri bahwa lembaga-lembaga seperti Yayasan Sagang dan Riau Pos Group di Pekanbaru, Riau, Yayasan Jembia Emas, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dan Dunia Melayu Dunia Islam, Melaka, Malaysia, sekadar menyebut beberapa contoh, telah bersedia memberikan anugerah kepada para pelaku seni-budaya sebagai bagian dari pembangunan tamadun. Menurut Raja Ali Haji rahimahullah dalam Tsamarat al-Muhimmah, padahal, perkara membalas jasa rakyat (memberi penghargaan) adalah tanggung jawab kerajaan (pemerintah) sebagai indikator pemerintah yang baik.
Karena setia mengawal tradisi, Yayasan Sagang, misalnya, telah menunaikan baktinya 23 tahun sampai dengan 2018 ini walaupun bukan milik pemerintah. Yayasan binaan Riau Pos Group ini tergolong paling konsisten dan terlama memberikan Anugerah Sagang pelbagai kategori kepada pelaku seni-budaya (perorangan dan lembaga) yang dinilai layak dan patut sesuai dengan baktinya.
Mulai 2016 langkah Yayasan Sagang itu diikuti pula oleh Yayasan Jembia Emas. Oleh sebab itu, upaya kedua yayasan itu dalam mengawal tradisi dan mengembangkan tamadun Melayu di Riau dan Kepulauan Riau sangat patut diapresiasi. Semoga niat baik dan kerja profesional kedua yayasan itu serta kerja keras orang-orang yang berada di depan dan di belakangnya menjadi budi baik yang akan dikenang orang berbilang zaman. Hanya mutu yang mengenal manikam.***