Ramadan Menempa Akhlak Mulia

MANUSIA yang berakal sehat umumnya mendambakan nama yang terbilang. Harapan dan dambaan itu wajar saja karena setiap manusia berhak menyandangnya, bahkan memang dianjurkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.

Kecuali karena rahmat Allah, keterbilangan nama menuntut persyaratan kepada sesiapa pun yang mengharapkan kualitas terpuji itu melekat pada dirinya.

Di antara perjuangan yang mustahak dilakukan oleh manusia adalah memelihara fisik diri. Maksudnya, harus diupayakan sekuat dapat agar tubuh sempurna yang dianugerahkan oleh Allah tak terusik oleh perkara-perkara yang boleh membawa rugi. Pedomannya jelas diberikan oleh Tuhan Yang Maha Menyayangi.

Apabila manusia mampu memelihara akhlak atau budi pekerti yang berkaitan dengan anggota tubuhnya, Insya Allah, akan selamatlah dia dari sebagian serangan bala (malapetaka, bencana, musibah) yang senantiasa siap menerpa sesiapa saja yang leka dan lena.

Secara berurutan, unsur fisik diri yang harus dipelihara itu mulai dari mata sampai ke kaki. Tentang mata atau pandangan, inilah di antara pedoman yang wajib ditaati.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat,” (Q.S. An-Nur:30).

Berdasarkan firman Allah itulah, perihal memelihara pandangan mata dikemukakan oleh Raja Ali Haji rahimahullah dalam karya beliau Gurindam Dua Belas, Pasal yang Ketiga, bait 1.

Apabila terpelihara mata,

Sedikitlah bercita-cita

Mata merupakan organ tubuh yang sangat penting. Fungsinya untuk melihat. Mata harus dipelihara atau dijaga, jangan sampai melihat atau memandang hal-hal yang dilarang oleh agama.

Mata seyogianya melihat hal-hal yang baik-baik sahaja supaya sedikit bercita-cita. Sedikit bercita-cita maksudnya tak memandang segala sesuatu yang dilarang oleh Allah sehingga membawa kerugian pada diri sendiri atau yang menyebabkan rusaknya akidah dan akhlak. Pedoman baik-buruknya tentulah ketentuan agama.

Seperti yang dikemukakan di atas, perintah memelihara pandangan yang bersumber dari mata itu berasal dari firman Allah. Dengan firman-Nya itu, Allah membimbing manusia untuk memelihara pandangan (mata) supaya terpelihara kesucian diri dari apa pun godaan yang dapat merusakinya, terutama godaan zina, yang menyebabkan diri menjadi hina.

Bagaimanakah halnya dengan pendengaran atau telinga? Ternyata, Allah pun telah menyediakan petunjuk-Nya.

“Dan, apabila mereka mendengar perkataan yang tak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tak ingin bergaul dengan orang-orang yang jahil,” (Q.S. Al-Qashash:55).

Kita pun menemukan nasihat tentang penjagaan pendengaran itu di dalam Gurindam Dua Belas. Inilah Pasal yang Ketiga, bait 2.

Apabila terpelihara kuping

Khabar yang jahat tidaklah damping

Kuping atau telinga merupakan organ tubuh yang berfungsi utama untuk mendengar. Seperti halnya mata, telinga pun harus dipelihara atau dijaga, jangan sampai fungsinya diselewengkan.

Manusia harus membiasakan diri untuk menghindar dari mendengarkan berita atau kabar yang jahat.

Tak ada artinya mata terpelihara dari melihat yang terlarang, tetapi telinga dibuka lebar-lebar untuk mendengarkan kabar yang sumbang berdasarkan acuan agama. Dengan terpeliharanya pendengaran, segala kabar atau berita yang jahat takut untuk menghampiri manusia (khabar yang jahat tidaklah damping). Alhasil, fungsi telinga terpelihara yang pada gilirannya akidah dan akhlak tetap terjaga.

Ajaran Islam juga memberikan pedoman supaya manusia menjaga perkataan. Sumbernya berasal dari firman Tuhan.

“Dan, katakanlah kepada hamha-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya, syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya, syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia,” (Q.S. Al-Israa’:53).

Ayat di atas berisi petunjuk untuk berkata-kata dengan baik dan benar. Manusia diperingatkan oleh Allah agar tak terpengaruh oleh godaan syaitan, yang cenderung mengajak manusia untuk berkata-kata yang tak baik lagi tak benar. Perilaku lisan merupakan ujian keterbilangan nama.

Sejalan dengan itu, Gurindam Dua Belas juga membuka rahasia lidah, yang menghasilkan perkataan. Soal lidah itu terekam pada Pasal yang Ketiga, bait 3.

Apabila terpelihara lidah

Nescaya dapat daripadanya faedah

Lidah pun menjadi organ tubuh manusia yang sangat penting. Lidah selalu dikaitkan dengan fungsi utamanya untuk berbicara.

Memang, lidah juga memiliki fungsi lain dan organ yang diperlukan untuk berkata-kata bukanlah hanya lidah. Akan tetapi, lidah dalam budaya kita umumnya dikelindankan dengan fungsinya untuk berbicara atau berkata-kata.

Dengan memelihara lidah, manusia hanya berkata-kata yang baik-baik saja. Diharamkannya, sesuai dengan pedoman agama yang diyakininya, untuk bercakap jahat yaitu mengatakan sesuatu yang tak benar, buruk, atau jelek.

Sesuatu yang benar pun karena memang ada faktanya kalau menurut pertimbangan budi tak patut untuk dikatakan, tak boleh dipercakapkan seperti mendedahkan aib orang lain. Manusia yang mampu mengelola perkataannya dengan baik akan memperoleh pelbagai manfaat di dalam hidupnya. Manusia seperti itu patut ditauladani karena keutamaan akhlaknya.

Selain lidah yang memproduksi perkataan, anggota tubuh yang harus diperhatikan adalah tangan karena begitu mustahak fungsinya. Berhubung dengan itu, Gurindam Dua Belas, Pasal yang Ketiga, bait 4 menyajikan amanatnya.

Bersungguh-sungguh engkau memelihara tangan

Daripada segala berat dan ringan

Tangan dikaitkan dengan fungsinya bagi manusia untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan, sama ada berat ataupun ringan. Tangan yang terpelihara adalah tangan yang hanya mau mengerjakan pekerjaan yang baik-baik saja, pekerjaan yang dianjurkan oleh agama, yang sah, halal, lagi baik.

Bukan sebaliknya, tangan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terlarang, haram, dan buruk, yang dapat membawa malapetaka bagi manusia dan kemanusiaannya.

Bukan pula melakukan pekerjaan, baik ringan maupun berat, yang dapat meruntuhkan sendi-sendi akidah dan akhlak manusia.

Peliharalah tangan untuk mewujudkan akhlak yang mulia agar kita betul-betul mampu tampil dengan sisi kemanusiaannya yang terbaik.

Gurindam Dua Belas ternyata merujuk firman Allah untuk mengetahui rahasia tangan. Di antara pedoman Ilahi itu adalah ini. Dahsyat nian perbuatan tangan yang tak mampu dipelihara.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Katakanlah, “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah),” (Q.S. Ar-Ruum:41—42).

Allah pun ternyata tak hendak manusia menyia-nyiakan perutnya. Oleh sebab itu, Tuhan Yang Maha Penyayang memberikan pedoman-Nya.

“Wahai, anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan,” (Q.S. Al-A’raaf:31).

Kita juga dibawa oleh Gurindam Dua Belas untuk meninjau bagian perut. Kali ini pada Pasal yang Ketiga, bait 5.

Apabila perut terlalu penuh

Keluarlah fiil yang tiada senonoh

Perut di sini dikiaskan kepada fungsinya untuk menyimpan makanan karena ketika makan kita mengisi perut yang kosong sehingga tak berasa lapar.

Bait gurindam itu secara harfiah mengingatkan bahwa manusia harus makan, tetapi tak boleh terlalu kenyang. Berhenti makan sebelum terlalu kenyang merupakan perbuatan terpuji.

Lebih daripada itu, bait ini hendak menekankan bahwa manusia tak boleh mengutamakan hidup ini hanya untuk makan sahaja. Kalau orientasi hidup hanya untuk makan, manusia jadi lupa akan tugas dan tanggung jawab utamanya kepada Allah yaitu untuk mengabdi kepada-Nya dengan mengharapkan rida-Nya.

Manusia yang hanya berorientasi makan menjadi orang yang pemalas dan banyak tidur sehingga lalai untuk melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Malas merupakan fiil, perangai, atau perilaku yang tak senonoh, tak benilai kebaikan.

Berlebih-lebihan yang dimaksudkan oleh firman Allah yang dinukilkan di atas adalah janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh. Dan, sudah barang tentu jangan pula melampaui batas makanan yang dihalalkan. Ayat Allah itu telah diadopsi dengan baik oleh Gurindam Dua Belas.

Ini wilayah yang sangat sensitif dari organ tubuh manusia. Sayangnya, organ ini tak boleh disebut secara terang-terangan kalau kita hendak memelihara lidah, kecuali dalam pelajaran biologi atau fikih.

Gurindam Dua Belas mengunakan kiasan penghalusan anggota tengah. Apakah itu? Kita pasti tahu jawabnya karena anggota yang satu ini berperan vital. Apakah yang tertera dalam Gurindam Dua Belas, Pasal yang Ketiga, bait 6, tentang anggota tengah itu?

Anggota tengah hendaklah ingat

Di situlah banyak orang yang hilang semangat

Jelaslah sudah amanatnya. Manusia harus sanggup mengendalikan nafsu syahwatnya. Pasal apa? Nafsu syahwat yang tak terkendali itulah yang sering menjerumuskan manusia kepada perbuatan dosa, perbuatan yang dilarang oleh Allah.

Orang yang kuat memegang akidah akan mampu mengelola nafsu syahwatnya sehingga kegemilangan dan kecemerlangan akhlaknya menjadi terpancarkan. Itulah manusia yang mampu mencapai derajat utama, yang sanggup mewujudkan citra dirinya sebagai manusia, bukan sekadar dan sebarang animal.

“Dan, orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa,” (Q.S. Al-Mukminuun:5—6).

Firman Allah di atas menuntun manusia agar tak menggunakan “anggota tengah”-nya sesuka hati, ke segala sasaran yang disukai. Hala tujunya harus diarahkan secara lurus kepada yang halal menurut agama.

Jika dilanggar, berarti manusia melakukan perbuatan tercela. Untuk yang disebutkan terakhir itu, jelaslah pula ganjarannya.

Karena cinta-kasih-Nya kepada manusia, Allah juga memberikan pedoman agar manusia memelihara kakinya. Pedoman itu pun diterjemahkan dengan baik oleh Gurindam Dua Belas.

“Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu,” (Q.S. Al-An’am:11).

Firman Allah di atas menuntun kita untuk melakukan perjalanan dengan tujuan yang baik. Tempat yang dituju pun seyogianya baik pula.

Atas dasar pedoman itulah Gurindam Dua Belas mengajak kita memperhatikan kaki. Pasal yang Ketiga, bait 7, menyingkapkan fenomena itu.

Hendaklah peliharakan kaki

Daripada berjalan membawa rugi

Fungsi utama kaki bagi manusia memang untuk berjalan. Akan tetapi, tak semua tempat boleh dijalani. Berjalan dengan menggunakan kaki atau apa pun alat yang dapat membawa kita berjalan tak boleh ke sebarang tempat.

Tempat-tempat maksiat, misalnya, adalah terlarang untuk dikunjungi. Hendaknya, manusia mampu mengendalikan kakinya dari berjalan ke tempat yang mendatangkan kerugian itu.

Kaki pun secara konotatif dikaitkan dengan perjalanan hidup manusia dari alam dunia ke alam akhirat. Gurindam Dua Belas mengingatkan manusia jangan sampai perjalanan hidup kita di dunia ini disia-siakan.

Kalau itu yang terjadi, alangkah ruginya kita sebagai manusia, yang padahal sudah dikaruniai akal budi oleh Allah untuk dapat menimbang baik dan buruk.

Dengan berpedoman kepada ajaran agama, nescaya perjalanan manusia di dunia ini akan bermanfaat, baik dalam kehidupan sementara di dunia ini maupun kehidupan abadi di akhirat kelak.

Baginda Rasulullah SAW bersabda, “Setiap manusia telah ditentukan bagiannya dari berzina. Hal itu pasti akan dirasakannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang. Zina kedua telinga dengan mendengar.

Zina lisan adalah dengan berucap. Zina tangan adalah dengan memukul. Zina kaki adalah dengan melangkah. Hati itu boleh suka dan berkeinginan, sedangkan kemaluan dapat melaksanakan hal itu atau tidak,” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dengan memelihara anggota tubuh, dalam arti memfungsikannya sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya serta menjauhkannya dari larangan-Nya, nescaya manusia akan mampu mencapai derajat keutamaan, berbudi pekerti, dan berakhlak mulia.

Dengan begitu, barulah manusia dapat meraih nama yang terbilang dan jati diri pun pasti terjulang. Manusia dengan kualitas seperti itu umumnya akan terbebas dari terpaan bala. Merekalah orang-orang yang patut dan pasti dikenang sebagai insan pejuang.

Ramadan ternyata memang dianugerahi oleh Allah bagi orang-orang beriman untuk menempa dan meningkatkan kualitas diri dan akhlak mereka.

Sesiapa pun yang mampu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, yang memang lebih-lebih dituntut pada bulan Ramadan, akan keluar sebagai pemenang dalam peperangan besar menghadapi hawa nafsu, yang serangannya senantiasa membara.

Mereka memang patut disebut sebagai manusia utama dengan predikat berakhlak mulia. Intaha. ***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top