Pantun bagi orang Melayu bukanlah semata hanya sebuah karya sastra. Pantun bukan saja sebuah kata-kata atau madah tanpa makna, pantun merupakan khazanah tradisi lisan yang berkembang dan menjadi darah daging bagi orang Melayu.
Sehingga pantun menjadi bagian kehidupan dan peradaban orang Melayu. Bahkan pantun menjadi suatu lambang tanda budi bahasa orang Melayu atau siapapun yang menjadikan pantun bagian dari komunikasi.
Pantun menyiratkan makna kesopanan tersendiri bagi penuturnya, dengan pantun si penutur memiliki kekuatan komunikasi yang mungkin tak secara langsung disampaikan kepada lawan bicaranya yang tujuannya adalah memperhalus budi bahasa dengan cara menyampaikan maksud dalam bentuk pantun.
Pantun-pantun yang dihasilkan oleh masyarakat Melayu tradisional memperlihatkan pemikiran masyarakat yang menyusun pantun tersebut. Pantun merupakan hasil pengalaman hidup yang sederhana, yang dijalin dengan daya intelektualitas dan seni masyarakat Melayu tradisional.
Maka pastinya pantun ialah pemerian latar hidup, filsafat dan penghayatan seni masyarakat Melayu (Buku Kurik Kundi Merah Saga, 2015). Pantun di dalam kehidupan masyarakat Melayu sudah tumbuh dari rumah tangganya.
Disinilah bentuk pantun sebagai sebuah media untuk menenangkan anak yang sedang dibuai oleh nenek, ibu atau kakaknya yang kemudian diramu menjadi bait-bait lagu Melayu.
Dari kecil anak yang sudah mengenal tradisi seperti ini diajarkan berperasaan, berfikir, beretika, bersopan dan berbudi, dan malah menjadi orang yang baik, dan ketika dewasa, anak-anak Melayu yang telah mengenal pantun dari lingkungan keluarganya di mana pantun sebagai tunjuk ajar yang diajarkan oleh orang tua mereka, menjadi nasihat tentang makna hidup, kesabaran, dan nilai-nilai penting yang harus diakrabinya (Kurik Kundi Merah Saga, 2015).
Begitu juga pentingnya pantun bagi gadis-gadis Melayu, pantun meminjam baris untuk mereka bersuara, secara langsung atau tidak langsung, lewat kata-kata dalam pantun, mereka menemukan perasaan yang tumbuh di dalam diri mereka, rasa malu, menjaga diri, kasih sayang atau rasa akan ada bahaya yang mengancam (Kurik Kundi Merah Saga, 2015).
Begitulah pentingnya pantun sebagai salah satu bagian dari komunikasi masyarakat Melayu. Pantun mengajarkan masyarakat untuk bertutur lebih bijak, halus, berbudi pekerti dan bermarwah.
Di dalam sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Tenas Effendy (2002) di dalam sebuah buku menyatakan bahwa “jikalau takut mendapat malu, pantun memantun hendaklah tahu”. Itu artinya bahwa pantun menjadi suatu jiwa bagi masyarakat Melayu.
Dalam alam pergaulan masyarakat Melayu, pantun menjadi suatu media komunikasi yang harus diketahui oleh semua kalangan. Pentingnya pantun dalam komunikasi masyarakat Melayu adalah sebagaimana beberapa tunjuk ajar berikut yang disampaikan oleh Tenas Effendy (2002),
“di mana orang berhimpun,
di sana pantun dilantun,
di mana orang berbual,
di sana pantun dijual
di mana orang berhelat,
di sana pantun melekat
di mana orang beramai,
di sana pantun dipakai
di mana ada nikah kawin
di sana pantun dijalin.
Berdasarkan petuah tersebut, maka urgensi pantun dalam kehidupan bermasyarakat dalam masyarakat Melayu sangatlah penting. Pantun bukan saja milik kalangan pejabat negara, pantun bukan saja milik seniman atau budayawan saja, pantun bukan milik sastrawan atau penyair saja, namun masyarakat Melayu yang memiliki tamadun tinggi mestilah memahami pantun dan menjadikan pantun sebagai jiwa dan nyawa dalam bagian komunikasi.
Pentingnya pantun dalam kehidupan masyarakat Melayu sebagaimana dijelaskan dalam beberapa ungkapan pantun yang disampaikan oleh Tenas Effendy (2002) berikut.
Jikalau gelap orang bertenun
Bukalah tingkap lebar-lebar
Jikalau senyap tukang pantun
Sunyi senyap bandar yang besar
Bila siang orang berkebun
Hari gelap naik kerumah
Bila hilang tukang pantun
Habislah lesap petuah amanah
Kalau pedada tidak berdaun
Tandanya ulat memakan akar
Kalau tak ada tukang pantun
Duduk musyawarah terasa hambar
Pulau Karimun pasirnya putih
Tempat orang menjalin belat
Kalau pantun sudah tersisih
Alamat hilang cermin ibarat
Dengan ungkapan tunjuk ajar tersebut, menyatakan bahwa pantun menjadi identitas bangsa yang menuturkan pantun dari zaman ke zaman.
Namun dengan keniscayaan pantun di dalam kehidupan masyarakat Melayu. Bukan berarti masyarakat boleh sebarang menyusun pantun tanpa kaidah.
Menyusun pantun dengan niat menjelek-jelekkan, memburuk-burukkan orang lain atau menyebar ujaran kebencian, dan atau dengan niat baik namun pantun yang disusun tidak sesuai dengan kaidahnya akan merusak nilai-nilai pantun tersebut. Sikap seperti ini harus dicegah dan dijauhi.
Pantun memang bagian dari komunikasi, namun di dalam pantun juga terdapat lambang-lambang tertentu atau ungkapan yang mengandung pengertian yang luas, terutama dalam pantun-pantun tunjuk ajar dan nasihat.
Tenas Effendy (2002) mengungkapkan bahwa “di dalam pantun terkandung ilmu”. Ungkapan lain yang diungkapkan oleh Tenas Effendy tentang tingginya nilai luhur pantun adalah sebagai berikut.
Di dalam pantun adat
Banyak makna yang tersirat
Di dalam pantun tunjuk ajar
Hakikat ma’rifat sudah mengakar
Di dalam pantun nasihat
Banyak petuah serta amanat
Di dalam pantun tua
Terhimpun kata bermakna
Di dalam pantun berisi
Banyak ilmu sejati
Di dalam pantun dakwah
Terkandung syara’ beserta sunnah.
Artinya masyarakat Melayu tidak boleh menganggap bahwa pantun hanya sebagai sebuah tradisi lisan atau hanya sebuah karya sastra yang boleh disusun sesuka hati tanpa memperhatikan kaidah dan nilai-nilai pantun itu sendiri.
Untuk memahami menyusun pantun atau memahami pantun, Tenas Effendy (2002) menyatakan bahwa “untuk memahami pantun, perlu penuntun”, atau “untuk memahami pantun Melayu, bertanya kepada yang tahu”.
Salah menyusun pantun yang mengakibatkan rusaknya nilai pantun, Tenas Effendy (2002) memberikan amaran bahwa ketika pantun salah disusun atau salah diartikan, maka “hari siang disangka malam, yang baik menjadi buruk” atau “kalau pantun salah disalah artikan, di situlah tempat masuknya setan”. Ungkapan lain yang dijelaskan oleh Tenas Effendy (2002) yaitu,
Bila salah memberikan makna
Petunjuk yang baik jadi celaka
Bila pantun tersalah paham
Yang halal menjadi haram
Yang timbul jadi tenggelam
Lambat laun hiduppun karam
Kalau pantun tersalah arti
Tuah hilang binasa budi
Kalau pantun tersalah tafsir
Tersalah bawa menjadi kafir
Kalau pantun tersalah curai
Alamat kusut takkan selesai.
Kalau salah memahami pantun
Bagai kain tersalah tenun
Kalaupun jadi tidak bertampun
Kalau dipakai aib sedusun
Berdasarkan semua penjelasan dan ungkapan di atas, dapat disimpulkan bahwa pantun merupakan salah satu kekayaan tradisi lisan yang wajib harus dipertahankan dan dijaga.
Sebagai sebuah masyarakat Melayu yang bertamadun, maka menjaga pantun di dalam pola komunikasi dan pergaulan sangat diwajibkan. Semua kalangan masyarakat Melayu harus mengerti dan memahami atau bahkan mewarisi pantun dari zaman ke zaman.
Ketika pantun hilang, maka intelektualitas dan identitas serta jiwa masyarakat Melayu atau masyarakat penutur pantun tersebut menjadi pudar, karena pantun bukan saja kekayaan sastra, namun kekayaan jiwa, minda dan perilaku.
Maka selagi sebuah masyarakat Melayu masih memiliki kekuatan jiwa, minda dan perilaku dalam kehidupan sosial dan budayanya maka pantun harus terus ada. Namun dengan demikian, bukan berarti pantun boleh diucapkan atau disusun sesuka hati tanpa kaidah. Karena pantun merupakan lambang budi bahasa yang tinggi yang di dalamnya terdapat budi pekerti, tunjuk ajar, petuah amanah, petatah petitih, adat istiadat dan nilai-nilai moral.
Sudah selayaknya masyarakat Melayu terus mencintai pantun dan mewarisi pantun sampai abad berabad lamanya. Marilah berpantun, marilah menjadi bangsa yang santun.