Oleh Aswandi Syahri
SYAIR Seligi Tajam Bertimbal (SSTB) untuk pertama kalinya didokumentasikan dan diperkenal secara ringkas kepada dunia pengkajian sejarah dan tradisi sastra Melayu oleh Zaba (Zain Al-‘abidin bin Ahmad) pada tahun 1940.
Oleh para pengkaji kesusastraan Melayu generasi kemudian dan para pakar karya- karya sastra klasik Melayu dari Riau- Lingga, syair ini dikaitkan dengan penulis perempuan paling prolific dari Pulau Penyengat: yakni seorang cucu Raja Ali Haji yang bernama Aisyah Sulaiman atau Raja Aisyah binti Raja Sulaiman (c1870- c1825).
Karya dan kepengarangan Aisyah Sulaiman telah menjadi bahan kajian disertasi Ding Choo Ming dengan judul Kepengarangan Melayu di pinggir abad yang ke 20: Raja Aisyah Sulaiman yang dipertahankan di University Kebangsaan Malaysia (UKM) pada 1994. Oleh UKM, disertasi itu kemudian diterbitkan dengan judul Raja Aisyah Sulaiman Pengarang Ulung Wanita Melayu (1999).
Kajian Ding Choo Ming dengan jelas dan tegas dapat memastikan sebuah syair dan dua buah hikayat sebagai karya Aisyah Sulaiman: Hikayat Syamsul Anuar (1891), Syair Khadamuddin (1926), dan Hikayat Syariful Akhtar (1929).
Lantas Bagaimana dengan Syair Seligi Tajam Bertimbal?
Dalam disertasinya, Ding Choo Ming hanya menyebutkan sepintas lalu tentang SSTB, karena ia memang tak menemukan manuksrip asli maupun salinan manuskrip SSTB sampai disertasi itu terbit pada 1999: “saya masih lagi mencari-cari karya beliau syair Seligi Tajam Bertimbal yang disebut oleh Za’ba pada 1940,” tulis Ding Choo Ming.
Artinya, ketika itu, penjelasan Choo Ming hanya bertumpu pada ulasan singkat Za’ba tentang SSTB. Benarkah SSTB karya Aisyah Sulaiman? Dan apa isinya?
Buku Cetakan Lama
Manuskrip SSTB selesai ditulis di Selat Tebrau, Johor, pada hari Sabtu 20 Mei 1916 Miladiah bersamaan dengan 18 Rajab 1324 Hijriah. Judul lengkapnya, Inilah Syair Seligi Tajam Bertimbal.
Informasi tentang tarikh dan tempat syair ini selesai ditulis dinyatakan oleh penulisn- ya melalui dua bait syair di antara delapan bait syair penutup pada halaman terakhir syair tersebut, yang ditulis sebagai berikut:
“Kathamlah tuan gerangan kami/ Pada dua puluh bulannya Mei/ Seribu sembilan ratus anam belas tamami/ Bersamaan dengan tahun Islami/ Seribu tiga ratus tiga puluh ampat/ Lapan belas Rajab bersama tengat/ Hari Sabtu sempurna didapat/ Selat Tebrau namanya tempat.”
Hingga kini manuskrip asli syair ini belum ditemukan. Yang sampai kepada kita pada masa kini hanyalah edisi cetak tipografi menggunaan huruf Arab Melayu berupa buku cetakan lama yang diklas- ifikasikan oleh Ian Proudfoot sebagai early Malay Printed books (Proudfoot, 1992:466): Buku ini dicetak di Singapura oleh The Colonial Press Pristers pada tahun 1917 dengan ukuran 19,5 cm x 13,5 cm.
Edisi cetak SSTB yang dipaparkan ini adalah fotocopy reproduksi digital koleksi Dr. Othman Puteh, Malaysia. Kandungan isinya ditulis diatas 32 muka surat. Kecuali muka surat terakhir yang hanya terdiri dari delapan (8) bait syair, setiap muka surat lainnya mengandungi dua belas (12) bait syair yang ditulis dalam format dua (2) kolom. Secara kesuluruhan, syair ini mengandungi tiga ratus delapan puluh(380) bait syair.
Siapa Pengarangnya?
Li Chuan Siu melalui bukunya yang berjudul Ikhtisar Sejarah kesusastraan Melayu Baru 1830-1945 (1966:50), Ding Choo Ming (1994 dan 1999), dan beberapa pakar lain, semuanya menyebutkan seorang perempuan bernama Cik Wok Aminah sebagai pengarang SSTB.
Bahkan sebuah buku paling mutakhir yang berisikan ‘kumpulan biografi’ penulis Tanjungpinang berjudul yang Dermaga Sastra Indonesia Kepengarangan Tanjung- pinang dari Raja Ali Haji sampai Suryatati
- Manan (tanpa tahun:130), menyebutkan SSTB sebagai karya Aisyah Sulaiman dengan catatan tambahan sebagai berikut: “Berbeda dengan [tiga karya] sebelumnya, dalam karyanya ini Aisyah Sulaiman tak menggunakan nama asli, tetapi memakai nama samaran Cik Wok Aminah.”
Sesungguhnya, tak ada tertera nama Aisyah Sulaiman atau sebarang nama samarannya dalam buku SSTB: begitu pada sampulnya maupun pada untaian bait syair yang ditulis pada 32 muka surat itu.
Tentang pengarangnya, maklumat bibliografis pada sampul SSTB yang berwarna hijau tersebut, hanya menyebutkan sebagai berikut: “Yang dikarang oleh seorang perempuan di dalam Negeri Johor”.
Lantas, siapakah Cik Wok Aminah? Rujukan utama semua penjelasan tentang pengarang SSTB adalah tulisan Za’ba, yakni sebuah artikel berjudul “Modern Developments” yang menguraikan perkembangan baru dalam dunia sastra Melayu sejak abad ke-XIX hingga abad ke- XX di Riau-Lingga, Semenanjung, dan Singapura. Artikel itu dimuat sebagai pelengkap tulisan R.O. Winstedt yang berjudul A History of Malay Literature dalam Journal Malayan Branch Royal Asiatic Society vol. XVII, Part III, Januari 1940.
Bagaimanakah sesungguhnya penjelasan Za’ba tentang SSTB dan pengarangnya? Konteks penjelasannya adalah perkembangan dunia sastra Melayu di Semenanjung dan Singapura pada awal abad ke-XX. Ia mencatat dua nama penyair (poets) perempuan pada periode itu.
Penyair pertama bernama Sharifah Alawiyyah binti Sayid al-Habshi yang mengarang Syair Nasihat Perempuan; dan penyair kedua adalah seorang perempuan anonim atau tak diketahui namanya, yang menulis Sha’ir Seligi Tajam Bertimbal dan diterbitkan tahun 1917. Za’ba kemudian menambahkan, seorang perem- puan lain (another lady), bernama Che’ Wok Aminah yang diyakini oleh banyak orang sebagai pengarang Seligi Tajam Bertimbal (believed by many to be the author of Seligi Tajam Bertimbal) dan juga dipercayai telah menerbitkan beberapa buah syair.
Sementara itu, pada 1986, sebuah informasi lain tentang pengarang SSTB muncul pula dalam latihan ilmiah (skripsi) di Universiti Kebangsaan Malaysia yang berjudul Ibu Zain: Peranan dan Ketotokohannya dalam bidak kemasyarakatan dan Politik karya Haminih Mariati binti Warimin. Dalam latihan ilmiahnya, Mariati menyebutkan Syair Seligi Tajam Bertim- bal adalah karya bersama Raja Aisyah Sulaiman dan ibu Zain atau Zainun binti Sulaiman (1905-1982).
Perempuan di Mata Perempuan

SSTB adalah sebuah syair yang mengkritik dengan cara yang paling tajam dan keras tentang hubungan sepasang suami-istri yang tak pernah akur. Sang suami punya perempuan simpanan dan selalu ke Singapura, berfoya-foya, menghabiskan uang gajinya. Sebaliknya, sang istri tak pandai menjaga diri dan tak pandai berperan sebagai istri sehingga suaminya memilih ‘bebini muda’.
Secara keseluruhan, isi syair ini adalah ikhwal “pertengkaran antara laki-istri” yang digubah dalam bentuk syair: “Hingga ini sahaja didengari/ Pertengkaran antara laki istri/ Diharapkan jua oleh al-qaghri/ Diantaranya itu hakim berdiri. “Pertengkaran” itu berlangsung keras.
Dihiasi hamburan kata-kata nista, dan mengumpat-ngumpat, seperti dilukiskan dalam bait syair pada muka surat 23: “Berkata itu sambil menunjal/ Kemuka suami tunjuk dihanjal/ Aku sial engkau pun majal/ Aku iblis engkau tu dajal.”
Pengarangnya, yang menyamarkan dirinya sebagai “kalam dan dakwat’, tidak hanya mengisahkan keluh kesah “seorang perempuan Johor” yang kesal dengan fiil suaminya itu. Pengarang SSTB tak hanya memberikan petunjukan tentang membina sebuah rumah tangga yang rukun, tapi juga menjelaskan sebab-musabab konflik yang tidak hanya berpunca dari laki-laki (suami) yang tak pandai mengajari istri, tapi juga bermula dari perempuan (istri) yang tak tahu diri: sebuah ‘syair auto-kritik’ tentang perempuan di mata perempuan.
Seperti terkias dari judulnya, Seligi Tajam Bertimbal, maka dalam syair ini kehidupan rumah tangga dilihat bagaikan sejenis lembing pendeng (javelin) yang kedua ujungnya bermata tajam. Kedua ujungnya dapat merobek dan melukai: karena konflik rumah tangga bukan hanya tersebab laki-laki, tapi ada juga yang disebabkan oleh pihak perempuan.
Sebagai sebuah ‘syair auto-kritik’, SSTB juga menjelaskan sebab-musababnya jauh sampai ke akar-akarnya: yang berpunca dari kesalahan orang tua dalam menididik anak perempuannya.
Perihal itu dijelaskan dalam bait-bait syair pada halaman 21, yang antara lain isinya adalah sebagai berikut:
Istimewa ia anak perempuan/ Lebih dijaga tingkah kelakuan/ Biasakan ia malu-maluan/ Walau kepada teman dan kawan.
Dan juga handai sahabat/ Tiada apa bertemu lambat/ Anak perawan ibu menjabat/ Patut dibungkus seperti belibat.
Demikian lagi kalimah tutur/ Hendaklah ibu bapa mengatur/ Dihadapannya jangan bercakap kotor/ Nanti anakmu menjadi ketor.
Pada bagian yang lain, bait-bait auto-kritik itu dinyatakan dalam untaian syair pada halaman 22, yang isinya sebagai berikut:
Tapi kebanyakan ibunya pula/ Anak perempuan sahaja dibela/ Dandan solek tiada berkala/ Supaya banyak laki-laki gila.
Diberi memakai baju yang jarang/ Segala anggota kelihatan terang/ Sifat yang batin dilihat orang/ Menjadi laki2 nafsunya garang.
Istimewa perempuan janda yang muda/ Pandai keletah mengada-ngada/ Dimana ramai laki-laki ada/ Disahaja keluar beranda-anda.
Liuk lempai gaya berjalan/ Mengenakan lenggok patah sembilan/ Tidak laki- laki memandang malan/ Disitulah terbit malang kesialan
Sehabis mujur ia meminang/ Lamun tidak menjadi lanang/ Inilah ibu tiada mengenang/ Anak yang bodoh akhir tak senang.
Jika ia elok perasih/ Mula berkahwin lakinya kasih/ Bodoh lekat di badan masih/ Ialah jalan jadi selisih.***