DIPASTIKAN Kepulauan Riau mulai krisis budaya. Meskipun pemerintah senantiasa menggalakkan event-event kebudayaan namun kalah secap dengan pengaruh perkembangan zaman. Makan beridang, misalnya. Salah satu tradisi yang telah tergerus dengan pergantian makan ala Barat.
Oleh: Yoan S Nugraha
Hampir di setiap perhelatan, makan beridang selalu menjadi pemandangan yang tak asing di lihat, baik di pesta pernikahan, kenduri kematian, hingga kepada acara sederhana yang melibatkan orang banyak. tapi sayang, pemandangan itu terjadi beberapa puluh dan belas tahun silam. saat ini, makan beridang sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan hal-hal praktis tanpa menimbang manfat dan kerugiuan yang didapat.
Untuk di Tanjungpinang, awak media masih menangkap beberapa sudut kampung yang masih melestarikan adat tradisi nenek moyang dalam hal budaya makan bersama. Selain Penyengat yang memang merupakan central kebudayan melayu, Kampung Bugis, Bintan Dan Pulau Mantang dipastikan masih patuh terhadap tradisi makan beridang.
Salah satu tokoh adat Bintan, Raja Jemaat mengatakan kepada wartawan bahwa makan beridang bukan hanya sebatas menjaga keharmonisan hubungan antar masyarakat namun juga menyimpan nilai-nilai agung yang patut di hargai, “makan beridang itu ada aturannya, tapi di setiap aturan itu juga ada nilai dan maksudnya,” ungkap Tok Raja berkisah.
Dia memaparkan bahwa makan beridang haruslah menggunakan talam bulat sebagai wadah untuk menampung seluruh hidangan. bulat disimbolkan sebagai keharmonisan yang senantiasa terjaga, “tidak boleh persegi, sebab itu kan ada sudutnya, maknanya nanti takut timbul selisih paham,” jelasnya.
Untuk jumlah orang, Jemaat menegaskan bahwa harus berada dalam bilangan ganjil dengan jumlah maksimal sebanyak 5 orang dewasa, atau 7 orang anak-anak, “piring, lauk, nasi, dan air dalam setalam (satu talam, red) itu memang sudah diatur untuk 5 orang, maknanya agar selalu ingat dengan rukun islam dan kewajiban umat islam itu sendiri,” bebernya tegas.
Cara penyajian, makan berhidang ternyata memiliki aturan khusus yakni dengan penyajian awal adalah air minum terlebih dahulu, diikuti dengan nasi putih dan piring, lalu ditutup dengan setalam hidangan, “air selain penghilang haus setelah acara doa juga bermakna kesejukan hati, sementara nasi adalah rezeki dan simbol dari niat silaturahim yang bersih, biasanya ketika nasi sudah disajikan, orang-orang dengan sendirinya membentuk tim sebanyak 5 orang dalam 1 kelompok untuk menyambut setalam hidangan. disini sudah ada komunikasi bathin yang menjadikan keharmonisan antar masyarakat terus terjaga,” terang mantan guru Sekolah Rakyat di era penjajah ini yang menyayangkan tradisi tersebut semakin hilang dimakan zaman.
Dijelaskannya bahwa tradisi makan beridang yang digantikan dengan tradisi nasi kotak atau makan prasmanan memang lebih praktis, namun tidak memberikan manfaat kepada prilaku masyarakat, “lihatlah, manusia sekarang lebih acuh dan buat hal masing-masing, sebab apa? sebab rezeki yang diberi oleh Allah tidak disyukuri secara berjamaah. jangan ikutkan sangat budaya barat tu,” kata dia.
Hal senada juga disampaikan oleh Tokoh masyarakat Kampung Bugis, Adnan yang mengaku akan terus menjaga tradisi makan beridang meskipun dinilai kurang prektis, “makan beridang itu seru, makannya sama-sama, bersukur sama-sama, lebih harmonis. biarlah orang bilang jadul, tapi saya akan terus menjaga tradisi ini,” jawabnya tegas.
Ketika Pemerintah Kota Tanjungpinang mampu melestarikan kembali budaya pemakaian tanjak, maka mungkinkah hal serupa dilakukan dalam menjaga tradisi makan beridang khas budaya Melayu?. ***