Maman S Mahayana*
Dari mana kita memulai pembicaraan tentang usaha memperkuat akar puisi Melayu? Bukankah syair, pantun, mantra, dan gurindam adalah akar puisi Melayu –yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana, sudah mati semati-matinya—? Sekarang mari kita telesuri, bagaimana syair, pantun, mantra, dan gurindam –sebagai akar puisi Melayu—bergerak dan kemudian menggelinding menjadi berbagai macam jenis puisi yang dipublikasikan dalam bentuk cetakan. Mengawali pembicaraan ini, saya kutip dua bait pantun berikut:
Pisang emas dibawa berlayar
Masak sebiji di atas peti
Hutang emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati
Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kita menumpang mandi
Kalau ada umur yang panjang
Bolehlah kita berjumpa lagi
Salah satu ciri khas yang menandai pantun[1] adalah adanya dua larik pertama yang disebut sampiran atau pembayang (Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti; Kalau ada sumur di ladang/ Bolehlah kita menumpang mandi), dan dua larik kedua yang disebut isi (Hutang emas boleh dibayar/Hutang budi dibawa mati; Kalau ada umur yang panjang/ Bolehlah kita berjumpa lagi). Itulah sebabnya, persajakan dalam pantun disebut sebagai a-b-a-b. Hubungan sampiran dan isi, secara semantis sering kali terkesan tak ‘nyambung’; tak ada hubungannya. Perhatikan saja, adakah kaitan antara Pisang emas dibawa berlayar dengan Hutang emas boleh dibayar atau Kalau ada sumur di ladang dengan Kalau ada umur yang panjang? Demikian juga, bagaimana kita menjelaskan hubungan antara Masak sebiji di atas peti dengan Hutang budi dibawa mati atau Bolehlah kita menumpang mandi dengan Bolehlah kita berjumpa lagi?
Sebagai sebuah nasihat untuk menekankan hutang emas boleh dibayar/hutang budi dibawa mati atau Kalau ada umur yang panjang/ Bolehlah kita berjumpa lagi, boleh saja orang beranggapan bahwa hubungan antara sampiran dan isi lebih merupakan anasir psikologis. Orang akan lebih menerima sebuah nasihat atau sindiran jika lebih dahulu diawali pembayang (sampiran). Itulah salah satu alasan, bahwa antara sampiran dan isi sesungguhnya ada kaitannya.
Perhatikan pantun yang terdapat dalam Kisah Pelayaran ‘Abdullah bin ‘Abdul Kadir Munsyi, “Dari Singapura sampai ke Kelantan” berikut ini:
Sumber: Amin Sweeney, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi Jilid 1, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama École Française d’Extrême-Orient, 2005, hlm. 157.
Perhatikan sampiran dalam pantun Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Tampak sekali berbeda dengan pantun pada umumnya. Abdullah Munsyi terkesan menggabungkan pola syair ke dalam bentuk pantun.
<!––nextpage––>
Sekarang perhatikan dua bait syair yang dikutip dari Syair Bidasari:
Dengarlah suatu riwayat
Raja di desa negeri Kembayat
Dikarang fakir dijadikan hikayat
Dibuatkan syair serta berniat
Adalah raja sebuah negeri
Sultan Agus bijak bestari
Asalnya baginda raja yang bahari
Melimpahkan pada dagang berperi
Jelas di sini, dalam syair tak ada sampiran, begitu juga persajakannya: a-a-a-a yang berbeda dengan pantun. Sekarang coba perhatikan beberapa bait gurindam yang dikutip dari Pasal Kesepuluh dan Kesebelas, Gurindam Dua Belas, karya Raja Ali Haji berikut ini:
Pasal Kesepuluh: Pasal Kesebelas:
Dengan bapa jangan durhaka Hendaklah berjasa
Supaya Allah tidak murka Kepada yang sebangsa
Dengan ibu hendaklah hormat Hendaklah jadi kepala
Supaya badan dapat selamat Buang perangai yang cela
Dengan anak janganlah alpa Hendaklah memegang amanat
Supaya malu jangan menimpa Buanglah khianat
Dengan kawan hendaklah adil Hendaklah mulai
Supaya tangan jadi kepil Jangan melalui
Perhatikankanlah pola persajakan pantun (a-b-a-b), syair (a-a-a-a) atau gurindam (a-a b-b) tadi. Hampir semuanya sangat memperhatikan persajakan kesamaan bunyi akhir (a-b-a-b; a-a-a- atau a-a b-b). Apa maknanya dengan memberi penekanan pada kesamaan bunyi akhir itu? Tidak dapat disangkal, bahwa para penyair masa lalu itu, tidak hanya memperhatikan pesan moral atau nasihat yang hendak disampaikan dalam puisi-puisi mereka, melainkan juga mempertimbangkan dengan serius perkara pentingnya keindahan atau kesamaan bunyi.
Di surat-surat kabar awal, ketika pers pribumi mulai bermunculan, syair dan pantun muncul di media massa justru dimaksudkan untuk menambah jumlah pelanggan suratkabar atau majalah tersebut. Oleh karena itu, syair dan pantun ditempatkan di halaman media massa itu. Bahkan, pantun yang dimuat di surat-surat kabar itu, selain berisi teka-teki agar pembaca lain ikut menjawab teka-teki itu dalam bentuk pantun yang juga akan dimuat di suratkabar bersangkutan, juga isinya tentang apa saja yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa aktual pada zamannya.
Perhatikan pantun berkait berikut ini yang dikirim salah seorang pembaca suratkabar Pembrita Betawi.
Oewang tida ada bagikoe
Menoeroet badan ampoenja oekoer
Inilah soerat ganti dirikoe
Berdjoempa dengan toean Redactoer
Menoeroet badan ampoenja oekoer
Tjari kiriman sampei Kamari
Berdjoempa dengan toean Redaktoer
Penghentar dari Pembrita Betawi.[2]
Beberapa suratkabar lain, seperti Bintang Barat (terbit pertama kali 1867) atau Tjahaja India (terbit pertamakali 1881) juga sengaja memuat syair atau pantun yang dikirim para pembacanya di halaman depan.
Pemuatan syair dan pantun di berbagai surat kabar dan majalah itulah yang mengawali perpuisian Indonesia ketika itu. Hampir setiap hari di halaman depan suratkabar dan majalah, syair, pantun, dan hikayat dimuat berdampingan dengan berita-berita ringkas, iklan, daftar harga kebutuhan pokok, jadwal kedatangan dan keberangatan kapal di pelabuhan-pelabuhan terdekat, atau iklan seseorang yang mencari pekerjaan. Begitulah, bukan tanpa pertimbangan media-media massa itu memuat pantun, syair, dan hikayat buah karya para pembacanya yang ditempatkan pada rubrik “Kiriman”. Rubrik “Kiriman” ini tidak hanya memuat karya-karya sastra dari para pembaca media massa bersangkutan, tetapi juga memuat sejenis surat pembaca atau kadang-kala iklan terselubung dari pembaca. Mengenai pemuatan karya sastra, hal tersebut menunjukkan, bahwa sastra, khasnya puisi, sudah sangat akrab dengan kehidupan masyarakat dan sekaligus menegaskan, betapa posisi karya sastra penting artinya bagi media massa yang bersangkutan, dan juga bagi masyarakat pembacanya.
Dalam perkembangannya, syair, pantun, dan hikayat itu, beberapa di antaranya tidak ditulis dengan judul syair atau pantun. Begitu juga, hikayat kadang kala ditulis dengan judul cerita atau riwayat, atau cerita selingan. Cerita pendek (cerpen) Indonesia juga pada awalnya ditulis dengan judul cerita atau selingan, cerita hiburan.
Nah, puisi-puisi Indonesia yang muncul ketika itu, pada dasarnya belum beranjak pada pola syair dan pantun. Kesamaan bunyi akhir itulah yang kemudian merambat dan diikuti oleh para penyair berikutnya. Sangat kebetulan, mereka hidup bersamaan dengan mulai merebaknya majalah dan suratkabar yang memang memerlukan pembaca-pelanggan. Maka, guna menarik pembaca menjadi pelanggan media massa itu, redakturnya sengaja memuat karya para pembaca dengan imbalan gratis berlangganan selama dua minggu atau sebulan. Perlu di sampaikan di sini, para pembaca suratkabar atau majalah itu datang dari berbagai kota di Indonesia, termasuk kota-kota di luar Jawa. Jadi, distribusi media massa itu sudah dapat menjangkau wilayah yang luas.
Perhatikan dengan beberapa puisi berikut ini:
A.D.
KEUNTUNGAN ANAK[3]
1
Meski saya muda
Dicinta Tuhan Allah
Diperanakkan selamat,
Murah Tuhan ya amat,
Sudah kasih saya,
Ma bapa yang percaya!
2
Makan saya sampai,
Bermain boleh capai,
Diajari sekolah,
Yahg kasih Tuhan Allah,
Biar juga saya,
Berbudi dan percaya!
3
Habis siang saya kantuk,
Boleh tidur sampai enak!
Matahari keluar pagi,
Saya buka mata lagi!
Lantas bangun dapat lihat,
Sanak saya masih selamat.
4
Dari itu saya suka,
Hati saya lantas buka!
Suka puji Maha Tuhan,
Dengan unjuk kehormatan,
Saya minta rendah hati,
Tuntun saya sampai mati.
(Bianglala, No. 31, 19 Agustus 1870)
Jika pola persajakan puisi “Keuntungan Anak” memperlihatkan pengaruh syair dengan rima akhir a-a-b-b-a-a atau gurindam dengan rima akhir a-a, maka puisi “Musim Derep, Musim Melajo” berikut ini memperlihatkan kuatnya pengaruh pantun (a-b-a-b). Meskipun dua larik pertama sama sekali tidak mengesankan sebagai sampiran, pola persajakan pantun jelas tidak bisa dielakkan. Oleh karena itu, bait 6 (a-a-b-b), 8 (a-a-a-a), dan 9 (a-a-a-a), boleh jadi dilakukan dengan sengaja atau coba memanfaatkan pola persajakan syair. Jika demikian, maka sebenarnya usaha pelanggaran pada konvensi, sudah dilakukan jauh sebelum para penyair Pujangga Baru menyuarakan puisi baru. Dengan demikian, tidak dapat dinafikan, jejak pantun, syair, dan gurindam, tidak dapat ditinggalkan begitu saja, meski puisi itu sudah mulai mengangkat kehidupan sehari-hari.
M.J.
MUSIM DEREP, MUSIM MELAJO[4]
- Musim motong sudah datang,
Apa kita dengar itu?
Padi di sawah sudah matang,
Kita orang ramai pergi di situ.
- Pada waktu siang hari,
Teranglah cahyanya matahari
Dengar di kanan dan di kiri,
Segala burung pada menyanyi
- Pada tengah malam yang sepi,
Burung kucipet menyanyilah,
Memberi tahu pada kami,
Musim motong sudah datanglah!
- Ini musim penuaian,
Kita dapat badan segar,
Potong dengan kesukaan,
Janganlah sayang suar (keringat)
- Petik! Kumpul, dengan baik,
Janganlah ingat sungut,
Potong padi itulah baik,
Buah-buah kelak dipungut.
- Syukurlah bulan Maulud,
Memberi kita isi perut,
Engkau kasih perasaan,
Allah punya kecintaan.
- Ini bulan memang waktunya,
Hasil tanah dikumpulkan,
Tetapi biar semuanya,
Tuhan jangan dilupakan.
- Tuhan ada pohon selamat,
Yang kasih segala berkat,
Biarlah kita jangan lambat,
Dari dosa lekas tobat.
- Padi yang jeli selamanya,
Tunduk dirinya pada temannya,
Tapi padi yang tiada isinya,
Tinggi hati itu adanya.
- Biarlah kita semuanya,
Seperti padi yang berisi,
Tunduk diri selamanya,
Pada Allah Yang Mahasuci.
(Bintang Djohar, No. 17, 3 Mei 1873)
Puisi berikut ini yang berjudul “Penerka” mengangkat persoalan teka-teki: Pagi-pagi empat kakinya/Kalau tengah hari dua kakinya/Sedang sore-sore tiga kakinya// Jawabannya, silakan pembaca menerkannya. Jadi, puisi ini seperti sebuah permainan yang mengajak pembaca untuk bisa menjawab sebuah teka-teki. Pola persajakannya mengikuti pola persajakan syair: a-a-a-a.
ANONIM
PENERKA
Ayuhai sahabat handai tolanku
Jikalau sudi banyaklah harapku
Akan membantu kepada pikiranku
Akan menjawab pertanyaan guruku.
Karena kepada suatu hari.
Guruku bertanya seraya berperi:
“Ayuhai anak bijak bestari.
Cobalah dengarkan suatu peri.
Kalau kamu dapat akan penerkaku,
Kuberikan kepadamu suatu buku
Bersama dengan buah duku,
Serta keping tiga suku.”
Patik menjawab amatlah suka,
Lalu berkata kepada paduka:
“Katakanlah tuan akan penerka,
Supaya patik coba akan menerka.”
Guru menjawab demikian bunyinya:
’Pagi-pagi empat kakinya,
Kalau tengah hari dua kakinya,
Sedang sore-sore tiga kakinya.
Cobalah pikir di dalam hatimu,
Apa maksud penerka itu,
Supaya jadi kuberikan kepadamu,
Yang kujanjikan tadi itu.”
Setelah hamba mendengar penerkanva
Tidaklah hamba mendapat maksudnya
Hamba berminta seboleh-bolehnya,
Tuan menguraikan apa maknanya.
(Sahabat Baik, No. 6, 1891)
Tampak di sini, bahwa sejumlah puisi yang dimuat di suratkabar atau majalah itu masih memperlihatkan jejak pantun dan syair. Setidak-tidaknya, bentuk yang digunakan masih berkisar pada pembagian baik yang setiap baitnya terdiri dari empat larik, serta pola persajakan syair dan pantun.
ANONIM
SYAIR KIRIMAN[5]
Bissmillah itu mula disebut
Dengan nama Allah Tuhan yang maqbut
Sekalian nabi sudah mengikut
Kita pun baik pula menurut.
Nah, makin kentara kini, bagaimana sesungguhnya pantun, syair dan gurindam itu merayap memasuki apa yang dikatakan sebagai puisi Indonesia periode awal. Padahal, tidak ada perbedaan mencolok antara pantun, syair dan gurindam dengan apa yang disebut puisi Indonesia periode awal itu. Sampai zaman Pujangga Baru, karakteristik pantun, syair dan gurindam masih menempel ketat dalam banyak puisi yang muncul pada masa itu. Jadi, mengapa pula harus ada garis demarkasi yang memisahlan pantun, syair dan gurindam sebagai puisi lama atau tradisional dengan puisi-puisi yang dipublikasikan dalam majalah-majalah itu sebagai puisi lama atau puisi Indonesia periode awal. Apakah penyebutan puisi Indonesia periode awal lantaran puisi-puisi itu dipublikasikan dalam di suratkabar atau majalah dalam bentuk cetak dan menggunakan huruf Latin?
Demikian juga, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali dikotomi lama—baru atau tradisional—modern dalam perbincangan perpuisian Indonesia, sebab rekam jejaknya begitu jelas, begitu mudah dilacak. Jejak pantun, syair, dan gurindam, masih sangat kuat melekat pada puisi-puisi yang dipublikasikan di media massa (majalah dan suratkabar) dalam bentuk cetak dan menggunakan huruf Latin.
Periksa lagi puisi-puisi karya Muhammad Yamin (“Permintaan”[6]dan “Tanah Air”), Mohammad Hatta (“Beranta Indera”),[7] Rustam Effendi (“Bukan Beta Bejak Berperi”), S. Yudho (“Fajar” dan “Akh, Puspa …”) berikut ini, bukankah dengan mudah kita dapat melihat adanya jejak pantun dan syair?
PERMINTAAN
Muhammad Yamin
Mendengarku ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Mendengarkan lagu penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku
Sebelah Timur pada pinggirku
Dilipuri langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku
Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mulai tertabur
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur
TANAH AIR
Muhammad Yamin
Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai:
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatra namanya, tumpah darahku.
Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.
Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudra Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai,
Ia memekik, berandai-randai:
“Wahai Andalas, pulau Sumatra,
“Harumkan nama, selatan utara!
Bogor, Juli 1920
BERANTA INDERA
Mohammad Hatta
Lihatlah timur indah berwarna
Fajar menyingsing hari pun siang
Syamsu memancarkan sinar yang terang
Khayalan tersenyum berpunca indera
Angin sepoi bertiup dari angkasa
Merembus ke tanah, ranting diguncang
Margasatwa melompat ke luar sarang
Melihat beranta[8] indera indah semata
Langit lazuardi teranglah sudah
Bintang pun hilang berganti-ganti
Cahaya Zoehari mulai muram
Hewan menerima selawat alam
Hati pun girang tiada terperi
Melihat kekayaan Subhan Allah
BUKAN BETA BIJAK BERPERI[9]
Rustam Effendi
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Mesti menurut undangan mair
Sarat syaraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma
Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu
Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak na’datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurung lukisan mamang
Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah bingkaian pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun.
FADJAR[10]
S Yudho
Di Timur sinar kejora memancar
Kemerlip bintang bagaikan disebar
Fajarlah mulai.
Gilang gemilang awang dipandang
Kabut meliput berarak melayang
Menarik hati.
Angin sayup meniup dingin terasa
Menyegar badan, menderita lara
Di alam berseri.
Di sawah padi mengalun diayun
Sepoi, mengerosok rimbun di kebun
Di saat sepi.
Kutinjau embun di daun berkilau
Bak nilam di sinar surya menyilau
Di pagi hari.
Mendengar aku peladang berlagu
Menuju ke sawah cangkul dibahu
Bersenang hati.
Berkicau murai menyambut matari
Penawar fajar tanda pagi hari
Lama kunanti.
AKH, PUSPA …..![11]
S Yudho
Bagai seroja
Kenangan beta
Tunduk merokok
Di senja sejuk
Pagi menanti
Si matahari
Semerbak mekar
Karena sinar.
Memeluk dagu
Hati merayu
Teringat kasih
Mengapa sedih
O jiwa! beta
Merasa papa
Melihat kembang
Jauh dipandang.
Pertanyaannya kini: apa yang membedakan pantun, syair, gurindam dengan puisi-puisi para penyair Pujangga Baru itu? Bukankah dalam puisi-puisi itu, pola pantun, syair, dan gurindam, masih dapat kita telusuri jejaknya? Bahkan, puisi Rustam Effendi yang dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane sebagai puisi baru yang mengubur model puisi lama, sesungguhnya merupakan bentuk pantun dengan isi yang lain. Demikian juga, jika dikatakan puisi lama terikat oleh berbagai aturan, soneta karya Muhammad Yamin dan Mohammad Hatta juga mengikuti aturan tertentu?
Dalam sejumlah besar esainya yang dimuat majalah Poedjangga Baroe, Sutan Takdir Alisjahbana[12] dan Armijn Pane dengan tegas menyebut puisi-puisi Pujangga[13] Baru telah menenggelamkan puisi-puisi lama. Meski begitu, jika dicermati benar, sesungguhnya –sejauh pengamatan— para penyair Pujangga Baru itu pun belum sepenuhnya terbebas dari pengaruh pantun, syair, dan gurindam. Lalu mengapa harus ada pembedaan antara puisi lama dan puisi baru jika prosesnya masih kuat memperlihatkan jejak kesusastraan sebelumnya?
Dikotomi puisi Indonesia lama dan baru itu, lalu berkembang menjadi puisi (sastra) tradisional dan modern. Maka, ketika sejumlah pengamat sastra Indonesia[14] menelusuri sejarah sastra Indonesia, tiba-tiba saja titimangsa kesusastraan Indonesia dimulai dari zaman (pra) Balai Pustaka sebagai kesusastraan Indonesia modern dan kesuastraan zaman sebelumnya serta-merta dikatakan sebagai sastra tradisional. Jika secara tegas dikatakan, bahwa akar dan asal bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, maka mestinya akar dan dasar sastra Indonesia juga bersumber dari sana, yaitu kesusastraan Melayu. Dengan demikian, perjalanan kesusastraan Indonesia bersumber dari sana, karena kenyataannya memang begitu. Tetapi, tidak berarti pula karya sastra atau puisi yang tidak ditulis dengan huruf Latin, seperti huruf Pegon, Jawi, atau huruf lain yang bukan Latin, serta-merta dikatakan sebagai puisi lama atau tradisional. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai sastra atau puisi Nusantara yang tidak sama dengan sastra atau puisi Indonesia.
Dengan demikian, “Memperkuat Akar Puisi Melayu” sebagaimana yang menjadi tema Pertemuan Penyair Nusantara IX ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut: (1) mengembalikan pantun, syair, gurindam, mantra sebagai akar perpuisian Indonesia, (2)
menyemarakkan kembali pantun, syair, gurindam, mantra dalam kehidupan perpuisian Indonesia, (3) menempatkan pantun, syair, gurindam, mantra sebagai salah satu materi penting dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Dengan cara demikian, kita berharap, puisi Indonesia kontemporer tidak lupa pada akar dan sumbernya, yaitu puisi Melayu.
Msm/mkl/ppn-9/tjpinang-17-12-16
* Pengajar FIB-UI, Depok
[1]Saya kutip pernyataan R.O. Winstedt tentang pantun: “orang asing yang belum mengenal pantun, boleh dikatakan orang itu belum mengenal rohani dan jalan pikiran orang Melayu yang sebenar.” (Harun Aminurrashid, Kajian Puisi Melayu, Singapore: Pustaka Melayu, 1960, hlm. 4)
[2] Dikutip sesuai aslinya, dimuat Pembrita Betawi, Tahun XI, Saptoe, 16 November 1895.
[3]Dimuat majalah Bianglala, No. 31, 19 Agustus 1870. Sumber: Suyono Suyatno, Juhriah, Joko Adi Sasmito, Antologi Puisi Indonesia Periode Awal, Jakarta: Pusat Bahasa, 2000, hlm. 17—18. Puisi itu sebenarnya hampir serupa dengan gurindam. Dalam puisi-puisi lainnya yang dikatakan sebagai: Puisi Indonesia Periode Awal itu, jejak pantun, gurindam dan syair, masih nemplok begitu lekat. Jadi, apa alasannya puisi-puisi itu dikatakan sebagai Puisi Indonesia Periode Awal, jika hakikatnya serupa dengan pantun, syair, dan gurindam? Tidak ada penjelasan tentang itu. Apakah karena puisi-puisi itu ditulis dengan huruf Latin dan dipublikasikan di majalah atau suratkabar yang menandai periode awal?
[4] Puisi ini terdiri dari 10 bait dan setiap baitnya terdiri dari empat larik. Dimuat di majalah Bintang Djohar, No. 17, 3 Mei 1873. Sumber: Suyono Suyatno, dkk.
[5] Syair ini terdiri dari 69 bait dan setiap baitnya terdiri dari empat larik. Sekadar contoh kasus, saya hanya mengutip satu bait. Dimuat di majalah Sahabat Baik, No. 6, 1891. Sumber: Suyono Suyatno, dkk.
[6] Dimuat Jong Sumatera, Februari—Maret 1920.
[7] Dimuat Jong Sumatera, November 1921. Dikutip dari ulasan Armijn Pane.
[8] Armijn Pane memberi catatan tentang kata beranta sebagai berikut: semacam perahu besar; beranta indera, maksudnya langit (Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe” Poedjangga Baroe, No. 4, Th. I, Oktober 1933, hlm. 112—119.
[9] Pertjikan Permenungan, Djakarta: Poestaka Ra’jat, 1934.
[10] Poedjangga Baroe, No. 8, Th. II, Februari 1934, hlm. 232.
[11] Poedjangga Baroe, No. 10, Th. II, April 1934, hlm. 298.
[12] Periksa Pengantar Sutan Takdir Alisjahbana dalam Puisi Lama, Djakarta: Pustaka Rakjat, 1961; cetakan pertama, 1948. Bandingkan dengan pengantarnya pada dalam Puisi Baru, Jakarta: Dian Rakyat, 1979; Cetakan Pertama, 1946.
[13] Penamaan Pujangga, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, untuk membedakannya dengan bujangga (sastrawan keraton, Jawa) dan penulis syair atau pantun. Bagi Alisjahbana, pujangga baru adalah penulis (sastrawan) baru yang menyuarakan sukma, kalbu, jiwa yang dinamis, sedangkan pujangga lama segalanya dibelenggu oleh suasana yang statis yang tidak menunjukkan spirit untuk maju dan berkembang. Kini, penulis puisi (yang baik) dikatakan juga sebagai penyair yang sebenarnya bermakna penulis syair.
[14] Hampir semua penulis sejarah sastra Indonesia membuat garis tegas antara sastra Indonesia tradisional dan sastra Indonesia modern. Maka pernyataan Ajip Rosidi tentang kapankah kesusastraan Indonesia lahir, menegaskan garis pemisah, seolah-olah sastra Indonesia lahir tanpa proses. Tiga buku Amin Sweeney tentang Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menjelaskan hubungan perjalanan sastra Melayu menuju sastra Indonesia. Kelalaian para penulis buku sejarah sastra Indonesia itu—termasuk A Teeuw dan H.B. Jassin—terutama disebabkan lantaran penelusurannya dimulai pada zaman Balai Pustaka (1908; 1917), dan tidak coba melacak jauh ke belakang, ke khazanah sastra yang dimuat berbagai majalah dan suratkabar yang terbit akhir abad ke-17. Akibatnya, dalam pengajaran sastra di sekolah, bahkan dalam perbincangan tentang sejarah sastra (Indonesia) dikotomi tradisional—modern itu masih saja terjadi.