KEMERIAHAN musik Eropa di istana Riau-Lingga terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah (1885-1911). Bermula sejak ia masih bermastautin di Daik-Lingga, dan terus berlanjut sehingga mencapai puncak ‘gairahnya’ ketika pusat pemerintahannya pindah ke Penyengat pada akhir 1899 atau awal 1900.
Pada periode sultan yang penghabisan ini, musik Eropa atau musik cara Holanda menurut istilah Raja Ali Haji, bukan lagi suatu yang asing. Dan bukan lagi ‘tamu’ di istana Riau Lingga. Ianya telah menjadi bagian penting dalam peristiwa-peristiwa seremonial istana. Atau dengan kata lain, musik cara Holanda itu telah menjadi bagian dari istana Riau-Lingga dalam arti yang sesungguhnya.
Kemeriahan itu, antara lain, tergambar dalam hubungan Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah dengan sahabat-sahabat Eropanya di Singapura. Beliau kerap menghadiri acara persembahan musik dan nyanyian ala Eropa atau majelis tari-menari alias dansa (ball) yang dikemas dalam liedertafel (pertemuan anggota sebuah perkumpulan elit yang diselilingi dengan pesta makan dan persembahan musik dan nyanyian): seperti pernah diselenggarakan oleh Teutonia Club, sebuah perkumpulan elit orang-orang Jerman di Singapura.
Bahkan sekali waktu, pada tahun 1905, Sultan Abdulrahman Muazamsyah juga pernah mengundang anggota Teutonia Club ini untuk menghadiri acara serupa yang diselenggarakan di istananya di Pulau Penyengat.
Apresiasi sang Sultan terhadap musik Eropa juga pernah disaksikan oleh Hendri Borel, seorang pegawai urusan bangsa Cina di Tanjungpinang, yang pernah bertandang ke istananya di Pulau Penyengat. Dalam sebuah tulisannya tentang kunjungan pada tahun 1904 itu, yang dipublikasikan dengan judul “Een Bezoek Bij den Sultan van Lingga” (Sebuah kunjungan kepada Sultan Lingga di Pulau Penyengat) pada tahun 1905, Hendri Borel bercerita panjang lebar tentang istana Sultan Abdulrahman Muazamsyah dan segala isinya.
Menurut Hendri Borel, sang Sultan mempunyai sebuah kursi ‘ajaib’ yang dapat memainkan alunan musik Eropa apabila bagian tertentu dari kursi itu disentuh. Ada semacam tombol khusus di kursi yang apabila disentuh, mengalunlah nada-nada klasik Eropa yang membuat Borel tak henti-henti terpana
Nah, pembaca, tulisan berikutnya akan menjadi bagian terakhir serial ini. Nanti akan dijelaskan hal ikhwal musik Eropa di Istana Riau-Lingga sejak tahun 1885 hingga menjelang pemakzulan Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah pada bulan Februari tahun 1911. ***
ASWANDI SYAHRI, SEJARAWAN