Oleh : Rida K Liamsi
Ada sebuah ungkapan yang sangat dikenal di dunia Melayu : “ Kalau tak pandai berpantun , jangan mengaku orang Melayu “.
Adagium ini menunjukkan bagaimana pantun telah memegang peran penting dalam kehidupan sehari hari masyarakat Melayu. Bagi mereka , jika hendak dipandang sebagai orang yang berilmu dan berpengaruh, atau “ hendak berada di tengah balai ( tempat terhormat ) harus tahu bagaimana menafsir pantun, bagaimana cara membalas pantun. Bagaimana cara mengemas pantun.
Bagi masyarakat Melayu, pantun itu sudah menjadi pakaian sehari hari. Pantun itu harus dipelajari. Cara berpantun dan pantun yang disampaikan, akan menunjukkan kadar dan kelas nya dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya, berpantun itu tidak boleh sembarangan. Ada aturan, dan kaedahnya, terutama pada sampirannya . Berilmu atau tidak yang berpantun . Jika tidak , dia akan ditertawakan orang.
Lihat pantun ini :
“ Pucuk pauh delima batu
Anak sembilang di tapak tangan
Biar jauh beribu batu
Hilang di mata di hati jangan “
Ini pantun lama yang sangat dikenal di dunia Melayu. Bukan saja karena isinya yang menunjukkan bagaimana perasaan rindu itu tak kenal batas dan waktu , tapi juga sampirannya yang sarat makna. Ikan sembilang itu punya sengat yang berbisa, tapi kenapa boleh diletakkan di telapak tangan ? Ternyata pucuk pauh dan delima batu itu adalah penawar racun. Ini contoh sampiran pantun yang sangat berkualitas dan sampiran ( pembayang ) yang menunjukkan pencipta pantun itu, berilmu
Karya sastera yang demikian itu, menempatkan pantun sebagai salah satu karya sastra lisan dunia melayu paling tua. Lebih tua dari syair dan genre sastra lama. Sejak lahir orang melayu sudah diajar berpantun, karena lagu nina bobok anak anak mereka adalah yang sarat dengan pantun. Pantun nasehat , pantun kasih sayang , dan lainnya.
Pantun memang salah satu sarana berkomunikasi dalam masyarakat Melayu. Cara berbahasa, cara bertutur kata , cara menyampaikan pendapat dengan santun, melalui kiasan , dengan sindiran, ajuk mengajuk , dan juga boleh menjadi sebuah “ tamparan “ yang memalukan. Menghina dengan pantun.
Pantun termasuk karya sastera melayu lama yang bermula dari tradisi lisan. Setelah ditemukan tradisi tulis melalui huruf arab melayu dan huruf rumi ( latin ) , pantun mulai ditulis dan dibukukan. Tapi dalam praktek budaya melayu sehari hari pantun tetap disampaikan secara lisan. Yang dipergunakan dalam percakapan sehari hari , dalam acara perkawinan , dalam cara berkasih sayang , dalam pidato dan bahkan dulu , sebelum berperang juga dimulai dengan berpantun. Untuk membakar semangat, untuk mengejek dan memanas manaskan lawan. Seperti dulu dalam perang Raja Kecik ( Siak ) dengan Tengku Sulaiman ( Riau ) dalam perebutan tahta.
Sekarang tradisi berpantun masih hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Melayu, terutama di Kepulauan Riau. Terutama tradisi perkawinan . Menghantar mas kawin dan lainnya , juga dilakukan dengan pantun. Berbalas balas antara pihak pengantin lelaki dan perempuan . Sumbang kalau perkawinan tidak ada tradisi berpantun. Pemantun merupakan profesi yang sangat diminati.
Sekarang pantun sudah menjadi Warisan Dunia Tak Benda. Dan Orang pertama di dunia Melayu yang mengumpulkan dan menerbitkan pantun sebagai buku adalah Engku Muda Haji Ibrahim, seorang pembesar di kerajaan Melayu Riau yang hidup sezaman dengan Raja Ali Haji, dan kemudian disebut sebagai bapak pantun melayu moderen. Tanjungpinang mengabadikan pantun sebagai ikon kota . Tanjungpinang kata gurindam dan negeri pantun.