SATU di antara destinasi penting di Kerajaan Negeri Johor, Malaysia, tentulah Sungai Johor. Sungai ini menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa Melayu di bawah Kesultanan Johor-Riau atau Riau-Johor. Di sepanjang sungai ini pula terdapat makam para pemimpin Melayu yang namanya sangat masyhur.
Di hulu Sungai Johor bersemayam Laksemana Megat Seri Rama atau Laksemana Bentan. Makam beliau terdapat di Kampung Kelantan, kurang lebih 2 km dari Bandar Kota Tinggi. Megat Seri Rama mencapai jabatan tertinggi sebagai laksemana pada masa Sultan Mahmud Syah II.
Megat Seri Rama wafat Jumat, 30 Oktober 1699, setelah beliau menikam Sultan Mahmud karena menuntut bela atas kematian istrinya, Dang Anum, yang dibunuh oleh Tun Bija Ali atas perintah Sultan Mahmud, 23 Oktober 1699. Pasalnya, Dang Anum makan seulas nangka milik sultan karena mengidam ketika hamil anak sulung.
Megat Seri Rama wafat karena kena lemparan keris Sultan Mahmud di ujung ibu jari kakinya dan disumpah muntah darah oleh Baginda Sultan. Sumpah itu berlaku terhadap tujuh keturunan Laksemana, tak boleh menginjakkan kaki di Kota Tinggi atau Johor Lama, yang kalau dilanggar akan muntah darah.
Sultan Mahmud juga mangkat karena ditikam oleh Laksemana Bentan ketika dijulang. Itulah sebabnya, setelah mangkat baginda dikenal sebagai Sultan Mahmud Mangkat Dijulang. Peristiwa itu tergolong paling tragis dalam sejarah Melayu sepanjang masa, jauh lebih tragis daripada perlawanan Hang Jebat terhadap Sultan Melaka. Apatah lagi, jika dikaitkan dengan rangkaian peristiwa yang terjadi kemudian. Pusara Laksemana Bentan dan istrinya, Dang Anum, bersanding mesra di Kompek Makam Kampung Kelantan, Hulu Sungai Johor.
Di hilir Kampung Kelantan terdapat Kampung Makam Kota Tauhid. Di Kampung ini ada dua makam penting, Makam Sultan Mahmud Mangkat Dijulang dan Makam Tun Habib Abdul Majid. Kota Tauhid menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Johor-Riau ke-7, yaitu pada era pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III (1623-1677) dan Sultan Mahmud Syah II (1685-1699).
Kala itu bendaharanya (pentadbir setingkat di bawah sultan) adalah Bendahara Seri Maharaja Tun Habib Abdul Majid dan Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil. Kota Tinggi masa itu didatangi oleh banyak peniaga dari pelbagai negara seperti Tiongkok, Inggris, India, Arab, Eropa, dan Kepulauan Nusantara (Kepulauan Melayu). Portugis pernah beberapa kali menyerang Kota Tinggi, tetapi dapat dikalahkan oleh tentara Johor-Riau. Komplek Makam Sultan Mahmud Mangkat Dijulang berdiri tesergam di samping kiri Masjid Kampung Makam dan yang termegah di sepanjang Sungai Johor.
Lebih ke hilir lagi, 3 km dari Kota Tinggi, terdapat Kota Batu Sawar. Kota ini dibangun setelah Kesultanan Johor-Riau kalah melawan Portugis pada 1587. Batu Sawar menjadi pusat pemerintahan Johor-Riau semasa Sultan Alauddin Riayat Syah III (1597-1615). Di sini juga berdiri istana Sultan Abdul Jalil Syah III (1623-1677). Batu Sawar pun banyak didatangi pedagang mancanegara ketika menjadi pusat kesultanan.
Pada 1608 tentara Potugis menyerang kota ini, tetapi kuasa asing itu dapat dikalahkan oleh tentara Johor-Riau. Pada 1613 Aceh dengan pasukan yang besar menyerang Batu Sawar sehingga terjadi peperangan 29 hari. Sultan Alauddin Riayat Syah III, Raja Abdullah adinda sultan, dan Tun Seri Lanang ditawan dan dibawa ke Aceh. Pada 1673 tentara Kesultanan Jambi pula menyerang Batu Sawar yang menjadi tempat bersemayamnya Sultan Abdul Jalil Syah III.
Batu Sawar tempo dulu laksana “dara jelita” yang senantiasa membangkitkan nafsu pihak luar untuk memilikinya dengan pelbagai cara dan helah. Kesultanan Johor-Riau-Pahang-Lingga memang senantiasa menawan, tak dulu tak sekarang, begitulah adanya. Kini di Batu Sawar terdapat Makam Sultan Alauddin Riayat Syah II, putra Sultan Mahmud Syah I Melaka. Baginda membangun negara Melayu-Baru, Kesultanan Johor-Riau, yang awalnya berpusat di Johor setelah Kesultanan Melaka direbut oleh Portugis.
Sekira 7 km dari hilir Bandar Kota Tinggi terdapat Kuala Sungai Seluyut dan Selat Medina. Di ketinggian 204 kaki dari paras air terdapat Kota Seluyut di atas Bukit Seluyut. Kota Seluyut menjadi pusat pemerintahan Johor-Riau semasa Sultan Muzaffar Syah (1564-1570). Di kota ini pulalah Tun Muhammad atau Tun Seri Lanang, penulis buku Sulalatu’s Salatin atau Sejarah Melayu, dilahirkan. Sebagai pusat pemerintahan, Kota Seluyut hanya bertahan 7 tahun karena kemudian Sultan Ali Jalla Abdul Jalil memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanah Putih sekira 2 tahun, selanjutnya dipindahkan pula ke Johor Lama.
Di ketinggian Bukit Seluyut selain terdapat tinggalan Kota Seluyut, juga dijumpai Komplek Makam Tiga Beranak. Di makam itu bersemayam Sultan Muzaffar Syah, Raja Fatimah (adinda Sultan Muzaffar), dan Sultan Muzaffar Syah II atau Marhum Seluyut yang mangkat semasa kecil. Di komplek yang terpisah terdapat satu makam lagi, yaitu Makam Bendahara Seri Maharaja Tun Isap Misai. Di antara tinggalan bersejarah di sepanjang Sungai Johor, tantangan terbesarnya di Bukit Seluyut ini. Pasalnya, peziarah harus menaiki bukit yang agak terjal. Walaupun begitu, kesannya tetaplah menyenangkan dan membahagiakan.
Lebih ke hilir terdapat Kota Panchor, di atas Bukit Tukul, 14 km dari Bandar Kota Tinggi. Posisinya di tebing kiri sungai yang menjadi saksi bisu pelbagai peristiwa bersejarah yang dilakoni dan dialami oleh bangsa Melayu ratusan tahun silam. Di sini terdapat Makam Sultan Abdul Jalil Syah I, Sultan ke-4 Kesultanan Johor-Riau (1570-1571) dan Makam Tengku Dara Putih. Itulah di antara tinggalan bersejarah yang ada di Kota Panchor.
Panchor menjadi pusat pemerintahan pada masa Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1699-1718). Sebagai bandar perdagangan, Panchor tempo dulu banyak dikunjungi pedagang dari Eropa, Asia, dan nusantara. Kota ini pada 1718 diserang oleh Raja Kecik, yang mengaku sebagai putra Sultan Mahmud Mangkat Dijulang. Sultan Abdul Jalil beredar ke Pahang, kemudian mangkat dibunuh oleh orang kepercayaan Raja Kecik di Kuala Pahang.
Ke hilir lagi terdapat Bandar Johor Lama yang melegenda. Kota ini terletak sekira 27 km dari Bandar Kota Tinggi. Jika melalui jalan darat dari Kota Tinggi-Pengerang-Pekan Teluk Sengat, jaraknya 30 km. Di kota ini hewan laut yang sangat dikenal, belangkas, masih lestari dan menjadi makanan khas yang disukai seperti halnya ketam.
Kota Johor Lama terletak di puncak bukit. Sebagian tembok kotanya terletak di Tanjung Batu. Johor Lama didirikan pada 1540 oleh Sultan Alauddin Riayat Syah II (1529-1564). Bagindalah Sultan Johor-Riau pertama, yang mendirikan Kesultanan Melayu itu setelah ayahanda baginda, Sultan Mahmud Syah I Melaka, mangkat di Pekan Tua, Pelalawan, Provinsi Riau sekarang.
Pada era pemerintahan Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (1571-1597) Johor Lama kembali dijadikan pusat pemerintahan. Antara 1576 dan 1578 Portugis menyerang kota ini. Pasukan penjajah itu dapat dikalahkan oleh tentara Melayu. Pada 15 Agustus 1587 Potugis kembali menyerang dan kali ini dari tiga penjuru. Terjadi pertempuran sengit satu bulan. Malangnya, “Si Gadis Jelita” Johor Lama dapat direbut oleh penjajah itu.
Setelah itu, Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II memindahkan pusat pemerintahan ke Batu Sawar. Setelah Batu Sawar itulah, pada 1678, pusat pemerintahan Kesultanan Melayu ini, atas titah Sultan Abdul Jalil Syah III, dipindahkan ke Sungai Carang, Hulu Riau, di Tanjungpinang, dengan matlamat yang lebih besar. Dari sinilah nama pembuka negeri di Hulu Riau itu sejak 1673, Laksemana Temenggung Paduka Raja Tun Abdul Jamil, terus bersinar.***