KETIKA masih kanak-kanak, Raja Ali Haji, pahlawan nasional di bidang bahasa ini pernah nyaris meregang nyawa pada sebuah ekspedisi ke Jepara bersama Raja Ahmad, ayahnya. Bahkan saat itu, sampai sudah disiapkan sebuah keranda untuknya. Namun, Allah berkehendak lain. Raja Ali Haji seketika sembuh dari penyakit parah itu dan kemudian tumbuh dewasa menjadi seorang pujangga yang gilang-gemilang.
Dikisahkan, seusai traktat London 17 Maret 1824 disahkan, Raja Ahmad menemui Yang Dipertuan Muda Raja Ja’far, dan Engku Puteri. Kepada mereka, Raja Ahmad menyampaikan hajatnya yang hendak menunaikan fardu haji.
Sebagaimana termaktub dalam Tuhfat al-Nafis, permohonan Raja Ahmad itu dikabulkan: “Baiklah engkau pergi berlayar ke Tanah Jawa mencari belanja-belanja dahulu,” kata Engku Puteri kepada adiknya, Raja Ahmad. Sedangkan abangnya, Raja Ja’far berkata ketika niat akan berangkat itu disampaikan kepadanya, “Baiklah bawa keci [kapal layar] yang engkau beli itu. Apa gunanya diam sahaja?”
Dengan modal dari sang kakak dan diperlengkapi dengan sebuah keci dari Yang Dipertuan Muda Raja Ja’far, Raja Ahmad pun berangkat menuju pantai utara pulau Jawa. Turut dibawa serta dalam pelayaran berhari-hari itu Raja Ali, anaknya.
Dalam perjalanan itu, Raja Ahmad turut dibekali pula dengan sepucuk surat dari Yang Dipertuan Muda Riau kepada Gubernur Jenderal yang diberikan melalui residen di tempat persinggahan, ia diminta oleh residen Semarang pergi ke Betawi. Raja Ahmad menolak pergi ke pusat pemerintahan Hindia Belanda itu karena seperti katanya:
“Yang saya berlayar ke Jawa ini bukannya membawa utusan, sekadarkan membawa perkiriman saja,” dan “Karena saya berdagang mencari-cari belanja hendak pergi haji, tiada boleh saya lengah-lengahkan lagi.”
Di Semarang, Raja Ahmad diundang seorang bangsawan Jawa yang disebutnya “Dipati Terbaya”, seorang yang menguasai bahasa Belanda, Inggris, Arab, dan Bengali. Sengaja dicatat keahlian berbahasa asing orang ini karena ilmu bahasa senantiasa merupakan kepandaian idaman orang-orang pada masa itu.
Dari Semarang, rombongan dagang Raja Ahmad itu lalu meneruskan pelayaran ke arah timur. Ketika mereka sampai hampir ke Jepara, Raja Ali jatuh sakit. Boleh dikata sakitnya cukup parah. Karena jika tidak, tidak mungkin Raja Ahmad di kota yang terkenal dengan pertukangan kayu dan ukiran itu sampai memesan sebuah keranda untuk anaknya. Ia memperkirakan usia anak laki-lakinya itu tidak lama lagi.
Tapi Allah punya kehendak lain. Begitu keranda itu diturunkan ke kici kenaikannya, Raja Ali mendadak sembuh dari penyakit yang konon hampir lepas dari tangan itu. [Tidak dijelaskan lebih detil oleh Hasan Junus dalam buku Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX mengenai penyakit parah yang mendera sang pujangga.]
Pada orang Melayu, ada kepercayaan mengatakan bahwa apabila orang yang disangkakan meninggal ternyata tidak, orang itu kononnya akan berumur panjang. Raja Ahmad sendiri sepulangnya dari Betawi yang kedua kali dulu jatuh sakit demikian parah sehingga ada kabar bahwa ia telah meninggal dunia. Nyatanya, bapak-anak itu mengalami hal yang sama, dan keduanya memang diberkahi dengan umur yang panjang.
Dalam catatan kaki buku Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX, disebutkan bahwasanya Raja Ahmad meninggal dunia pada usia 103 tahun menurut perhitungan tahun Hijriyah atau 100 tahun jika mengacu perhitungan tahun masehi.***
Bacaan: Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX karya Hasan Junus.