MAHMUD satu ini adalah sang pembangkang tulen. Datuk Seri Lela Budaya Rida K Liamsi, dalam bukunya biografi sejarah Mahmud Sang Pembangkang, menyebut ia sangat menjaga marwah Kemaharajaan Melayu, kendati kala itu Belanda sudah mengganggap wilayah Kemaharajaan Melayu Lingga-Riau-Johor-Pahang merupakan kerajaan pinjaman dari pemerintah Hindia Belanda sebagaimana tertera dalam Pasal 3 Kontrak Politik tertanggal 29 Oktober 1830.
Mengutip Hasan Junus, Rida menyebut sultan satu ini sebagai anak muda yang nakal namun cerdas (I’infant Trebelle). Saking ‘nakalnya’, Mahmud sampai berani memekik lantang pada Residen Belanda, “Pulangkan kembali semua negeri kami yang sudah diambil Holanda.”
Tapi, itu bukan satu-satunya ‘kenakalan’ Mahmud terhadap Belanda. Ada pula dikisahkan ihwal tiga beleid Belanda yang diabaikannya dengan selamba.
Dikisahkan, lantaran diangkat sebagai sultan pada usia yang masih muda, Belanda menaruh harapan besar pada Mahmud bisa diajak kompromi. Karena itu Belanda mengikat perjanjian paksa berisi tiga beleid pada 22 Juni 1836 untuk melancarkan kepentingan mereka.
Isinya: 1) Semua kapal yang berlayar di perairan Riau harus mempunyai surat keterangan izin berlayar dari Belanda; 2) Sultan harus sekuat tenaga memberantas orang-orang yang mengganggu Belanda; dan 3) Sultan harus menempatkan pejabat kerajaan di Pulau Galang, Temian, Moro, Sugi, Bulang, Bekaka, Sekana dan Mampar dengan tugas menjaga kemanan berlayar.
Tiga beleid ini dipaksakan, lantaran Belanda menginginkan Sultan Mahmud, dengan segenap kekuasaannya, dapat membantu menumpas gangguan dari orang-orang yang kerap bikin onar di laut, yang oleh Belanda disebut Bajak Laut.
Belanda mendesak Sultan Mahmud agar dapat menghancurkan barisan lanun di laut ini. Tapi apa balasan yang didapat? Mahmud cuek saja. Kepada Belanda ia beranggapan orang-orang itu menguasai medan dan berpengalaman dalam menghadapi lawan. Apabila dikejar mereka menghilang ke sela-sela selat di perairan Selat Melaka dan Kepulauan Riau.
Tapi sebenarnya yang dirasa Mahmud adalah mereka yang oleh Belanda disebut Bajak Laut itu tak lain dan tak bukan adalah orang-orang Melayu pula. Sama halnya dengan armada penumpas yang disiagakan di sana. Mahmud sadar, pada diri mereka sedikit-banyak memiliki kebencian yang sama terhadap kehadiran Belanda di Riau.
Walhasil, beleid paksaan Belanda itu dibuatnya tidak berhasil karena mereka berhadapan dengan orang sesama Melayu atau mungkin mereka bersepakat tidak akan sama-sama mengganggu.
Toh, dikisahkan pula, orang-orang laut itu nampaknya sudah terkoordinasi rapi dengan basis di Pulau Galang. Di belakang mereka terdapat seorang pangeran bernama Haji Abdurachman bin Haji Idris. Ialah seorang yang terus-terusan menyuplai bantuan orang-orang laut itu agar mengganggu setiap pelayaran dan perdagangan Belanda.
‘Kenakalan Mahmud’ tidak cukup di situ. Bahkan, di belakang layar, Mahmud turut memprakarsai untuk mengacau keamanan orang-orang Belanda. Kendati muda, Mahmud bukan tipikal pemimpin yang penurut, apalagi terhadap Belanda. Yang terjadi justru sebaliknya, ia membangkang segala-galanya.
Kekesalan Belanda memuncak. Kemudian Komisaris Belanda di Singapura membacakan Surat Pemakzulan Sultan Mahmud dari jabatannya berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Belanda di Batavia bertanggal 23 September 1857.
Menyerahkah, Mahmud? Tidak!***
Sumber: Mahmud Sang Pembangkang dan Dari Kesultanan Melayu Johor – Riau ke Kesultanan Melayu Lingga – Riau.