Aisyah binti Sulaiman

PEREMPUAN hebat itu dikenal sebagai Aisyah Sulaiman. Nama lengkapnya Raja Aisyah binti Raja Sulaiman. Beliau adalah cucu Raja Ali Haji. Suaminya Raja Khalid ibni Raja Hasan, yang terkenal dengan nama Khalid Hitam.

Selain menjadi politisi handal Kesultanan Riau-Lingga, suami Aisyah Sulaiman juga penulis. Secara kerabat, Aisyah Sulaiman dan suaminya saudara sepupu. Dengan demikian, Aisyah Sulaiman merupakan keturunan dan hidup di lingkungan keluarga penulis. Sesuai dengan namanya, beliau jelaslah keturunan Diraja Kesultanan Riau-Lingga.

Tak diketahui tarikh pasti kelahiran Aisyah Sulaiman. Walaupun begitu, beliau diperkirakan lahir pada 1869/70 dan wafat pada 1924/25 pada usia lebih kurang 55 tahun.

Sebagai putri Diraja Melayu, Aisyah Sulaiman sangat akrab dengan kehidupan lingkungan istana Kesultanan Riau-Lingga. Di sanalah, tepatnya di tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga, Pulau Penyengat Indera Sakti, beliau dilahirkan dan dibesarkan.

Akan tetapi, kehidupan di lingkungan istana, di tanah tumpah darahnya, itu tak dapat dinikmatinya sampai ke akhir hayatnya. Pasalnya, pada 1913 Kesultanan Riau-Lingga dimansuhkan oleh pemerintah kolonial Belanda. 

Karena tak sudi hidup di bawah pemerintahan penjajah Belanda, Aisyah Sulaiman dan keluarganya berhijrah ke Singapura. Tak lama bermastautin di Singapura, beliau harus berpindah lagi ke Johor karena menghindari orang-orang yang menaruh hati terhadapnya selepas suaminya tercinta meninggal di Jepang pada 11 Maret 1914 dalam suatu misi politik meminta bantuan Pemerintah Jepang untuk menghalau penjajah Belanda dari Kesultanan Riau-Lingga (Kepulauan Riau sekarang). Di Johorlah, kemudian, Aisyah Sulaiman bertempat tinggal sampai ke akhir hayatnya.

Dalam tradisi kepengarangan, Aisyah Sulaiman dapat digolongkan sebagai pelopor pengarang zaman peralihan atau transisi dari kesusastraan Melayu tradisional ke kesusastraan Melayu-Indonesia modern. Kenyataan itu ditinjau dari sudut masa  kepengarangan dan tema karyanya walaupun beliau masih menggunakan genre kesusastraan tradisional yaitu syair dan hikayat.

Dengan berdasarkan sudut pandang itu, pendapat yang selama ini menyebutkan bahwa Munsyi Abdullah bin Munsyi Abdul Kadir sebagai pelopor kesusastraan Melayu modern harus diperdebatkan. 

Pasalnya, Munsyi Abdullah hidup sampai pertengahan abad ke-19, sedangkan masa peralihan kesusatraan tradisional Melayu ke modern Melayu dimulai sejak pertengahan abad ke-19 sampai dengan perempat awal abad ke-20. Masa-masa itulah Aisyah Sulaiman sedang giat-giatnya berkarya, sedangkan Munsyi Abdullah telah wafat. Lagi pula, karya-karyanya telah mengungkapkan perubahan dalam masyarakat, dari masyarakat lama ke masyarakat baru Melayu dan perjuangan masyarakat, terutama kaum perempuan, merobohkan tembok-tembok kokoh tradisi yang diangggap tak sesuai lagi dengan perubahan zaman.

Dalam karirnya sebagai pengarang, Aisyah Sulaiman menghasilkan empat buah karya. Karya-karya tersebut (1) Hikayat Syamsul Anwar atau Hikayat Badrul Muin, yang diduga merupakan karya awal beliau; (2) Syair Khadamuddin, yang diterbitkan pada 1345 H./1926 M., yang ditulis setelah beliau pindah ke Singapura; (3) Hikayat Syarif al-Akhtar, yang diterbitkan setelah beliau wafat, pada 1929 M.; dan (4) Syair Seligi Tajam Bertimbal, yang dalam karyanya ini beliau menggunakan nama samaran Cik Wok Aminah.

Karya Hikayat Syamsul Anwar berkisah tentang Putri Badrul Muin. Putri ini sangat jelita dan kisah kecantikannya diketahui oleh banyak raja negeri lain sehingga mereka berdatangan untuk melamarnya. Putri Badrul Muin muak terhadap perilaku raja-raja yang mencoba untuk melamarnya itu, lalu pergi meninggalkan istana. Sang putri menyamar sebagai laki-laki yang bernama Afandi Hakim. Dalam pengembaraannya itu, dia bertemu dengan putra raja, Syamsul Anwar namanya.

Syamsul Anwar suka bangat berteman dengan Afandi Hakim dan sangat menghormati temannya itu sehingga selalu berusaha untuk mendampinginya. Sebaliknya, Afandi Hakim sangat benci terhadap Syamsul Anwar dan senantiasa berusaha untuk menjauhkan diri dari pemuda itu. Syamsul Anwar curiga terhadap tingkah laku Afandi Hakim sehingga dia mengintip untuk mengetahui jati diri “laki-laki” itu. Alhasil, samaran Putri Badrul Muin terbongkar, tetapi dia dapat menghilangkan diri dengan menggunakan batu gemala.

Syamsul Anwar akhirnya dipertemukan juga dengan Putri Badrul Muin. Dia melamar Sang Putri. Akan tetapi, bukan menerima pinangan Syamsul Anwar, malah Tuan Putri marah terhadap Menteri Tua dan Permaisuri yang mendukung lamaran putra raja itu. Tuan Putri berusaha menolak pinangan Syamsul Anwar karena dia ditabalkan menggantikan ayahandanya yang telah mangkat. Dia marah karena putusan diterimanya pinangan Syamsul Anwar tanpa meminta persetujuan dirinya. Bukankah dirinya berhak untuk menentukan nasibnya dalam pernikahan? Dia berasa dipaksa menikah dengan Syamsul Anwar. Orang-orang yang terlibat dalam “pemaksaan” pernikahannya ditantang habis-habisan oleh perempuan yang menganggap bahwa kaum laki-laki selalu mendatangkan kesusahan itu.

Kebencian Tuan Putri terhadap suaminya tak kunjung mereda. Dia terus saja mengelak berada di bilik peraduan (kamar tidur) berdua suaminya. Keadaan seperti itu terus berlangsung sampai tiga bulan lamanya.

Penentangan dan kebencian Putri Badrul Muin terhadap laki-laki menunjukkan sikap Aisyah Sulaiman untuk memperjuangkan emansipasi perempuan. Kelantangan tokoh-tokoh perempuan di dalam hikayat ketika berdebat dengan tokoh-tokoh laki-laki, yang justeru orang-orang penting kerajaan, juga menyerlahkan misi yang sama, kesetaraan perempuan dengan laki-laki. 

Pada masa hikayat ini ditulis, hal seperti itu masih sangat dipantangkan. Jelaslah  kepeloporan Aisyah Sulaiman dalam memperjuangkan dan atau menyuarakan hak-hak perempuan dalam hikayatnya ini. Beliau jauh melampau karya-karya sebelumnya, yang memang tak menampakkan nuansa perjuangan perempuan, kecuali karya kakeknya, Raja Ali Haji, Syair Abdul Muluk (1846)

Bahkan, Putri Badrul Muin jauh lebih maju dari Siti Nurbaya, yang selama ini disebut sebagai pelopor sastra modern Indonesia. Betapa tidak? Siti Nurbaya dan orang-orang di sekitarnya nyaris tak berdaya menghadapi kelicikan atau tepatnya kegigihan tokoh tua Datuk Maringgih dalam roman Siti Nurbaya. Tak ada penentangan yang berarti terhadap Datuk Maringgih, yang kecuali kaya, padahal hanyalah seorang tua bangka yang hodoh (buruk rupa) pula. 

Pemuda Syamsul Bahri, kekasih Siti Nurbaya, memang menentang Datuk Maringgih. Akan tetapi, itu pun harus melalui cara yang hina yaitu berkoalisi dengan musuh, yakni Belanda, hanya untuk membunuh pria tua yang merebut kekasih hatinya. Datuk Maringgih, bahkan, terkesan bercahaya bangat dalam roman ini—bukan Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, atau orang muda-muda yang lain—karena kegigihan dan perjuangannya melawan Belanda.

Tak demikian halnya dengan Putri Badrul Muin. Dia sangat bertenaga, perkasa, dan bercahaya dalam Hikayat Syamsul Anwar. Para lelaki didebatnya habis-habisan dengan pelbagai gagasan keunggulan perempuan. Raja-raja yang melamarnya ditolaknya dan ditinggalkannya begitu saja karena dia memang tak berkenan. Dia tak dapat dibujuk dengan kekuasaan dan harta, yang padahal raja-raja yang melamarnya jauh lebih berkuasa dan berlimpah harta daripada hanya seorang Datuk Maringgih. 

Bahkan, Syamsul Anwar yang putra raja, perkasa, tampan, dan memang sangat mencintainya ditolaknya mentah-mentah walaupun akhirnya mereka berjodoh jua. Untuk sampai kepada perjodohan serasi itu, Syamsul Anwar dan para penyokongnya harus berjuang keras dan menampilkan kesabaran yang luar biasa karena harus berhadapan dengan perempuan muda yang jelita, tetapi bagaikan tembok baja. Baginya tak ada alasan untuk menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Hakikatnya, perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Jelaslah bahwa Aisyah Sulaiman telah memperjuangkan harkat, martabat, dan marwah kaum perempuan melalui karya-karyanya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dengan Hikayat Syamsul Anwar, misalnya, dia telah berhasil menyuarakan semangat emansipasi, yang bahkan belum banyak terpikirkan oleh kaumnya kala itu. Semangat individualistik begitu teserlah di dalam hikayat ini sehingga mengantarkan Aisyah Sulaiman sebagai pelopor kesusastraan modern Indonesia. 

Aisyah Sulaiman, bahkan, dapat mengungguli karya-karya pengarang sesudahnya, termasuk pengarang laki-laki yang telanjur disebut pelopor sebelum ini. Dengan demikian, Raja Aisyah binti Raja Sulaiman telah berhasil menjadikan diri dan karya-karyanya sebagai ikon pejuang emansipasi. Tak hanya sampai di situ, Aisyah Sulaiman, bahkan, mengukuhkan dirinya sebagai pelopor kesusastraan modern Melayu-Indonesia yang patut diapresiasi.***   

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top