Zapin merupakan produk masa lalu, dan telah menjadi salah satu genre seni tari yang berlanjut sampai saat ini sebagai salah satu bagian dari tradisi seni pertunjukan bersifat kontekstual seremoni dalam kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari. Berdasarkan hal itu, maka wajar kiranya terutama masyarakat pendukung tradisi seni zapin melanjutkan eksistensinya dengan segala kemungkinan akan dinamika perubahan, atau merancang perubahan untuk masa mendatang. Sehingga genre zapin yang baru dalam berbagai kemungkinan wajah seni dapat diwujudkan sebagai pemenuh citra estetika manusia ke depan.
Zapin menurut penjelasan para informan di kawasan budaya Melayu Serdang adalah tari (tandak). Sedangkan para ilmuwan yang telah meneliti zapin pengertiannya ialah seni pertunjukan tari yang diiringi dengan musik zapin. Jadi dari sini didapatlah pengertian etik dan emik. Pengertian etik itu adalah pandangan orang luar terhadap suatu seni pertunjukan atau budaya, sedangkan emik adalah pandangan orang dalam atau masyarakat pendukung dari suatu kebudayaan itu atau seni pertunjukan itu sendiri.
Zapin merupakan salah satu genre dalam seni pentas pertunjukan Melayu yang di dalamnya mencakup musik (rentak atau ritme), tari, serta lagu. Apabila rentak zapin itu didendangkan, maka musik itu dinamakan dengan musik zapin. Seperti apa yang dikatakan oleh Fadlin (wawancara Januari 2011), bahwa struktur rentak atau ritem zapin di Sumatera Utara khususnya di Medan, dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori : (1) rentak induk atau dasar dan (2) rentak anak atau peningkah. Rentak induk dibentuk oleh tanda birama 4/4 dengan pola ritme khas zapin, sedangkan rentak peningkah dikembangkan berdasarkan rentak induk dengan struktur mengikut estetika para pemain musiknya.
Musik zapin di kawasan Serdang Sumatera Utara, biasa juga disebut musik gambus, yang alat musik utamanya adalah gambus, di samping alat musik marwas dan musik pengiring yang lain seperti biola, akordeon, gendang ronggeng (frame drum), dan vokal. Sedangkan dari struktur melodi, zapin mempergunakan unsur-unsur budaya musik Melayu, Arab, India, dan Barat.
Zapin memiliki struktur musik yang cukup jelas. Zapin mempunyai bahagian pembuka yang biasa jadi improvisasi solo gambus yang free meter (taksim), bahagian tengah yang diulang-ulang untuk lagu dasar, dan variasi gendang (tahtum). Dengan demikian zapin dapat pula digolongkan sebagai seni pertunjukan Melayu yang berdasar pada kesenian Islam. Oleh karena itu, maka seni zapin sangat menarik untuk dikaji dari sisi seni pertunjukan, dan juga dengan berbagai disiplin lain seperti etnomusikologi, etnokoreologi, antropologi, sosiologi, sejarah, semiotik, dan lain-lain.
Jadi menurut paparan di atas dapat dilihat bahwa pengaruh unsur budaya Arab sangat tampak sekali kelihatannya dari penggunaan alat musik gambus di dalamnya. Oleh karena itu, walaupun zapin ini yang katanya berasal dari Arab, oleh orang-orang Melayu, zapin dikembangkan dan disesuaikan dengan cita rasa seni dan keperluan kebudayaan etnik Melayu. Bahkan di Alam Melayu dikenal dua jenis zapin yaitu zapin Arab dan zapin Melayu
Jadi mengingat adanya semangat untuk menunjukkan kreativitas, maka selalu ada variasi gerak yang khas yang membedakan tarian zapin dari satu daerah dengan zapin dari daerah lain. Di situlah sesungguhnya keanekaragaman variasi gerak zapin, yang memperlihatkan perbedaan dan kekayaan lokal genius wilayah budaya setempat, termasuk juga perbedaan penamaannya. Dalam konteks itulah kemudian kita mengenal zapin Arab –yang masih mempertahankan aura padang pasirnya, zapin Johor –yang kini berkembang begitu cepat, zapin Pelan, zapin Tengku, zapin Brunei (jipin tar dan jipin Laila Sembah), zapin Bengkalis (zapin Tepung), zapin gelek sagu, dan sederet panjang nama lain yang menyertai variasi gerak zapin. Bahkan, di Pulau Rupat, pernah pula ada tarian zapin sambil bermain bola api. Orang pun kemudian menyebutnya sebagai zapin api.
Selain itu, di beberapa daerah di wilayah Nusantara ini, zapin dikenal dengan nama yang lain. Di Jambi, Palembang, dan Bengkulu misalnya, zapin dikenal dengan nama dana, yang di Lampung disebut bedana, sedangkan di Nusa Tenggara disebut dana-dani. Di Brunei, zapin lebih dikenal dengan nama jipin, yang hampir sama dengan di Kalimantan yang menamakannya jepin, yang di Sulawesi disebut jippeng, sedangkan di Maluku dikenal dengan nama jepen.
Zapin Bengkalis, konon, mulai berkembang selepas Kesultanan Siak Sri Indrapura tidak lagi memainkan peranan penting dalam kehidupan pemerintahan. Tarian zapin kemudian tidak lagi dapat dipertahankan sebagai kesenian eksklusif yang hanya dimainkan di kalangan istana dan kerabat kesultanan. Sebagaimana lazimnya kesenian yang tumbuh dan berkembang di kalangan istana, pakem zapin yang semula begitu ketat dengan gerakan yang sangat menonjolkan kehalusan dan langkah kaki yang rapat, kini mulai disusupi dengan menekankan kelincahan dan kepiawaian gerak. Penari perempuan–yang dalam zapin awal tidak diizinkan—kini justru menjadi bagian yang sama pentingnya dengan penari laki-laki. Dengan demikian, zapin mengalami perubahan fungsi dari konteks hiburan istana menjadi konteks hiburan rakyat. (wawancara dengan Muslim, Desember 2010).
Menurut Sal Murgiyanto, tari adalah salah satu saka guru seni pertunjukan tradisi Indonesia. Tari yang merupakan cabang seni pertunjukan tertua lahir bersamaan dengan lahirnya kebudayaan manusia. Ironisnya, sebagai disiplin studi, tari justru merupakan disiplin yang paling muda. Menurutnya jenis-jenis tari yang diamatinya tidak terbatas pada tari-tari Melayu Riau dan Sumatera Utara yang disebut sebagai daerah asal dan pusat budaya Melayu, tetapi juga kelompok Melayu dari Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, bahkan yang berasal dari Malaysia.
Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat persepsi. untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan. Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan dari kebudayaan lain, dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat yang menciptakan dan menerima tarian tersebut.
Selanjutnya dalam pembicaraan tentang estetika atau keindahan tari, jenis-jenis tari yang dilakukan sebagai pelepas kekuatan emosional dan fisik tidak akan dibahas.
Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuitif. Tari sebagai ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam. Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia.
Sebuah gerakan dinilai baik jika tujuan gerak tersebut dapat dipenuhi dengan efisiensi maksimal dengan usaha yang sekecil-kecilnya, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan terkendali tanpa gerak tambahan yang tidak perlu. Ellfeldt (1976: 136) menyebutkan bahwa yang melahirkan gerakan-gerakan yang gemulai, anggun, indah adalah pengendalian tenaga dalam melakukan gerak.
Salah satu hal yang membuat kita dapat merasakan keindahan sebuah gerak tari adalah ketika pelakunya mampu menarikan dengan kekuatan, kelenturan, dan koordinasi yang sempurna, sehingga rasa gerak yang dilakukan merambat dan dirasakan oleh penonton. Kalau penari menggambarkan gerakan terbang, maka penonton pun seakan-akan ikut terbang bersama penari.
Faktor pertama yang mempengaruhi estetika gerak tari adalah keterampilan atau kemahiran melaksanakan gerak. Penari Jawa menyebutnya wiraga dan dalam literatur Barat disebut teknik gerak atau teknik tari. Berbeda dengan gerakan dalam olahraga, gerakan tari bukan saja harus dilakukan secara benar, tetapi “bagaimana gerakan itu dilakukan” harus terpenuhi. Dengan kata lain, “kualitas” dan “gaya” dalam melakukan gerakan menjadi hal yang sangat penting.
Sebagaimana halnya tari tradisi lain, ada dua hal utama dalam membicarakan tari tradisi Melayu. Pertama, adanya pola-pola gerak yang menjadi dasar penyusunan tari. Kedua, adanya aturan dan konvensi yang menentukan pengaturan pola-pola yang membangun ragam-ragam gerak18. Teknik dalam tari tradisi dimaksudkan sebagai keterampilan mengkoordinasikan gerakan-gerakan tubuh untuk melakukan ragam gerak sesuai dengan aturan dan konvensi yang berlaku dalam tarian yang bersangkutan. Sebagai contoh, keterampilan penari zaman dahulu diukur dari kemampuannya melakukan ragam gerak catuk. Diduga gerak ini diilhami dari cara ayam mencatuk makanan. Penilaian tersebut dilakukan dengan menyuruh dua penari pria menari dengan sebatang rokok pada masing-masing mulutnya. Seorang penari dengan rokok yang sudah menyala, penari lain dengan rokok yang belum menyala. Pada waktu membawakan ragam tari catuk, penari dengan rokok yang belum menyala harus menghidupkan rokoknya dengan jalan mencatukkan rokoknya ke rokok pasangannya. Mencatuk hanya boleh dilakukan sebanyak tiga kali dan apabila penari belum berhasil menghidupkan rokok di mulutnya, ia dianggap belum cukup terampil sebagai penari zapin.
Penilaian keindahan gerak tari tradisi sering dipengaruhi oleh faktor sosial, kesukuan, emosional, agama, dan kepercayaan setempat. Dalam menarikan tari tandak dan tari zapin misalnya, pasangan penari pria dan wanita bergerak berdekatan, tetapi tidak boleh saling bersentuhan. Dalam tari Melayu juga dibedakan gerak tari ideal pria dan tari wanita. Mansur20 berpendapat, penari wanita sebaiknya menonjolkan sikap badan dan gerakan yang lemah lembut, sedangkan penari pria dengan sikap badan dan gerakan yang gagah. Dalam zapin, penari pria menari dengan tempo lebih cepat daripada gerak penari wanita.
Medium tari adalah gerak, sedangkan alat yang digerakkan adalah tubuh. Oleh karena itu, untuk dapat memahami tari, orang harus memahami bagaimana menggunakan “alat” tersebut. Esensi tari adalah integrasi tubuh dan jiwa, serta integrasi antara pengalaman batiniah dan pengalaman lahiriah secara konseptual dan estetika. Proses sebuah tarian diawali dengan pengalaman jasmaniah yang secara naluriah mengatur dirinya secara ritmik. Dengan demikian pengaturan ritmik merupakan unsur pokok tari. Seorang penari harus mendengarkan bunyi gendang, dan bila benar-benar memperhatikan dan mendengarkan bunyi gendang, maka dalam dirinya akan hadir gema gendang dan baru dapat benar-benar menari.
Dalam berkata-kata kita memerlukan jeda atau perhentian, cepat lambat, dan intonasi suara agar dapat menghadirkan kalimat yang bermakna. Dalam tari pun demikian juga. Gerak sebagai penyusun ragam tari dapat dihasilkan karena pengaturan irama cepat lambat, jeda atau perhentian, awal pengembangan, dan klimaks dari tiga unsur gerak (ruang, waktu, dan tenaga). Pengaturan irama semacam ini sangat membantu penari dalam mengingat dan menghafalkan rangkaian gerak, sehingga penari dapat melakukannya dengan penghayatan maksimal. Pengaturan semacam ini juga memudahkan penonton dalam mengikuti dan memahami ungkapan-ungkapan gerak yang dilakukan penari.
Menurut Tengku Luckman Sinar dalam tulisannya menjelaskan rentak-rentak sebagai berikut. Pertama, tari lagu senandung, berirama pelan dengan nyanyian dan pantun nasib yang dibawakan oleh penari. Peralatan musik yang digunakan adalah biola atau akordeon, dua buah gendang ronggeng bulat satu sisi yang terdiri dari induk dan anak, dan sebuah gong atau tawak-tawak. Irama senandung ini khas Melayu dan sudah ada dalam makyong yang masuk ke Tanah Melayu pada abad ke-16. Dalam rentak senandung lebih diutamakan gerakan tangan dan jari yang lemah gemulai daripada gerakan kaki. Kedua, tari lenggang mak inang, dilakukan dengan tempo dan lagu yang dinyanyikan dalam empat baris khorus. Gerak lenggang tangan yang lemah gemulai dikembangkan dengan memegang saputangan atau selendang dan temponya dipercepat. Salah satu variasinya adalah lagu Cek Minah Sayang.
Ketiga, tari lagu dua, dilakukan dengan irama 2/4 yang bernada gembira dengan pantun-pantun jenaka. Dalam tarian bertempo cepat ini gerakan kaki yang dihenjut-henjutkan dan agresif lebih diutamakan, terutama bagi laki-laki. Kadang-kadang langkah kaki berbunga (double step) seolah-olah tidak menjejak dan badan seperti melayang. Angkatan tangan sebatas pinggang hingga bahu. Salah satu variasi rentak lagu dua adalah pulau sari. Pulau sari merupakan rentak lagu dua yang kecepatannya dilipatkan sehingga tidak pernah diiringi nyanyian lagi. Gerakan kaki penari yang meloncat-loncat ringan sangat diutamakan.
Selanjutnya, pusat-pusat pemerintahan atau Kerajaan-kerajaan Melayu hampir seluruhnya terletak di tepi sungai atau di tepi pantai. Sejak dahulu orang Melayu ahli berdagang. Kedua hal ini menyebabkan kebudayaan Melayu terbuka terhadap pengaruh luar. Salah satu pengaruh besar yang kemudian meresap dalam bidang religi adalah pengaruh Arab-Islam. Pengaruh ini seakan-akan menghapus budaya Hindu dan Budha, sehingga budaya Hindu-Budha tinggal penghias dalam kebudayaan Melayu. Kesenian zapin (gambus), kasidah, rodat (barodah), dan zikir barat adalah pengaruh dari kebudayaan Islam tersebut.
Menurut Sinar, jauh sebelum Islam masuk, hubungan Melayu dengan Siam sudah terbina cukup baik. Pengaruh Siam yang masuk melalui Kedah dan Perlis terlihat dalam bentuk pertunjukan Makyong, Menora, dan Mendu di wilayah Luhak Teluk Aru di Langkat dan di Kerajaan Deli Serdang. Pengaruh India, dalam hal ini Keling atau Tamil, India Selatan, terus berlanjut, sesudah Islam identik dengan Melayu. Pada akhir abad ke-19 pengaruh India ditandai dengan berkembangnya pertunjukan wayang Parsi, Bangsawan, dan sebagainya.
Kemudian Luckman Sinar membagi tari-tarian Melayu dalam empat kelompok. Pertama, kelompok tari yang masih bersifat magis-religius. Tari dipimpin oleh pawang yang mengucapkan mantra-mantra tertentu, seperti yang dilakukan dalam upacara mengambil madu lebah, jamu laut, jamu bendang atau dalam tarian keliling sambil menginjak-injak padi yang disebut ahoi. Dalam pertunjukan makyong, pawang mendapat bagian yang menghadap rebab. Kedua, kelompok tari perang. Tari yang termasuk jenis ini adalah tari silat dan tari pedang yang ditarikan oleh laki-laki dengan memakai senjata (pisau, keris, atau pedang). Tarian ini dilakukan untuk menyambut tamu penting atau untuk mengarak pengantin. Tari inai dengan gerakan silat sambil memegang lilin yang ditarikan di depan pelaminan dalam “malam berinai besar” termasuk dalam kelompok ini. Ketiga, tari pertunjukan. Tari ini dibedakan menjadi tari yang bersifat semireligius dan tari yang semata-mata bersifat hiburan. Barodah dan zikir barat yang menyanyikan syair pemujaan kepada Allah dan Rasullulah dalam bahasa Arab dan bersumber dari kitab Barzanji, termasuk dalam tari semireligius. Adapun tari yang bersifat hiburan semata-mata yaitu zapin. Keempat, kelompok tari-tari ronggeng untuk menandak, antara lain tari lagu senandung, tari lagu dua, tari lenggang mak inang/cek minah sayang, tari pulau sari, tari patam-patam, dan gubang. Tari lagu senandung, tari lagu dua, tari lenggang mak inang/cek minah sayang, dan tari pulau sari ini sering dilakukan dalam satu rangkaian dan disebut sebagai tari Melayu empat serangkai.
Selanjutnya saya akan membicarakan masalah penyebaran tradisi zapin di Asia Tenggara yang dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: Thailand Selatan, Singapura, pantai timur Sumatera, kepulauan Riau, dan daerah pesisir yang didominasi Melayu-Borneo (termasuk Brunei, beberapa bagian Sarawak dan Sabah, dan Kalimantan) dalam hal ini mencerminkan hubungan erat antara Melayu maritim dan Islam. Sangat menarik bahwa tradisi zapin dapat ditemukan hanya di antara Melayu muslim yang pernah kontak sejarah dengan orang-orang Arab dan budaya Arab. Ada kemungkinan bahwa beberapa suku Melayu mungkin telah meminjam atau mengembangkan tradisi zapin setelah mengamati kelompok suku Melayu yang lain. Meskipun kinerja gaya zapin di antara berbagai kelompok melayu di Asia Tenggara bervariasi, iringan musik dan tarian bagian dasar tetap hampir sama bentuknya.
Menurut Mohd Anis Md Nor, unsur-unsur universal dalam tradisi zapin yang paling jelas adalah dominasi pra-gambus atau ‘ud sebagai instrumen terkemuka. Penggunaan marwas dan pola interlocking, dengan improvisasi free meter sebagai pembuka, didominasi oleh solo pemain gambus, dengan koda (khas tradisi zapin), dan tidak adanya gerakan kaki pada hitungan pertama frase tarian tari dasar.
Sekitar tahun 1720, rangkaian perang di Sumatera timur, yang mencerminkan perpecahan di kesultanan Deli, menyebabkan pembentukan Kesultanan Serdang. Pembentukan kesultanan baru dan kontraksi di wilayah bekas antara kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur dan di Kepulauan Melayu memfasilitasi penyebaran tradisi adat Melayu dari satu kerajaan ke kerajaan yang lain. Ini juga merupakan periode ekspansi nilai-nilai budaya Melayu-Islam dan tradisi, termasuk zapin di antara negara-negara bagian Malaysia di wilayah Johor.
Keterkaitan erat yang telah terjalin di antara semua kerajaan Melayu pada kedua sisi Selat Melaka dari periode kejatuhan kerajaan Melaka tercermin dalam keluarga mereka yang saling aristokrat. Para bangsawan dari Perak, Pahang, Trengganu, dan hari ini Johor dapat ditelusuri ke bangsawan Melaka tua. Perkawinan campuran antara keluarga kerajaan Malaysia dari negara-negara ini adalah biasa seperti di masa lalu. Sebelum pecahnya dunia Melayu ke entitas yang terpisah oleh kekuasaan kolonial di tahun 1824, perkawinan campuran antara pangeran dan putri dari kesultanan Melayu di selat Melaka adalah umum. Pertukaran pengantin kerajaan antara Terengganu dan Riau, Siak dan Johor, bangsawan dari Deli Serdang dan istana Langkat dan mereka di Semenanjung Melayu juga umum. Tradisi konsolidasi kekuasaan dan gengsi melalui afinitas (tarik menarik) antar kerajaan juga memberikan kontribusi terhadap penyebaran tradisi antara rumah tangga kerajaan. Itu adalah hal yang umum bagi keluarga pengantin perempuan untuk mengirim pelayan untuk menemaninya ke rumah mempelai pria. Rombongan terdiri dari beberapa inang pengasuh (perawat basah), dayang-dayang (wanita yang menunggu), atau pendayangan (pelayan wanita di suatu tempat). Kadang-kadang, penghibur istana juga termasuk dalam rombongan kerajaan.
Pangeran Melayu yang tinggal dengan pengantin wanita biasanya disertai oleh beberapa hulubalang (penjaga kerajaan), dan rombongan kerajaan juga kadang-kadang disertai oleh musisi dan penghibur dari istana pengantin pria. Di mana pun pasangan kerajaan akhirnya tinggal, pengawal pribadi mereka, petugas istana, pembantu istana, dan penghibur biasanya tetap bersama mereka. Dengan cara ini, pertunjukan baru diperkenalkan ke dalam istana-istana kerajaan pasangan. Selanjutnya unsur paling penting dalam tradisi zapin dari Penyengat adalah perlindungan gaya atau aliran yang diterima dari Raja Melayu berikutnya di Riau-Lingga. Zapin adalah tradisi yang paling sering dilakukan untuk hiburan kaum bangsawan di istana sultan. Meskipun tidak ada catatan mengenai kapan zapin ditemukan, tapi fakta perlindungan kerajaan di Penyengat menunjukkan bahwa zapin bukan sebuah tradisi rakyat biasa. Keturunan penyanyi zapin yang hidup saat ini di desa Kampung Bulang, di pulau Penyengat, menyandang gelar (Raja) sebelum nama mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pemain zapin sendiri milik kelas bangsawan. Kelompok sisa penyanyi zapin di Penyengat adalah dari keluarga Raja Daud bin Abu Bakar Raja, dirinya seorang penari zapin yang tekun.
Anggota tertua dari kelompok zapin adalah pemain gambus, Raja Mahmud, yang belajar bermain gambus dari lingkaran keluarga bangsawan ketika ia masih muda. Kelangsungan anggota keluarga Raja dalam pertunjukan zapin, menyarankan tradisi zapin yang dipertahankan dan dipromosikan oleh anggota kelas penguasanya sendiri. Bukti elemen umum yang kuat dalam tradisi zapin ini ialah menampilkan gaya tari. Tari zapin gaya Penyengat sangat mirip dengan lenga di Muar dan Johor. Terminologi yang digunakan untuk mengidentifikasi motif tari zapin beberapa di Penyengat juga mirip dengan yang digunakan di Muar, lenga, dan di pantai timur Sumatera. Istilah yang paling umum adalah titi batang, ayak-ayak, loncat tiong, pusa belanak atau loncat belanak, dan tahtim. Semua persyaratan untuk ungkapan tari zapin diberi nama setelah gerakan bergaya yang mensimulasikan tindakan manusia atau alam.
Dalam motif tari titi batang, penari pindah ke cara melintasi jembatan (titi) yang terbuat dari batang pohon (batang). Ayak-ayak mewakili gerakan tari yang merupakan simbol dari satu analisis saringan tepung sagu. Loncat tiong adalah gerakan yang meniru melompat dan melompat (loncat) dari burung Myna bukit (tiong). Pusa atau loncat Belanak mengacu pada memutar-mutar (pusar) atau lompatan ikan Belanak yang umum ditemukan di tepi sungai berlumpur. Tahtim adalah koda tari zapin. Penggunaan istilah yang serupa untuk menggambarkan gerakan atau variasi motif tari yang identik di bagian lain Sumatera Timur menunjukkan bahwa tradisi zapin menyebar bersama-sama dengan Islam dan hegemoni politik kerajaan Melaka-Johor.
Gaya tarian dari Penyengat juga ditemukan di kabupaten lain di Propinsi Riau-Sumatera, yaitu di daerah Pemerintahan Kampar, Bengkalis, Indragiri, dan daerah di sekitar ibu kota provinsi, Pekanbaru. Semuanya termasuk motif tari Penyengat, bersama-sama dengan motif tari lainnya, dalam repertoar mereka.
Sebuah deskripsi singkat dari motif-motif tari dapat disajikan untuk menggambarkan sifat dari beberapa kesamaan. Umum untuk semua kabupaten ini adalah konvensi dari segmentasi gaya zapin menjadi tiga bahagian. Bahagian pertama terdiri dari motif tarian tarian pembukaan dikenal sebagai salam pembukaan (salam perkenalan) dilakukan terhadap penonton. Gerakan-gerakan ini terdiri atas salam Melayu tradisional dengan memberikan salam dengan kedua tangannya menggenggam di depan dahi. Gerakan yang dibuat di awal dan akhir penonton dengan seorang raja, seorang sultan, atau ahli waris kepada takhta. Bagian kedua terdiri dari gerakan zapin yang sebenarnya. Ungkapan-ungkapan ini mencakup semua motif tarian zapin Penyengat serta yang lain dikategorikan di bawah alif (abjad pertama tulisan Arab), pecah (istirahat atau fragmentasi), langkah (langkah atau langkah), sut (mungkin suatu penyesuaian dari suara empat belas surat abjad Arab, tapi yang lain tidak ada artinya), patah ayam (ayam yang patah kaki), atau tahto (penyesuaian dari tahtim atau koda) keanekaragaman. Ini semua adalah variasi pada motif tari dasar. Bagian ketiga bentuk koda untuk menari.
Pada akhir abad kedelapan belas, seorang keturunan Arab dengan nama Sayid Ali telah menjadi penguasa Siak. Dia mengambil gelar kerajaan Sultan Sharif Ali Assyaidis Abdul Jalil Shaifuddin dan menjadi Sultan Siak pertama keturunan Arab-Melayu. Peran Hadhramis dalam penyebaran zapin juga penting. Hadhramis, yang sudah dikenal dengan kemampuan perdagangan mereka, adalah kelompok perdagangan berpengaruh yang sering diberikan hak-hak komersial khusus oleh penguasa Melayu karena mereka dianggap ras yang sama seperti Nabi. Mungkin Hadhramis juga bertanggung jawab untuk pengembangan versi Siak dari zapin setelah penobatan Sayid Ali sebagai Sultan Siak kedelapan. Ada kemungkinan bahwa perluasan repertoar zapin Siak adalah hasil dari hubungan khusus antara Sultan yang berkuasa dan ahli waris dan para pedagang Hadhrami. Para hadhramis mungkin telah menyediakan pemain zapin Siak dengan ide-ide baru untuk penciptaan dan inovasi dalam motif tari dan frase untuk lagu-lagu mereka.(wawancara dengan Muslim, 2010)
Sebuah elemen penting dalam hubungan antara kaum bangsawan dan tari zapin adalah salam pembukaan (ucapan dan salam) motif tari. Motif ini jarang dilakukan dalam tradisi tarian rakyat Melayu kecuali bangsawan atau pejabat negara yang hadir. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan rasa hormat dan untuk menghormati tamu istimewa.
Menurut Mohd Anis Md Nor variasi dari motif tari salam ada di tradisi zapin Deli Serdang, dan gerakan salam juga ditemukan dalam zapin Johor dan Riau. Mungkin penggunaan ini isyarat tertentu dalam memberikan bukti lebih lanjut tentang hubungan antara zapin dan rumah-rumah kerajaan Melayu. Hal ini sangat mungkin untuk dalil tentang peran Istana dalam penyebaran tradisi zapin di Sumatera timur. Tarian pembukaan dari motif salam pembukaan berisi versi bergaya bentuk ucapan pengantar oleh biasa kepada penguasa. Meskipun motif salam bervariasi dalam gaya dari satu daerah ke daerah lainnya. Semuanya dilakukan sesuai dengan kode ketat etika penghormatan atau penghormatan untuk keluarga Raja Melayu, seperti dalam menyembah, benar-benar motif tradisional Melayu (salam atau penghormatan) dipraktikkan dalam adat istiadat diraja Melayu.
Motif tari salam dilakukan sesuai dengan salah satu dari tiga cara menyembah, sebagaimana digambarkan oleh Alwi bin Sheikh Alhady27 sebagai berikut. (a) Ratu: bawalah tangan bersama-sama dan dengan jari tertutup dan telapak tangan menyentuh, membesarkan mereka ke dahi sampai ujung ibu jari menyentuh dahi antara alis. (b) Untuk baik Yang Di-Pertuan Muda atau Raja Muda [Pewaris-Jelas]: Dengan tangan dan jari seperti di atas, mengangkat tangan dengan cara yang sama, sampai ujung ibu jari menyentuh ujung hidung. (c) Untuk para Bendahara atau Temenggong: Sama halnya seperti di atas, mengangkat tangan sampai ujung ibu jari menyentuh ujung dagunya.
Meskipun tidak satu pun dari kelompok zapin yang diwawancarai bisa menjelaskan secara meyakinkan mengapa satu gaya tertentu menyembah dipilih untuk lagu-lagu tari mereka. Pendapat umum adalah bahwa gaya menyembah mewakili era ketika zapin sering dilakukan untuk para sultan, anak-anak raja, dan anggota bangsawan lain di istana. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran dari tradisi zapin sepanjang pantai timur Sumatera berkaitan dengan perlindungan dari sultan. Era terbaru perlindungan kerajaan pada zapin di Sumatera bisa dilacak ke kesultanan Deli Serdang di Provinsi Sumatera Utara. Sultan-Sultan Serdang adalah penguasa Malaysia di akhir abad kesembilan belas yang memiliki kepentingan dalam tradisi Melayu.
Sultan Sulaiman Shariful Alamshah, telah dilantik sebagai penguasa Serdang tahun 1881 pada usia delapan belas tahun. Zapin sudah menjadi tarian terkenal di kalangan orang Melayu-Deli Serdang oleh 1881. Ini dilakukan saat perayaan sosial yang memiliki beberapa arti agama, yaitu, pada hari-hari keberuntungan dalam kalender Islam, seperti ulang tahun Nabi. Kompetisi zapin diadakan di istana sultan, dengan piala untuk para pemenang. Kelompok favorit Sultan sering diperintahkan untuk melakukan pertunjukan untuk para tamu di istana. Istana zapin Serdang juga memiliki sendiri kelompok yang dikenal sebagai Gambus Jamratul ‘Uz. dipimpin oleh Sultan Sulaiman, kelompok yang berada di bawah pengawasan yang ketat dari Tengku gambus telah diangkat oleh sultan untuk mengurus kesejahteraan para pemain.
Pemain marwas dipimpin Wak Pian yang datang dari Penang. Jagoan tari adalah Haji Razali, yang berasal dari Jawa tetapi telah menghabiskan dua belas tahun masa mudanya di Mekah dan Hadhramaut. Para pemain musik dan penari diminta untuk berlatih keras dan tidak diperbolehkan untuk maju ke ungkapan tari yang lebih rumit sampai sultan sendiri merasa puas. Pada tahun 1930-an, ada banyak kompetisi zapin yang dikenal sebagai kongres. Kelompok zapin dari Medan, Deli, Langkat, Binjai, dan Labuhan akan bertemu di Serdang. Memenangkan kongres adalah obsesi utama Jamratul Gambus ‘Uz dari istana Serdang.
Motif tari di Serdang mirip dengan yang ada di Riau dan Siak, instrumen musik juga serupa. Gambus atau ‘ud adalah instrumen terkemuka, dan disertai oleh harmonium, tiga atau empat marwas, rebana, dan sebuah markas (maraca). Lagu-lagu zapin juga identik, Anak Ayam yang sedang populer dan Lancang Kuning. Setiap lagu diawali dengan memainkan gambus tunggal non-metred sebagai pembuka dan diakhiri dengan interlocking marwas. Variasi dan repertoar koreografi tari zapin sering didasarkan pada lagu yang mengiringi tarian. Jadi, zapin Anak ayam atau zapin Lancang Kuning adalah zapin yang dilakukan untuk lagu-lagu dari judul yang sama.
Meskipun secara luas diketahui bahwa zapin di Sumatera Timur dan Kepulauan Riau itu sebelumnya dilakukan di dalam dan di dekat istana sultan, genre itu tidak pernah terbatas pada istana sendirian. Bahkan setelah revolusi 1946 anti kerajaan di Sumatera, zapin tetap populer di kalangan orang-orang biasa. Ini menunjukkan bahwa tradisi tari telah mendapatkan dukungan publik yang kuat bahkan sebelum runtuhnya kekuasaan dan martabat sultan di Sumatera Timur. Zapin sudah menjadi tradisi rakyat pada saat itu dan kehilangan perlindungan kerajaan Melayu.
Mohd Anis mengatakan kinerja paling menonjol di Sumatera adalah zapin dilakukan pada upacara pernikahan. Juga dilakukan untuk upacara sunatan (sunat), khatam Qur’an (penyelesaian belajar bacaan dari Al-Qur’an), dan cukur rambut (cukur rambut bayi). Popularitas dari genre dengan ritual dari bagian orang Melayu Sumatera ini paralel dalam masyarakat Melayu Kepulauan Riau dan Semenanjung Malaysia.
Beberapa asumsi dapat dibuat tentang penyebaran zapin Melayu di Asia Tenggara. Pertama, tradisi yang dikembangkan dari pengaruh tradisi budaya Islam dan Arab yang dapat ditelusuri kembali ke tanah air orang Arab dari Hadramaut, menjadi sebuah tradisi yang diturunkan dari Arab, zapin telah diberikan gengsi sosial tinggi karena Arab di Asia Tenggara adalah sangat dihargai untuk kekayaan mereka dan pengetahuan mereka tentang Islam.
Kedua, sangat mungkin bahwa pengakuan diberikan bangsawan kerajaan Melayu dan perlindungan pada zapin Melayu ketika tradisi menjadi lebih halus; itu kemudian menikmati status yang lebih tinggi daripada tradisi tari lain Melayu. Ketiga, bahkan jika kekuatan penguasa Melayu tidak memainkan peran sentral dalam penyebaran tradisi zapin Melayu di seluruh dunia, masyarakat umum sendiri mungkin telah menjadi sarana bagi penyebaran tradisi tari.
Apakah penyebaran tradisi zapin sepanjang Selat Melaka dapat secara historis dihubungkan dengan perlindungan yang diberikan oleh penguasa Melayu atau penyebaran Islam, atau bersatu di suatu tempat dari masyarakat umum di kesultanan Melayu dalam posisi politik yang stabil? Jelas zapin yang melampaui batas-batas politik dan geografis di sepanjang Selat Melaka. Zapin Melayu saat ini dianggap sebagai persamaan budaya umum dari negara-negara kontemporer Malaysia, Indonesia, dan Singapura.
Sebagai aliran tari dan musik, zapin hari ini ada di hampir seluruh Asia Tenggara maritim. Meskipun zapin dikenal sebagai tradisi Melayu Islam, zapin telah mendapatkan popularitas bahkan di antara kaum muslimin non-Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura sejak pertengahan abad kedua puluh.
Zapin telah menjadi pertunjukan yang dapat disaksikan langsung kepada masyarakat, baik sebagai sebuah fragmen dari cerita di film-film atau sebagai sebuah pertunjukan tari dalam program-program hiburan televisi. Selama ini daerah geografis yang luas mungkin memiliki nama genre yang sedikit berbeda karena perbedaan dialektis dalam bahasa Melayu, dan juga gaya yang sedikit berbeda.
Unsur-unsur umum universal zapin adalah sebagai berikut: 1. Satu set alat musik yang terdiri dari: (a) gambus atau ‘ud (b) marwas (c) harmonium atau biola 2. Musik dibagi menjadi tiga segmen: (i) pendahuluan improvisasi free metred, didominasi oleh gambus, harmonium, atau biola (ii) pola interlocking dari marwas (iii) koda terdiri dari pola interlocking marwas. 3. Tarian ini dibagi menjadi tiga segmen: (i) motif tari pengantar, (ii) tari yang tepat, (iii) tahtim atau tahto, atau frasa tari tahtom, yang merupakan koda untuk menari. 4. Gerakan tari dasar: (i) jumlah tari empat mengalahkan di semua bagian tari (ii) menjembatani urutan tarian oleh frasa tari dasar dan mengulangi urutan tarian dalam tarian yang tepat (iii) tahtim, tahto, atau motif tari tahtom merupakan bentuk berbeda nyata bagian tari dari ujung gerakan tari.
Unsur-unsur ini berada di bawah keseragaman bangsa atau keseragaman genre zapin yang sebangun dengan gagasan keseragaman atau keseragaman alam yang Melayu (Dunia Melayu). Gagasan luas dari alam sebagai dunia orang-orang dan lingkungan mereka merupakan interpretasi komprehensif dari Melayu dan dunianya. Di dalam Alam Melayu (Dunia Melayu), bahwa Melayu merasa bersatu sebagai rumpun, yang secara harafiah berarti gumpalan atau sekelompok rumput, yang kesatuan Dunia Melayu itu dapat disamakan. Dalam konteks ini bahwa Alam Melayu mengacu kepada orang-orang berkumpul dalam Melayu sebagai ras yang berbagi bahasa yang serupa dan gaya hidup. Keseragaman juga tercermin dalam tradisi kinerja Melayu, di aspek seperti cara dan gaya berpakaian artis. Semua penyanyi zapin biasanya memakai gaun Melayu dikenal sebagai baju melayu atau baju teluk belanga, celana (seluar, serawa, atau sarwa), sarung dikenakan di atas celana panjang dan kepala meliputi sepotong kain diikat bulat dahi atau kepala gaun dikenal sebagai songkok atau peci. Jadi para artis zapin berpakaian dengan cara yang mencerminkan keseragaman dari Alam Melayu.
Contoh lain dari universalitas zapin Melayu menurut Mohd Anis31 adalah zapin lagu, pantun atau quatrain. Ini dinyanyikan di versi Melayu atau campuran Melayu dan ayat Arab, tetapi biasanya yang terlebih dahulu (versi Melayu). Dengan menampilkan ekspresi seni yang umum ditemukan di mana pun, tradisi zapin menjadi batu loncatan untuk rasa memiliki, tidak hanya di kalangan kelompok-kelompok kecil seperti orang-orang dari dialek yang sama atau desa, tetapi juga antara negara-negara atau bangsa yang membentuk masyarakat luas dunia Melaka Alam Melayu.
struktur teks lagu-lagu Zapin, tari, dan musik Zapin.
Yang dimaksud dengan terminologi struktur dalam tesis ini adalah suatu bangunan seni (yang di dalamnya terdiri dari teks, tari, dan musik) yang terdiri dari bahagian-bahagian yang lebih kecil, yang membentuk satu kesatuan. Struktur seni ini diwujudkan dalam dimensi waktu dan ruang. Struktur teks, tari, dan musik zapin saling menjalin menjadi sebuah pertunjukan seni yang memiliki identitas dan ciri khas tersendiri.
Dalam konteks budaya Melayu istilah zapin mengandung pengertian satu genre seni yang di dalamnya mencakup: (a) teks, (b) tari, (c) musik, yang berakar dari peradaban Yaman di Asia Barat, dan mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Unsur teks zapin, dalam kebudayaan Melayu terdiri dari bahasa Arab, bahasa campuran Melayu dan Arab, dan bahasa Melayu sendiri. Teks ini disusun ada yang berdasarkan pantun atau baris-baris teks bebas yang mendukung temanya. Teks zapin bagaimanapun dapat dikelompokkan kepada jenis lagu, karena mengikuti melodi yang ada. Teks ini ada yang disampaikan secara eksplisit, namun tidak jarang pula yang disampaikan secara implisit. Teks-teks lagu zapin memiliki makna-makna kebudayaan, yang hanya dapat dipahami berdasarkan pengalaman empiris budaya, terutama budaya Melayu.
Untuk tari zapin, gerak-gerak yang digunakan sepenuhnya berakar dari kosa gerak tarian Melayu. Struktur gerak ini mengikuti rentaknya yang biasa dilakukan dalam siklus hitungan empat sebagaimana musiknya. Tari zapin ini biasanya dalam persembahan terdiri dari bahagian pembuka, isi, dan penutupnya. Tari zapin di Serdang gerakan-gerakannya merupakan imitasi alam seperti gerak nelayan di laut, atau orang sedang bercocok tanam di lahan pertanian, atau menirukan flora dan fauna di sekelilingnya. Bagaimanapun gerak-gerak tari zapin ini memiliki makna-makna eksplisit maupun implisit.
Di lain sisi, musik zapin terdiri dari unsur-unsurnya seperti instrumentasi dengan menggunakan alat-alat musik tertentu di dalam kebudayaan Melayu. Selain itu musik ini disusun oleh dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang terdiri dari tangga nada, wilayah nada, nada-nada dasar, interval, formula melodi, pola-pola kadensa, kontur, dan lain-lainnya. Sementara di sisi lain dimensi waktu disusun oleh pola ritme, birama atau meter, cepat lambatnya musik atau tempo, kuat lembutnya ketukan atau aksentuasi, siklus ritme, motif ritme, dan pola ritme, dan hal-hal sejenisnya. Tiga besaran inilah yang akan penulis uraikan dalam bab ini. Lagu-lagu zapin di kawasan Serdang yang dipraktekkan oleh para senimannya umumnya menggunakan teks-teks bahasa Melayu. Ada juga sedikit yang menggunakan bahasa Arab, atau campuran bahasa Melayu dan Arab. Lagu-lagu ini memiliki berbagai tema, tetapi umumnya adalah filsafat-filsafat Melayu dan Islam, seperti bagaimana menjalani hidup, pujian kepada Allah dan Nabi, hubungan antara sesama manusia, cinta yang universal yang perlu dibina, dan lain-lainnya. Intinya adalah mencerminkan pandangan hidup manusia Melayu di bawah bimbingan ajaran Ilahi.
Dalam menampilkan lagu-lagu zapin Melayu biasanya menggunakan lirik. Tapi dalam sesuatu hal bisa saja hanya untuk mengiringi tarian, dan liriknya tidak dinyanyikan, atau disebut juga dengan instrumentalia (hanya bunyi musiknya saja). Sejauh pengamatan penulis, lirik yang digunakan dalam lagu-lagu zapin mengacu kepada pantun atau ada unsur-unsur pantun di dalamnya. Lagu-lagu zapin Melayu adalah lebih mengutamakan garapan teks dibandingkan garapan melodi atau instrumentasinya. Hal ini dapat dilihat dari garapan teks yang terus menerus berubah, sedangkan melodinya sama atau hampir sama. Dengan demikian musik Melayu ini dapat dikategorikan sebagai musik logogenik. Teksnya berdasar kepada pantun empat baris, kuatrin, yang terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris isi. Kecenderungan mempergunakan ulangan-ulangan apakah itu sampiran atau isinya.
Selanjutnya konsep tari dalam budaya Melayu biasanya diungkapkan melalui beberapa istilah yang mengandung makna denotasi atau konotasi tertentu. Menurut Sheppard, konsep tentang tari dalam budaya Melayu, diwakili oleh empat terminologi yang memiliki arti yang bernuansa, seperti yang diuraikannya berikut ini.
There are four different words meaning ‘dance’ in the Malay language: Tandak emphasizes the dancer’s steps, Igal means
posturing or dancing with emphasis on body movement, Liok is applied to low bending and swaying of the body, and Tari describes dancing in which the graceful movement of arms, hands, and fingers plays the chief part. The Malays attach so much importance to the fourth of these that Tari is always used to mean the Malay style of dancing.
Dari pernyataan Sheppard di atas, terlihat dengan jelas bahwa konsep tari dalam kebudayaan Melayu, yang diwakili oleh istilah-istilah tandak, igal, liok, dan tari, perbedaan maknanya ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (1) penekanan gerak yang dilakukan anggota tubuh penari dan (2) tekniknya. Tandak selalu dihubungkaitkan dengan gerakan langkah yang dilakukan oleh kaki; igal gerakan yang secara umum dilakukan oleh tubuh (terutama pinggul); liok atau liuk teknik menggerakkan badan ke bawah dan biasanya sambil miring ke kiri atau ke kanan, gerakan ini sering juga disebut dengan melayah; dan tari selalu dikaitkan dengan gerakan tangan, lengan, dan jari jemari dengan teknik lemah gemulai.
Selaras dengan pendapat Sheppard yang banyak mengkaji keberadaan tari di Semenanjung Malaysia, maka Tengku Lah Husni53 dari Sumatera Utara, mengemukakan bahwa secara taksonomis, tari Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga konsep gerak, yaitu: (1) tari, merupakan gerak yang dilakukan oleh lengan dan jari tangan; (2) tandak, yaitu gerak yang dilakukan oleh wajah, leher, lengan, jari tangan, dan kaki; dan (3) lenggang yang berupa gerakan lenggok atau liuk pinggang dan badan yang disertai ayunan tangan dan jari
Menurut Goldsworthy tari-tarian Melayu didasarkan kepada adat-istiadat, dan dibatasi oleh pantangan adat. Para penari perempuan disarankan untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. Mereka tidak diperkenankan mengangkat tangan melebihi bahunya, dan tidak diperkenankan menampakkan giginya pada saat menari. Mereka tidak boleh menggoyang-goyangkan pinggulnya, kecuali dalam pertunjukan joget. Para penari wanita sebahagian besar mengutamakan sopan-santun, tidak menantang pandangan penari mitra prianya. Penari wanita mengekspresikan sikap jinak-jinak merpati atau malu-malu kucing. Penari wanita gerakan-gerakannya menghindari penari pria.
Dengan melihat konsep-konsep tentang tari dalam budaya Melayu seperti tersebut di atas, maka ditemui berbagai persamaan dan perbedaan. Konsep tari yang dikemukakan Sheppard sama dengan yang dikemukakan Husny. Lenggang yang dikemukakan Husny pengertiannya mencakup igal dan liuk yang dikemukakan oleh Sheppard. Tandak yang dikemukakan Husny pengertiannya lebih luas dari yang dikemukakan Sheppard, mencakup gerak wajah, leher, lengan, jari tangan, dan kaki. Namun demikian, dari kedua pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam budaya tari Melayu dikenal beberapa konsep tentang tari yang maknanya menekankan pada gerakan anggota tubuh tertentu seperti teknik gerak. Konsep-konsep tari seperti itu dipergunakan juga dalam ronggeng Melayu. Misalnya gerak tari pada ronggeng, maknanya menekankan kepada gerakan lengan, tangan, dan jari-jari tangan. Gerak tandak berarti menekankan kepada gerakan kaki terutama sering dikaitkan dengan tari lagu dua yang memang mengutamakan gerakan kaki. Begitu juga dengan liuk yang berarti melayahkan badan ke bawah pada saat antara penari ronggeng bertukar posisi. Demikian pula untuk tari-tari yang lain seperti Serampang Dua Belas, Mak Inang Pulau Kampai, Zapin Kasih dan Budi, Zapin Bulan Mengambang, dan lain-lainnya.
Dalam tari zapin, ada berbagai aspek yang hendak dikomunikasikan. Tari zapin umumnya terdiri dari tiga fase, yaitu: (a) pembuka yang terdiri dari sembah (sembah duduk, berdiri langkah sebelah, dan langkah belakang); (b) isi yang terdiri daripada gerak ragam (ragam satu, ragam dua, ragam tiga, ragam empat, ragam lima, ragam enam, ragam langkah belakang, ragam siku keluang; gerak anak (anak ayam, anak ikan, buang anak); gerak lompat (lompat kecil, pisau belanak, pisau belanak kecil, pisau belanak besar); gerak pecah (pecah dua, pecah empat, pecah enam, pecah lapan, pecah sepuluh, pecah dua belas); dan (c) bagain variasi, yaitu tahto dan tahtim. Adapun yang hendak dikomunikasikan dalam tari zapin ini adalah bahwa siapapun yang hendak melakukan persembahan mestilah memberi hormat kepada penonton sesuai dengan panduan budaya Melayu. Kemudian dalam persembahan para pemain terikat oleh norma-norma tarian yang digariskan oleh adat dan budaya Melayu. Namun selain itu sebagai manusia kita juga perlu mengekspresikan kebebasan yang sopan, yang diberikan saat tahtim dan tahto (tahtum). Di ujung persembahan musik memainkan bahagian tahtim atau tahto sebagai coda persembahan. Suara gendang dalam densitas kuat atau senting. Kemudian berakhirlah persembahan satu repertoar tari dan musik zapin tersebut. Ini pola umum pertunjukan zapin di Alam Melayu.
Dalam kebudayaan musik Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, alat-alat musik yang termasuk ke dalam klasifikasi idiofon adalah: tetawak, gong, canang, calempong, ceracap (kesi), dan gambang. Alat-alat musik yang termasuk ke dalam klasifikasi membranofon adalah: gendang ronggeng, gendang rebana (hadrah, taar), kompang, gendang silat (gendang dua muka), gedombak, tabla, dan baya. Alat-alat musik kordofon di antaranya adalah: ‘ud, gambus, biola, dan rebab. Alat-alat musik aerofon di antaranya adalah: akordion, bangsi, seruling, nafiri, dan puput batang padi.
Dari keberadaan alat-alat musik yang dipergunakan, kita dapat melihat bahwa etnik Melayu mempunyai alat-alat musik yang berciri khas dari alur utama kebudayaannya dan juga menyerap musik luar dengan tapisan budaya. Transformasi yang terjadi adalah untuk pengkayaan khasanah. Keberadaan alat-alat musik tersebut juga mengalami proses kesejarahan. Misalnya alat musik pra-Islam contohnya adalah gong, tetawak, dan gendang ronggeng. Kemudian selepas masuknya Islam mereka juga menyerap alat-alat musik khas Islam seperti ‘ud dan gedombak (darabuka). Kemudian dengan masuknya Portugis, Inggris, dan Belanda, mereka menyerap alat musik akordion dan biola. Kemudian diteruskan dengan mengambil alat musik saksofon, klarinet, trumpet, drum trap set, gitar akustik, gitar elektronik, dan yang terkini adalah keyboard.
Walaupun mempergunakan alat musik dari budaya luar, namun struktur musiknya khas garapan Melayu. Selain itu, musik dari luar ini dianggap menjadi bagian dari musik tradisi Melayu. Dari keadaan ini tampaklah bahwa proses transformasi sosiobudaya musik mengikuti sejarah budaya seperti yang telah diuraikan dia atas.
Ensambel musik zapin yang terdapat di wilayah budaya Melayu Serdang biasanya menggunakan: (a) satu buah gambus atau ‘ud (yang lebih sering adalah gambus); (b) satu buah akordon atau harmonium; (c) satu buah biola; (d) empat sampai tujuh buah gendang marwas; (e) satu atau dua buah gendang ronggeng. Alat-alat musik inilah yang menjadi musik khas zapin di kawasan Serdang. Seiring bergulirnya waktu, dan terjadi modernisasi ada juga di antara kelompok-kelompok zapin di Serdang yang menggunakan alat musik keyboard yang diprogram untuk iringan tarian zapin.
Ensambel musik zapin yang terdapat di wilayah budaya Melayu Serdang biasanya menggunakan: (a) satu buah gambus atau ‘ud (yang lebih sering adalah gambus); (b) satu buah akordon atau harmonium; (c) satu buah biola; (d) empat sampai tujuh buah gendang marwas; (e) satu atau dua buah gendang ronggeng. Alat-alat musik inilah yang menjadi musik khas zapin di kawasan Serdang. Seiring bergulirnya waktu, dan terjadi modernisasi ada juga di antara kelompok-kelompok zapin di Serdang yang menggunakan alat musik keyboard yang diprogram untuk iringan tarian zapin.
Dari alat-alat musik di atas, peran utama alat-alat musik dapat dikelompokkan ke dalam dua bahagian yaitu alat musik pembawa melodi dan alat musik pembawa ritme atau rentak. Yang paling menonjol pembawa melodi adalah gambus dan yang paling menonjol membawakan ritme adalah alat musik marwas. Tekstur yang dihasilkan oleh musik zapin di kawasan Serdang adalah heterofoni, yaitu masing-masing alat pembawa melodi dan kadang disertai vokal membentuk jalinan melodi yang hampir sama garis dasarnya namun dengan menggunakan variasi-variasi individual dan kemampuan virtuoso para pemainnya, yang memperkaya garapan melodis. Ekspresi spontanitas dalam melakukan hiasan melodi ini juga menjadi bahagian penting dalam menghasilkan heterofoni tersebut.
Jadi pada akhirnya hubungan musik dengan tari adalah sama-sama menggunakan meter empat. Siklus hitungan empat ini, ditambah dengan pola ritme dan gerak tari muncul dalam pertunjukan zapin. Sejauh pengamatan penulis rentak zapin dan gerak dasar zapin inilah yang menjadi ciri utama kenapa seni pertunjukan Islam ini disebut dengan zapin.
Khusus untuk rentak zapin dalam gendang, secara garis besar menggunakan dua onomatope yaitu tung dan tak. Tung dipukul agak ke tengah gendang, sedangkan tak dipukul di bahagian tepi membran gendang.
Sumber : Universitas Sumatera Utara